18 Februari 2008

Transparansi Dana Sekolah, Mengapa Susah?

Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pada publik, sekolah perlu didorong untuk menyusun Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah yang selanjutnya disingkat RAPBS adalah rencana terpadu penerimaan dan penggunaan serta pengelolaan dana selama satu tahun pelajaran.

Tujuan pedoman penyusunan rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah adalah acuan bagi pengelola pendidikan, komite sekolah, dan orangtua/wali siswa dalam penyusunan RAPBS untuk memenuhi seluruh pembiayaan kebutuhan dan/atau kegiatan sekolah yang selanjutnya dibahas melalui mekanisme demokrasi, transparan dan akuntabel untuk ditetapkan menjadi anggaran APBS.

Sasaran pedoman penyusunan RAPBS adalah tersedianya informasi penerimaan dan penggunaan keuangan sekolah yang berasal dari berbagai sumber dana sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan pendidikan yang mengakibatkan penggunaan keuangan sekolah.

RAPBS ini disusun tahunan dan bersifat terbuka. Hal itu untuk mengikis korupsi dan mendidik sekolah menjadi organisasi modern. Salah satu ciri organisasi modern adalah memiliki perencanaan anggaran.

Sejumlah sekolah memiliki RAPBS, tapi belum ada yang benar- benar disiplin dan transparan. Dengan adanya RAPBS, sekolah harus mengestimasi dari mana saja akan mendapatkan uang, seperti iuran, sumbangan perorangan, badan usaha swasta, atau subsidi negara. Sekolah juga mengestimasi uang itu akan dikeluarkan untuk apa saja. Dari sini, audit menjadi ada dasarnya.
Cara penyusunan RAPBS pun harus jelas. RAPBS disusun dan diputuskan paling tidak oleh kepala sekolah dan orangtua siswa dan tidak bisa ditentukan satu-dua orang.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah yang selanjutnya disingkat APBS adalah keuangan tahunan sekolah sebagai pedoman pembiayaan penyelenggaraan sekolah yang ditetapkan melalui rapat pleno orangtua/wali siswa, komite sekolah, dan dewan guru serta disahkan pejabat yang ditetapkan.

RAPBS dibahas dalam rapat pleno seluruh orangtua/wali siswa, pengurus komite sekolah, guru, tata usaha sekolah dan unsur lain yang relevan, secara musyawarah dengan prinsip demokratis, transparan, dan akuntabel. Selanjutnya RAPBS ditetapkan menjadi APBS oleh Kepala Sekolah bersama Komite Sekolah.

Diduga gagasan ini akan banyak ditentang sekolah karena ini justru akan mempersempit ruang gerak "bermain" sekolah. "Pihak sekolah akan cenderung menghindari ini karena di situlah dana tilepan bermain.

Dalih, meski di bibir mengiyakan, namun dalam hati tampak berat sekali. Sehingga dalihnya adalah, semua pihak dalam komunitas sekolah bisa tidak menerima itu. Sekolah sebagai lembaga pendidikan belum banyak dilihat dari perspektif pendanaan. Jadi, perlu sosialisasi.

Padahal, pengelolaan keuangan di tubuh sekolah saat ini masih centang-perenang. Contoh, untuk mendapatkan dana, kepala sekolah mengadakan pungutan-pungutan yang tak memiliki dasar. Bahkan, umumnya guru pun ditarget untuk mencari dana dan setor ke kepala sekolah. Masing-masing guru akhirnya ada juga yang mengantongi uang pungutan. Ini yang membuat sekolah rusak.

Dengan adanya dorongan sekolah untuk menyusun RAPBS, maka pengelolaan keuangan sekolah akan menjadi relatif bersih. Sehingga kasus penyelewengan dana BOS yang belakangan marak terungkap di berbaga media pun, niscaya mengalir ke kantong individu-individu sekolah.
Memang, saatnya, sekolah memiliki perencanaan anggaran sebagai landasan hukum terkait penerimaan dan pengeluaran sekolah.

Tidak ada komentar: