Sekolah-sekolah di Indonesia dinilai masih korup.
Sekolah di negeri ini sarat pungutan. Pungutan sudah menunggu sejak anak belum lagi menginjakkan kaki di sekolah. Macam-macam pungutan itu. Ada uang bangku, uang gedung, dan lain-lain. Di tengah jalan, mereka harus sering mengganti buku pelajaran. Menjelang lulus, pungutan atas nama ujian dan perpisahan pun kembali menghadang. Sampai kapan terus begini?
Ironisnya, pungutan tetap semarak kendati telah ada sejumlah subsidi seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari APBN dan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) dari APBD. BOS ini terdiri atas BOS reguler dan BOS buku. Masih ada pula sumber pendanaan lain yang masuk ke sekolah seperti sumbangan rutin bulanan (SRB) dari siswa dan donasi pihak ketiga.
''Turunnya BOS dan BOP tak mengurangi pungutan di sekolah. Sekolah-sekolah di Indonesia sampai saat ini masih menjadi pasir hisap, masih korup. Sudah ada BOS dan BOP, sekolah malah menciptakan item-item pungutan baru,'' kata Manajer Divisi Monitoring Pelayanan Umum Indonesia Corruption Watch (ICW), Ade Irawan, kepada Republika, di Jakarta, pekan lalu.
Korupsi di sekolah itu, ungkap Ade, antara lain terjadi lewat modus pembiayaan ganda (double budgeting). Ada kegiatan pendidikan yang sudah dibiayai dari APBN dan APBD, tapi tetap dipungut dari orang tua. Sayangnya, kata dia, pungutan-pungutan itu juga lahir dari perkongsian kepala sekolah dengan komite sekolah yang seharusnya mewakili kepentingan orang tua.
Survei ICW pada tahun 2005 --bersamaan dengan turunnya dana BOS untuk pertama kalinya-- setidaknya memperlihatkan hal itu. Saat itu, ICW menyigi sejumlah sekolah dasar (SD) di Jakarta, Garut, dan Kupang. Hasilnya cukup membuat miris: Setiap tahun, orang tua murid menghabiskan sekitar Rp 3,4 juta untuk sekolah anaknya. Itu baru untuk biaya satu orang anak SD!
Dana Rp 3,4 juta itu secara umum terbagi dua. Sebanyak Rp 1,5 juta adalah biaya yang langsung dikeluarkan untuk sekolah seperti iuran komite, buku pelajaran, pendaftaran ulang, dan kegiatan ekstrakurikuler. Sebanyak Rp 1,9 juta untuk membiayai kegiatan pendidikan yang tidak secara langsung diberikan kepada sekolah. Misalnya uang transportasi, tas, dan seragam.
Saat survei dilakukan setahun kemudian di 10 daerah, hasilnya tetap tak jauh berbeda. Padahal dana BOS sudah hampir dua tahun menyisip ke kas sekolah-sekolah. Ke-10 daerah yang disurvei ICW pada tahun 2006 adalah Jakarta, Tangerang, Garut, Padang, Banjarmasin, Sumba Barat, Lombok Tengah, Bau-bau, Makassar, dan Manado.
Hasil yang setali tiga uang juga didapatkan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) saat menggelar Bulan Pengaduan Pendidikan pada periode Mei-Agustus 2006. Ada 123 laporan yang masuk dan sebagian besar soal pungutan. Pungutan dikeluhkan karena sangat beragam, pengambilan keputusan pungutan tidak partisipatif, besaran pungutan, serta lemahnya akuntabilitasnya.
Turunnya BOS, seharusnya memang meringankan. Sebab sejumlah item yang selama ini menuntut pembiayaan dari orang tua murid, sudah bisa di-cover oleh BOS. Antara lain biaya penerimaan siswa baru, ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah, listrik, air, telepon, honor bulan guru honorer, pembelian buku teks di luar BOS buku, bahan-bahan habis pakai, bahkan uang transportasi bagi siswa tidak mampu.
Manajer BOS DKI Jakarta, Bemmy Indianto, bahkan berani menyatakan bahwa turunnya BOS didampingi BOP dari Pemda DKI Jakarta yang mengucurkan 20 persen APBD--nya untuk pendidikan sudah bisa membuat banyak sekolah di DKI Jakarta digratiskan. ''Seharusnya tidak ada pungutan lagi,'' katanya. Kenyataannya, hitung-hitungan itu masih jauh panggang dari api.
Teguh Imawan, ketua Badan Pengurus Aliansi Orang Tua Peduli Transparansi Dana Pendidikan (Auditan), juga menilai turunnya BOS, BOP-apalagi ditambah SRB dan donasi pihak ketiga sudah bisa menekan pungutan. ''Tapi itu kalau penyusunan APBS (anggaran pendapatan dan biaya sekolah, red) dibuat transparan. Sayangnya APBS sering jadi rahasia sekolah,'' keluhnya.
Prof Suyanto PhD, Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, membantah anggapan sekolah-sekolah di Indonesia masih korup. Menurut dia, dugaan itu terlalu didramatisasi, karena tidak bisa menunjukkan data kuantitatif. ''Yang tidak melakukan pungutan kan tidak diberitakan,'' katanya kepada Republika, pekan lalu.
Sambil mengungkapkan data hasil penelitian, Suyanto membantah hasil survei yang mendiskreditkan BOS. ''BOS itu tepat sasaran, tepat jumlah, dan tepat waktu. Efektivitasnya sampai 95 persen,'' katanya. Salah satu dampak BOS yang bisa langsung terlihat, kata Suyanto, adalah meningkatnya kesejahteraan guru dan berkurangnya jumlah siswa yang putus sekolah (drop out).
Soal masih adanya pungutan-pungutan untuk keperluan sekolah, Suyanto menilai sebagian masih bisa dimengerti. Sebab pendidikan di Indonesia sampai saat ini masih dibiayai di bawah standar atau underfinance. Unit cost seorang anak SD per tahun, kata dia, seharusnya Rp 1,2 juta. Tapi, sampai saat ini, BOS baru bisa memberi Rp 245 ribu untuk setiap anak SD per tahun.
Karena itu, kata dia, bila sekolah ingin meningkatkan kualitas, harus ada subsidi. Bisa dari BOP pemda, bisa dari perusahaan, bisa pula dari orang tua murid. ''Ongkos kualitas itu memang mahal. Itu sebabnya sekolah-sekolah swasta yang baik-baik itu mahal,'' katanya. Hanya saja, ke depan, Suyanto mengatakan pungutan-pungutan itu perlu dibenahi lewat standardisasi biaya pendidikan.mg01/run
Mempersoalkan Komite Sekolah
Dulu, sekitar tahun 1950-an, di sekolah-sekolah dikenal adanya organisasi yang bernama Persatuan Orangtua Murid dan Guru (POMG). Organisasi ini kemudian dibubarkan. Salah satu alasan pembubaran POMG adalah untuk menghindarkan guru terlibat dalam masalah pungutan dari wali murid yang membuatnya kehilangan wibawa.
Dulu, sekitar tahun 1950-an, di sekolah-sekolah dikenal adanya organisasi yang bernama Persatuan Orangtua Murid dan Guru (POMG). Organisasi ini kemudian dibubarkan. Salah satu alasan pembubaran POMG adalah untuk menghindarkan guru terlibat dalam masalah pungutan dari wali murid yang membuatnya kehilangan wibawa.
Sejak tahun 1970-an, muncul lembaga baru bernama Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3). Seperti halnya POMG, BP3 ini berperan membicarakan dan membantu pembiayaan proses belajar-mengajar di sekolah. Namun, faktanya, pungutan tetap tak pernah hilang. Bajunya saja yang berganti, isinya tetap sama.
BP3 pun kemudian bubar. Muncullah Komite Sekolah. Tapi, tradisi dua organisasi pendahulunya tetap saja lestari. Bahkan, menurut Ketua Badan Pengurus Aliansi Orang Tua Peduli Transparansi Dana Pendidikan (Auditan), Teguh Imawan, kebanyakan Komite Sekolah menjadi sumber masalah dalam pendidikan di Indonesia.
Menurut Teguh, ada tiga varian Komite Sekolah. Pertama, Komite Sekolah hitam yang bekerja sama dengan sekolah melegalkan berbagai pungutan yang memberatkan orang tua murid. Kedua, Komite Sekolah apatis. Ketiga, Komite Sekolah yang kritis. ''Saat ini, mayoritas adalah Komite Sekolah hitam,'' ujarnya.
Fungsi Komite Sekolah ini tak ubahnya DPR. Komite Sekolah ini seharusnya menjalankan fungsi kontrol, juga anggaran (budgeting) lewat penyusunan Anggaran Pendapatan dan Biaya Sekolah (APBS). Tapi, fungsi budgeting di Komite Sekolah itu, kata Teguh, sering digunakan untuk menciptakan pungutan yang memberatkan.
Anggaran sekolah pun, sering pula mengalir ke kantong pengurus Komite Sekolah. F Bahar, guru SMP Negeri 8 Tangerang, misalnya, mengatakan ketua Komite Sekolah bahkan mendapat 'gaji' bulanan sampai Rp 350 ribu, sedangkan bendaharanya dapat Rp 250 ribu. ''Padahal gaji guru honor saja hanya Rp 68 ribu per bulan.''
Di SD Negeri 01 Menteng, Jakarta Pusat, sejumlah orang tua murid bahkan sampai menjungkalkan ketua Komite Sekolah yang telah menjabat selama 15 tahun. Menurut Krishna Mangontan, salah satu orang tua murid, ketua Komite Sekolah akhirnya diturunkan karena selama ini sangat 'kreatif' menciptakan pungutan.
Manajer Divisi Monitoring Pelayanan Umum Indonesia Corruption Watch (ICW), Ade Irawan, menilai Komite Sekolah masih sering dikooptasi karena pembentukannya sarat intervensi kepala sekolah. Hal itu bisa terjadi karena kebanyakan orang tua murid tidak tahu atau tidak mau tahu. ''Harus ada perubahan,'' katanya. run
Soal Pungutan Segera Diatur
Pemerintah telah mengalokasikan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Dana Operasional Pendidikan (BOP) dari APBN dan APBD. Sekolah juga sudah mengutip sumbangan rutin bulanan (SRB) dari setiap siswa. Terkadang, sekolah juga mendapat donasi dari pihak ketiga. Tapi, mengapa masih ada saja pungutan-pungutan yang membebani? Berikut petikan wawancara Republika dengan Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof Suyanto PhD:
Pemerintah telah mengalokasikan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Dana Operasional Pendidikan (BOP) dari APBN dan APBD. Sekolah juga sudah mengutip sumbangan rutin bulanan (SRB) dari setiap siswa. Terkadang, sekolah juga mendapat donasi dari pihak ketiga. Tapi, mengapa masih ada saja pungutan-pungutan yang membebani? Berikut petikan wawancara Republika dengan Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof Suyanto PhD:
Komentar Anda dengan masih banyaknya pungutan di sekolah, terutama saat penerimaan siswa baru (PSB) dan masa-masa ujian?Untuk sekolah penerima BOS, seharusnya mereka tidak boleh lagi memungut biaya pendaftaran. Karena BOS jelas peruntukannya, antara lain untuk pendaftaran, ujian, penyiapan soal, dan lain-lain. Tapi kalau untuk perpisahan, piknik, karena tidak di-cover oleh BOS, masyarakat sendiri yang membayarnya.
Apa tidak ada upaya mencegah adanya pungutan-pungutan, karena sangat membebani orang tua?Gampang saja. Kalau merasa terbebani nggak usah ikut perpisahan. Kan itu tidak harus. Diadakan atau tidak diadakan, kalau sudah lulus kan pisah sendiri, ha-ha-ha. Hanya saja, di sekolah yang menyelenggarakan acara-acara perpisahan itu sebaiknya ada subsidi kepada anak-anak yang tidak mampu. Saya yakin di sekolah yang mengadakan piknik, dari 200 siswa, sekitar lima orang tidak mampu. Yang 195 siswa bisa mensubsidi yang lima orang ini. Jadi, komite sekolah --dalam rapat-rapatnya-- juga harus peka terhadap persoalan seperti ini.
Kenapa tidak dibuat saja standar pembiayaan yang boleh dan tidak boleh dipungut sekolah dari murid?Kita akan punya standar pendanaan, hanya belum jadi. Sesuai amanat Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, ada delapan standar. Mulai standar isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pendanaan, kompetensi lulusan, dan evaluasi. Sekarang, standar pendanaan ini masih dalam konsep dan masih dikaji di Departemen Hukum dan HAM. Masih agak lama, memang, karena terkait dengan departemen lain seperti Departemen Keuangan.
Soal pendanaan apa saja yang diatur?Pada prinsipnya mengatur siapa yang harus membiayai pendidikan sehingga keadilan itu bisa ditegakkan dalam konteks peningkatan kualitas sekolah. Ada standar-standar minimal.
Termasuk pungutan-pungutan yang dikutip oleh sekolah?Saya kira iya.
Mengapa selama ini pemerintah tidak lebih keras menertibkan pungutan-pungutan yang membebani orang tua itu?Pendidikan kan menjadi urusannya pemerintah daerah, sejak terbitnya Undang-undang No 32/2004. Pemerintah pusat tidak punya lagi kewenangan di sana. Pemerintah pusat hanya memberikan rambu-rambu. Jadi, seharusnya pemerintah daerah menegur sekolah-sekolah yang membebani masyarakat.
Perlu ada sanksi bagi sekolah-sekolah yang banyak memungut tanpa dasar?Yaa kita lihat kesalahannya. Karena yang seperti ini perlu ada pembuktian. Mengapa memungut, untuk apa, itukan harus transparan. Di sanalah komite sekolah dan dewan pendidikan bisa menjadi penghubung antara kepentingan masyarakat dan kepentingan sekolah, kepentingan pemerintah dan kepentingan sekolah. Tapi kalau Irjen menerima pengaduan bisa turun melakukan pengawasan, melihat, dan memverifikasi, kemudian menyarankan kepada pemda untuk diberi sanksi sesuai aturan yang berlaku.
Dengan masih banyaknya pungutan di sekolah-sekolah, ada yang berpendapat bahwa sekolah dan lembaga pendidikan kita masih korup. Komentar Anda?Ah, banyak juga itu hanya didramatisasi. Media juga ikut mendramatisasi, karena tidak menunjukkan ukuran kuantitatif. Kalau dikatakan banyak, seberapa banyak? Yang tidak melakukan pungutan-pungutan juga kan tidak diberitakan. Jadi harus imbang lah. Soal penyimpangan, saya akui masih ada. Tapi kalau ukurannya hanya banyak, itu menyesatkan, misleading. Oleh karenanya, harus spesifik: di mana sekolah yang menyimpang itu, kita akan tindaklanjuti.run
Akhirnya Dia ke Kuburan
T ak seperti anak-anak seusianya yang biasa menghabiskan waktu di tempat bermain yang menyenangkan, Yulianti (12 tahun), malah menghabiskan waktunya di Taman Pemakaman Umum (TPU) Pondok Kelapa. Siswi kelas V SDN Malaka Jaya 03 Petang, Jakarta Timur, ini, bukan datang untuk berziarah. Dia sedang mencari uang untuk biaya sekolah.
Bila ada peziarah yang datang, Yulianti bersama anak seusianya segera menghampiri. Mereka mencabuti rumput di atas makam, atau menyediakan bangku kayu untuk peziarah. ''Cari duit buat jajan dan tambahan biaya sekolah, Pak,'' kata Yulianti yang saat ditemui Republika di TPU Pondok Kelapa, Rabu (18/4), sedang mengenakan seragam putih-merah. Dengan turunnya Bantuan Operasional Sekolah (BOS), anak-anak miskin seperti Yulianti seharusnya telah dibebaskan dari biaya sekolah.
Tapi, karena sekolah masih mewajibkan membeli buku ini dan itu, Yulianti pun dipaksa banting-tulang. ''Kalau nggak punya buku kena marah guru, kadang disuruh pulang,'' tuturnya polos sambil mencabuti rumput makam. Ibu Yulianti, Yana (38), mengungkapkan anak gadisnya sering tak masuk sekolah lantaran takut dimarahi guru karena tak memiliki buku. ''Apa semua sekolah kayak gitu ya,'' ujarnya. Bahkan, wanita yang sehari-hari bekerja sebagai tukang cuci itu mengatakan lima tetangganya berhenti menyekolahkan anaknya karena tingginya harga buku.
Terkadang, Yana terpaksa meminjam uang kepada majikannya untuk menebus harga buku, agar anaknya tetap sekolah. Pernah dia meminjam Rp 160 ribu. Bagi sebagian orang, uang sebesar itu tak berarti. Tapi bagi Yana dan keluarganya, uang sebesar itu harus didapat dengan kerja keras, sampai-sampai Yana pun harus mencabuti rumput kuburan.
Yana memiliki empat anak. Dua kakak Yulianti sempat bersekolah, tapi hanya sampai kelas II SMP. Satu anak lainnya masih berusia enam tahun. Tidak ada kepastian Yulianti dan adiknya tak akan drop out seperti dua kakaknya. BOS, BOS buku, dan BOP, sebenarnya bisa membebaskan mereka. Sayang, berbagai pungutan mengubur impian mereka. mg01
sumber: republika, minggu, 22 april 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar