18 Februari 2008

Pungli Masih Marak di Sekolah

Pengantar Pungutan liar (pungli) masih terjadi di sekolah, dan yang dipungli bukan hanya orangtua murid tapi juga para guru. Dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah, misalnya, tidak berjalan semulus seperti yang direncanakan. Dana BOS ada yang ditolak sekolah karena sarat dengan pungli. Sekolah yang sudah mendapat dana BOS-pun masih asyik berpungli ria. Wartawan SP Sumedi TP dan Willy Masaharu menyoroti masalah itu dalam tulisan di bawah ini.
Seorang kepala sekolah dasar (SD) swasta di Jakarta Pusat menelepon redaksi Suara Pembaruan, pekan lalu. Dengan suara lirih, perempuan yang minta namanya tidak disebutkan ini mengungkapkan, petugas Dinas Pendidikan selalu melakukan pungutan liar (pungli) terhadap guru-guru di sekolah yang dipimpinnya maupun di sekolah lain. Pungli ini sudah berlangsung bertahun-tahun, sejak era Orde Baru.
Subsidi atau uang insentif dari pemerintah yang sebetulnya juga milik rakyat (APBN/APBD) untuk guru sebesar Rp 200.000 per bulan harus dipotong Rp 10.000 sampai Rp 15.000. Selain itu, jika pengawas datang harus diberi uang. Menurut sang kepala sekolah, kalau tidak memberi "uang pelicin" maka sekolahnya akan dikucilkan dan bantuan bisa tak datang-datang.
Pada November-Desember 2007, ungkapnya, bantaun untuk setiap murid sebesar Rp 40.000 per bulan juga dipotong 15 persen. Alasannya untuk administrasi, tapi tak ada kuitansi. Uang itu disetor ke pengurus di kecamatan atas nama paguyuban sekolah swasta. Dana bantuan operasional sekolah (BOS) sebesar Rp 21.166 per siswa per bulan juga dipotong 5-10 persen.
Potongan atau pungutan itu terasa kecil bagi pejabat, tapi sangat menyakitkan bagi para guru yang bertanggung jawab penuh terhadap sekolah, para murid dan orangtuanya. Nilai yang kecil itu jika dikalikan dengan jumlah sekolah dan murid bisa menjadi miliaran rupiah. Jika selama ini sekolah dianggap suka "memeras" orangtua murid, ternyata para guru juga "diperas" oleh pejabat.
Di sejumlah sekolah menengah pertama (SMP) swasta di Jakarta juga ada kasus unik. Seorang kepala SMP swasta mengaku tak mau lagi mengambil dana BOS karena merasa tertekan dan dipermalukan. Dana BOS yang akan diambilnya selalu dipotong alias dipungli. Akibatnya, jumlahnya jadi merosot, tak sesuai dengan waktu dan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurusnya.
"Daripada saya harus mondar-mandir ke kantor Dinas Pendidikan yang memakan waktu dan biaya, lebih baik saya tidak ambil itu dana BOS. Lagi pula, saya juga dituntut oleh orangtua murid untuk menggratiskan semua biaya sekolah anak mereka karena kita dianggap sudah mendapat banyak dana BOS," tutur kepala SMP swasta itu dengan nada kesal.
Sulit memperkirakan berapa dana BOS yang tidak diambil oleh sekolah-sekolah swasta akibat terganjal pungli yang menyebalkan dan membuat kesal. Berarti ada dana BOS dalam jumlah besar yang tertahan di kantor-kantor Dinas Pendidikan, dan ada pula uang pungli yang berputar-putar di seputar pejabat yang membuat dunia pendidikan semakin memburuk.

Tidak Ada Panduan
Manajer Divisi Monitoring dan Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan, mengemukakan, Dinas Pendidikan juga dianggap ikut melanggengkan pungli pada proses penerimaan siswa baru (PSB) walaupun sudah ada dana BOS. Hal ini bisa dilihat dengan tidak adanya panduan dari pemerintah pusat (Depdiknas) dan menyerahkan prosesnya ke sekolah.
"Panduan yang dibuat oleh Dinas Pendidikan isinya beragam. Ada yang melarang sekolah melakukan pungutan, tapi ada juga yang membolehkan," kata Ade pada diskusi "Pungli di Sekolah", di Jakarta, Selasa (29/1).
Diskusi ini melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) peduli pendidikan, antara lain Aliansi Orangtua Peduli Transparansi Dana Pendidikan (Auditan), Koalisi Pendidikan, dan Suara Hak Asasi Manusia di Indonesia (SHMI).
Ade menjelaskan, waktu pelaksanaan PSB setiap daerah berbeda-beda, begitu juga metode yang digunakan. Ada yang menggunakan tes seperti tes kemampuan dan bakat, tapi ada yang cukup dengan persyaratan adminstratif. Namun, tidak ada sosialisasi informasi yang cukup dari sekolah atau dinas mengenai penerimaan siswa baru kepada orangtua calon murid baru.
Ade mengatakan, ICW dan LSM yang bergerak di bidang yang sama menemukan buruknya sosialisasi PSB, dan persyaratan administratif cenderung mengada-ada. Selain itu, biaya yang dibebankan kepada orangtua calon murid baru sangat mahal dan banyak yang tidak memiliki kaitan dengan kepentingan belajar mengajar, serta adanya jual-beli kursi sekolah.
Pada tataran sosialisasi, tampak dari tidak adanya sosialisasi mengenai mekanisme dan persyaratan dalam proses PSB, baik oleh sekolah maupun Dinas Pendidikan, waktu pelaksanaan PSB yang tidak jelas, tidak ada penjelasan mengenai daya tampung sekolah, serta tidak jelasnya kriteria penilaian calon siswa. Pada hambatan adminstrasi, persyaratan PSB yang tujuan awalnya untuk menyiasati tingginya persaingan, ternyata digunakan sekolah untuk "memeras" dan menarik dana.
"Bahkan ada sekolah yang mensyaratkan ijazah TK sebagai syarat masuk SD. Ada juga sekolah yang memprioritaskan lulusan sekolah tertentu atau kelompok sosial tertentu. Ada sekolah yang meminta akte kelahiran dengan surat kenal lahir tidak berlaku," ucap Ade.
Pada hambatan biaya, tidak ada penjelasan mengenai dana-dana yang diterima sekolah, tidak ada penjelasan mengenai program-program yang akan dilaksanakan sekolah, proses penentuan jenis, dan jumlah biaya sepihak hanya sekolah.
"Sedangkan orangtua hanya bisa menawar. Banyak biaya yang dipungut oleh sekolah tidak jelas penggunaannya, dan banyak biaya yang dipungut di luar kepentingan pendidikan," tuturnya.
Biaya yang paling banyak dipungut, antara lain biaya seragam (batik, olahraga, dan keagamaan), formulir pendaftaran, iuran Komite Sekolah, iuran bangunan, dan pembelian buku atau lembar kerja siswa. Banyak biaya yang tidak jelas, seperti iuran membuat kolam ikan, pagar, psikotes, dan mushola yang sebenarnya sudah ada.
Akibatnya, lanjut Ade, biaya sekolah menjadi sangat mahal. Sehingga, kelompok miskin semakin tidak mampu mengakses pelayanan pendidikan yang merupakan hak mereka. "Ini semakin memperluas jurang antara pendidikan untuk kelompok miskin dan kaya," ucapnya.
Oleh karena itu, Ade menegaskan, ICW bersama dengan lembaga terkait akan melakukan pertemuan dengan penentu kebijakan, yakni Depdiknas, DPR dan DPRD, serta mempertimbangkan untuk menggugat pemerintah karena membiarkan masalah itu.
Seharusnya, pungutan itu setelah ditentukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS). Jika rapat APBS belum dilakukan, dikhawatirkan terjadi pungutan-pungutan lainnya.
Ade menjelaskan, setidaknya ada 131 daftar sekolah yang dilaporkan orangtua murid atau orangtua calon murid baru. Laporan itu diterima ICW dan lembaga terkait seperti Auditan, Bako Sumbar, Fakta Tangerang, Formasi Sumba, Gebrak Brebes, Sanksi Borneo, Suara Parangpuan, dan YLKI.
"Kita juga akan melakukan terapi kejut terhadap sekolah di beberapa daerah, bagi yang datanya sudah terpenuhi, dan akan dilaporkan ke Mabes Polri," kata Selamet, koordinator Program Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya SHMI. Selamet menambahkan, ke depan pada PSB harus ada aturan dan sosialisasi yang jelas, sehingga tidak ada celah bagi sekolah melakukan pungli. *
Orangtua Tak Dilibatkan
ICW melakukan survei terhadap 1.400 orangtua murid di Jakarta, Semarang, Garut, dan Kupang, dari Agustus hingga September 2007. ICW menemukan penyimpangan, antara lain terlihat dari maraknya pungutan terhadap orangtua murid, meski setelah dana BOS turun.
Maraknya pungutan itu disebabkan oleh ketidaktahuan orangtua tentang BOS.
Hasil survei itu menunjukkan, 64,3 persen responden tidak mengetahui adanya bantuan BOS. Dari sisa 35,7 persen yang mengetahui, ternyata lebih dari separuhnya tidak tahu berapa besar dana BOS yang diterima sekolah.
Ketidaktahuan orangtua dimanfaatkan oleh pihak sekolah untuk memungut biaya dari siswa dan menambah pos biaya baru di luar biaya yang ditutup oleh BOS. Dugaan tersebut menguat karena survei ICW menunjukkan, orangtua murid tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS).
Menurut perhitungan ICW, pungutan terhadap orangtua murid dalam setahun mencapai Rp 1,5 juta. Pungutan tersebut di antaranya uang buku paket dan lembar kerja siswa, uang study tour, olahraga, bangunan, serta uang Komite Sekolah yang sebetulnya sudah termasuk dalam dana BOS. Sebetulnya, arah kebijakan BOS sudah tepat. Namun, ke depan, perlu ada perbaikan, terutama masalah sosialisasi kepada orangtua murid. ICW juga mengusulkan agar pemerintah menanggung semua biaya operasional sekolah sehingga sekolah menjadi gratis. Program BOS sebenarnya sangat baik. Namun, pada pratiknya tidak berjalan dengan baik.
BOS Sulitkan Sekolah
Anak-anak sekolah memasuki gedung sekolah dasar negeri di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, yang memasang pengumuman iuran sekolah gratis.
ampak kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan dengan memberikan subsidi dana BOS yang diimplementasikan khusus bagi jenjang sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) ternyata tidak selamanya dirasakan baik bagi semua pihak.
Pihak sekolah seringkali direpotkan oleh murid-murid yang kehilangan motivasi atau semangat bersekolah. BOS memang telah melegakan banyak orangtua, karena sejak Juli 2005, anak mereka yang bersekolah di tingkat SD dan SMP tidak perlu lagi membayar biaya sekolah setiap bulan.
Tidak perlu membayar uang buku paket di setiap kenaikan kelas karena pemerintah meminjamkan buku-buku yang diperlukan setiap murid. Seperti diungkapkan Kepala Sekolah SMPN 16 Palmerah, Jakarta Pusat, Ishak Idrus. Dia mengaku, semua siswa dan siswi SMPN 16 tidak dipungut biaya, tidak ada uang pangkal, tidak ada uang gedung dan pungutan-pungutan lainnya.
"Tidak terkecuali, biaya sekolah gratis dinikmati oleh semua murid yang berasal dari semua kalangan. Mereka yang berasal dari keluarga mampu pun menerima dana bantuan ini," kata Idrus.
Ia menambahkan, karena gratis, ada beberapa murid yang tidak menghargai waktu belajar mereka di sekolah. Mereka membolos, bahkan melewatkan masa ujian sekolah sehingga mereka tidak lulus. Pihak sekolah pernah sampai harus mendatangi rumah murid untuk membujuk mereka kembali masuk sekolah.
Idrus menjelaskan, pihaknya pernah membuatkan surat yang ditujukan kepada orangtua untuk ditandatangani, yang bunyinya membuktikan bahwa pihak sekolah telah melakukan usaha namun ditolak oleh pihak murid. "Jumlah mereka kurang lebih tiga persen dari keseluruhan siswa SMPN 16 yang berjumlah 900 murid," ucapnya
Namun, pihak sekolah belum pernah mengeluarkan satu pun murid yang bertingkah seperti itu. Hal ini diakui Idrus sangat menyulitkan pihak sekolah, namun apa pun yang telah diberikan oleh pemerintah untuk murid, dia harus salurkan kepada seluruh muridnya. "Demi wajib belajar sembilan tahun," ujarnya.
Negeri dan Swasta
Umi, orangtua dari Indra Kasih Pratiwa, yang bersekolah di SMPN 92 Rawamangun mengaku lega ketika anaknya berhasil lulus tes masuk ke sekolah negeri itu. Sebelumnya, Indra adalah murid sekolah swasta yang mengharuskan membayar uang sekolah Rp 75.000 tiap bulan dan uang pangkal Rp 650.000 ketika masuk sekolah. Belum lagi biaya yang dipungut pihak sekolah dengan alasan "try out" atau uji kompetensi menjelang ujian, sebesar Rp 30.000.
Biaya-biaya itu dirasakan berat oleh Umi, ibu rumah tangga yang suaminya berprofesi sebagai guru sekolah negeri itu bersyukur karena kini anaknya dibebaskan dari biaya sekolah. Suami Umi, Eris Budirisman, menjelaskan, memang akan ada komite sekolah yang rencananya dibentuk SMPN 92 dengan tujuan menutupi biaya-biaya yang diperlukan, khususnya biaya di luar tanggung jawab pemerintah. "Kemungkinan Februari nanti akan dibentuk," ujarnya.
Ia menambahkan, memang ada sekolah negeri yang masih memungut biaya sekolah per bulan tetapi pasti sekolah tersebut merupakan sekolah negeri kategori SSN (Sekolah Standar Nasional). "SSN diperbolehkan pemerintah untuk memungut biaya dengan catatan sudah dirundingkan dengan seluruh orangtua murid," tuturnya.
Sementara itu, Husni Thamrin, memutuskan, anaknya, Rahmawati Islami, untuk menimba ilmu di sekolah menengah swasta di Cibubur, Bogor, setelah anak bungsunya tersebut gagal masuk sekolah negeri karena jumlah nilai evaluasi tahap akhir murni NEM yang tidak memenuhi syarat.
Meski sangat menyayangkan kondisi tersebut, Thamrin pasrah mengeluarkan Rp 150.000 setiap bulan selama Rahma duduk di kelas satu dan dua SMU swasta itu. Ketika Rahma naik ke kelas tiga, biaya sekolah naik 25 persen menjadi Rp 200.000. "Saat itu, sekolah memberikan penjelasan bahwa kenaikan itu disebabkan adanya 'try out' yang akan diadakan tiap kali menjelang ujian semester dan ujian nasional yang menentukan kelulusan akhir," katanya.
Namun, di luar biaya per bulan, pihak sekolah tidak pernah memungut biaya-biaya lain yang sifatnya mendadak sehingga merepotkan orangtua, hanya saja pernah dianjurkan untuk menyumbang dengan jumlah sukarela ketika merayakan Idul Fitri.
Seorang ibu yang namanya tidak mau disebutkan, mengatakan, anak keduanya yang duduk di kelas 3 SMP sekolah swasta di Bogor beberapa kali membawa surat edaran yang isinya mengharuskan orangtua membayar biaya OSIS.
Hal serupa juga dialami anak pertamanya yang bersekolah di SMU negeri di Bogor. Sekolahnya sering memungut biaya di luar biaya per bulan Rp 75.000, seperti uang buku paket yang mendadak harus dimiliki setiap murid di tengah-tengah semester, lebih dari Rp 600.000.
Kepala Sekolah SLTP Tarsisius II, Carla L Wantania, menerangkan, pihaknya tidak pernah memungut biaya apa pun di luar biaya sekolah per bulan. Ia mengatakan, segala bentuk pungutan terhadap murid harus memperoleh tembusan dari yayasan.
"Bahkan, guru-guru di sini mengajarkan murid-murid untuk menabung, agar suatu saat apabila ada keperluan mendadak sebisa mungkin tidak perlu merepotkan orangtua mereka lagi," ujarnya.
Hal senada juga dilontarkan oleh Kepala Sekolah SMU Tarsisius II, Saverinus Kaka. "Kalaupun ada kegiatan rohani, seperti retret, kami selalu terlebih dulu mengajak orangtua untuk berdiskusi mengenai seluruh pengeluarannya. Kami selalu memerincikan seluruh biaya kepada orangtua," tuturnya.
Kepala sekolah yang bekerja di bawah yayasan Bunda Hati Kudus tersebut mengatakan bahwa ia selalu mencari solusi terbaik apabila ada keberatan dari pihak orangtua, salah satunya dengan mencicil. [CAT/WWH/S-26]

Tidak ada komentar: