18 Februari 2008

Mempertanyakan Akuntabilitas Dana Pendidikan

SEANDAINYA aktor-aktor negara konsisten menjalankan konstitusi, keluhan tentang gaji guru yang rendah, masalah anak-anak miskin yang tidak bisa bersekolah, sekolah gratis untuk pendidikan wajib (SD dan SMP) tidak bakal ada masalah lagi. Dengan dalih anggaran terbatas, konstitusi dilanggar. Ketentuan UUD bahwa alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dilanggar.

PENDIDIKAN ternyata tidak dianggap penting, baik oleh penguasa di pemerintahan pusat, daerah, sampai di tingkat sekolah. Masyarakat dibiarkan menunggu janji alokasi 20 persen anggaran pendidikan mulai direalisasikan pada tahun 2009.

Sejumlah daerah memang mengklaim telah mengalokasikan 20 persen dana APBD untuk pendidikan. Akan tetapi, ternyata komponen gaji guru dimasukkan di dalamnya. Anggaran di tingkat sekolah sama saja. Di sekolah-sekolah negeri, sebagian besar dana yang dihimpun dari masyarakat juga dipergunakan untuk menambah kesejahteraan guru dan segala tetek bengek yang tidak ada kaitan langsung dengan peningkatan mutu pendidikan.

Berapakah biaya per unit yang wajar untuk pendidikan bermutu standar? Staf pengajar Universitas Muhammadiyah HAMKA Jakarta Abdorrakhman Gintings mengemukakan, sebuah sekolah swasta yang tergolong bermutu di Medan hanya memungut biaya rata-rata Rp 100.000 kepada siswanya.

Bila jumlah siswa di Indonesia total 24 juta anak, dana yang dibutuhkan untuk penyelenggarakan pendidikan bermutu hanya Rp 28,8 triliun. Dengan dana pendidikan di
APBN sebesar Rp 39 triliun, masih ada sisa sekitar Rp 10,2 triliun. "Silakan yang Rp 10 triliun akan digunakan untuk apa. Untuk bohong-bohongan, silakan saja, karena kita sudah bisa punya sekolah bermutu. Namun, uangnya benar-benar diserahkan ke sekolah, jangan lewat dinas," kata Gintings.

Pembiayaan pendidikan selama ini berada di wilayah abu-abu. Ketentuan tentang siapa yang bertanggung jawab dalam pembiayaan pendidikan sejak awal sudah salah kaprah. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 46 Ayat (1) menyatakan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Ketentuan ini kemudian diterjemahkan bahwa tanggung jawab pemerintah dalam membiayai penyelenggaraan sekolah negeri hanya separuh, sisanya diambil dari masyarakat. Tidak peduli apakah sekolah itu pada jenjang pendidikan wajib atau tidak.

Pungutan dari masyarakat menjadi sebuah keharusan yang membuat biaya sekolah negeri menjadi semakin mahal, perilakunya tidak berbeda dengan sekolah swasta sehingga akses orang miskin untuk memperoleh pendidikan yang baik makin tertutup. Sekolah swasta mulai memperlakukan pendidikan seperti barang dagangan lainnya, seperti sabun, sampo, kulkas, atau televisi. Pendidikan pun mahal, pengeluaran untuk sekolah tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh kelak ketika ia lulus.

PENDIDIKAN menurut ketentuan undang-undang merupakan kewenangan pemerintah daerah. Akan tetapi, sejauh ini belum ada perubahan berarti di lapangan. Cara pembagian anggaran dan pengelolaannya masih seperti dulu.

Otonomi daerah justru sering dituding sebagai kambing hitam pendidikan yang makin terpuruk pascareformasi. Jabatan kepala dinas pendidikan diisi oleh orang-orang yang tidak punya kompetensi bidang pendidikan. Pejabat yang seumur-umur mengurusi pasar atau kuburan diangkat untuk menjadi kepala dinas pendidikan. Anggaran yang dialokasikan untuk peningkatan kesejahteraan guru dipergunakan untuk yang lain. Dana block grant yang diserahkan ke sekolah "dikoordinasikan" oleh dinas, yang ujung-ujungnya tidak tepat sasaran. Di sejumlah daerah, dana operasional untuk sekolah menurun atau sama sekali
menghilang.

Hanya satu-dua daerah yang pandai menangkap peluang otonomi untuk memajukan rakyat di daerahnya, seperti Kabupaten Bantul (DI Yogyakarta) dan Jembrana (Bali). Lainnya, otonomi seolah tidak mengubah apa-apa. Struktur anggaran dan cara kerja birokrasi pendidikan nyaris seperti zaman yang telah berlalu. Malik Fadjar saat menjabat sebagai Mendiknas pernah mengeluarkan keputusan tentang standar pelayanan minimal bidang pendidikan yang harus dilakukan daerah, namun aturan ini cenderung mengedepankan ukuran-ukuran kuantitatif dan belum menjadi komitmen di lapangan.

Departemen Pendidikan Nasional baru-baru ini membuat riset tentang pembiayaan pendidikan di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, dan Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Meski APBD Kabupaten Musi Banyu Asin pada 2004 lebih tinggi dari APBD Kabupaten Sumedang, ternyata anggaran pendidikan Kabupaten Musi Banyuasin (termasuk gaji guru) lebih rendah daripada Sumedang. Dari total APBD sebesar Rp 518,4 miliar, Musi Banyu Asin mengalokasikan Rp 102,8 miliar untuk pendidikan. Sementara APBD Sumedang Rp 428,8 miliar, sebesar Rp 209 miliar dianggarkan untuk pendidikan.

Ketika komponen gaji guru dikeluarkan, anggaran pendidikan di kedua kabupaten itu masih sangat kecil. Di Kabupaten Sumedang 92 persen belanja pendidikan untuk gaji guru. Di luar gaji guru, anggaran yang tersisa untuk pendidikan hanya Rp 45,4 miliar. Sementara di Kabupaten Musi Banyuasin hanya Rp 30,1 miliar. Itu pun sebagian besar dialokasikan untuk birokrasi sehingga dana yang turun sampai ke sekolah sangat tidak memadai.

Diskriminasi anggaran pun tampak jelas ketika kedua kabupaten memberikan kontribusi anggaran pemerintahan daerah yang sangat kecil pada madrasah, bahkan tidak memberikan kontribusi sama sekali untuk sekolah swasta.

Berapa dana yang rata-rata diterima sekolah dan siswa? Sangat kecil. Dana yang diberikan untuk SD tiap bulan di Musi Banyuasin hanya sekitar Rp 346.667 juta, sedangkan di Kabupaten Sumedang sebesar Rp 722.629 juta. Dana yang dialokasikan untuk setiap siswa sekolah negeri di Sumedang hanya Rp 3.788 juta (SD), Rp 6.117 juta (SMP), Rp 6.382 juta (SMA), dan Rp 11.091 juta (SMK). Sementara di Musi Banyuasin dana per siswa yang diberikan pemerintahan daerah hanya sebesar Rp 2.029 juta untuk siswa SD. Di Jenjang yang lebih atas agak lumayan Rp 14.835 juta untuk SMP, Rp 20.494 juta untuk SMA, dan Rp 28.412 juta untuk SMK.

Ada beberapa alternatif yang disarankan untuk memperbesar porsi anggaran belanja non-gaji, seperti reorganisasi dinas pendidikan dengan merampingkan jumlah pegawai dengan meningkatkan kinerjanya dan memperbesar rasio antara guru dan peserta didik. Di Kabupaten Sumedang, pegawai dinas pendidikan dinilai terlalu banyak dan hanya sebagian saja yang benar-benar memberikan kontribusi nyata terhadap organisasi tempat ia bekerja.


TIDAK jauh berbeda dengan anggaran pendidikan di pemerintahan, anggaran pendidikan di sekolah pun sebagian besar terserap untuk tambahan kesejahteraan guru, kegiatan administrasi, dan hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan peningkatan mutu. Sejumlah contoh Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) dan realisasinya bisa dilihat dalam studi sumber-sumber keuangan pendidikan di luar anggaran
pemerintah yang pernah dilakukan Departemen Pendidikan Nasional.

SD Negeri Kertajaya XII Surabaya, pada tahun 2003-2004 memperoleh pendapatan dari sumbangan murid sebesar Rp 147 juta dari sejumlah 91 siswa dan dari donatur sebesar Rp 6.300.000. Dari dana tersebut, Rp 144 juta dipergunakan untuk honor dan insentif guru, Rp 2,4 juta untuk tunjangan kesejahteraan, dan Rp 600.000 untuk keperluan transportasi. Di SD Negeri Ungaran I Semarang sumbangan yang ditarik dari masyarakat pada tahun 2003 mencapai Rp 100.950.000. Dari dana tersebut, Rp 43.760.000 dipergunakan untuk tambahan kesejahteraan guru.

Di SMP Negeri 6 Yogyakarta, pada tahun ajaran 2003-2004 dana yang dihimpun dari komite sekolah sebesar Rp 353.700.000, sejumlah Rp 129.380.00 dialokasikan untuk honor dan kesejahteraan guru. Sebagian besar dana lainnya terserap untuk pengecatan gedung, pengadaan teralis, pemeliharaan gedung dan halaman sekolah, listrik, dan lain-lain. Anggaran dari komite yang dialokasikan untuk peningkatan mutu pendidikan adalah pembelian komputer, printer, dan pemeliharaan komputer dan laboratorium bahasa.

Sumber ganda pembiayaan sekolah negeri, dari dana pemerintah dan dana masyarakat, merupakan penyebab keruwetan selama ini. Sekolah negeri yang pembiayaannya menjadi tanggung jawab pemerintah pada praktiknya justru berkompetisi dengan sekolah swasta dalam menggalang dana dari masyarakat. Komite sekolah bukannya menjadi pembela masyarakat, tetapi justru menjadi alat kepala sekolah untuk mempermainkan biaya pendidikan. Sebuah SMA negeri di Bandung memungut uang masuk pertama Rp 6 juta. Jumlah itu bahkan lebih besar daripada biaya masuk perguruan tinggi swasta.

Akuntabilitas pengelolaan dana pendidikan dari pusat, daerah sampai ke level sekolah menjadi pertanyaan. Anggaran yang dikeluarkan negara untuk pendidikan terus meningkat, biaya pendidikan yang ditanggung masyarakat makin mahal, tetapi mutu pendidikan begitu-begitu saja, bahkan terus merosot. (P Bambang Wisudo)

Kompas, Selasa, 03 Mei 2005

Tidak ada komentar: