[JAKARTA] Pungutan liar (pungli) di sekolah makin merajalela. Padahal, segala pungutan dalam bentuk apa pun dilarang karena sudah ada Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP). Namun, nyatanya sekolah percontohan atau unggulan malah memungut biaya sehingga memberatkan orangtua siswa.
"Pada tahun sebelumnya dan tahun ajaran 2007/2008, pungutan siswa baru bisa mencapai lebih dari Rp 5 juta. Belum lagi sumbangan pendidikan sebesar Rp 100.000 per siswa setiap bulan," ujar Handaru Widjatmiko dari Aliansi Orangtua Peduli Transparansi Dana Pendidikan (Auditan), kepada SP, di Jakarta, Kamis (24/1).
Handaru mengemukakan, salah satu SDN percontohan di kawasan Jakarta Timur telah menerima dana BOS dan BOP sebesar Rp 800 juta pada 2006/2007. Akan tetapi, bukannya meringankan, malah pengeluaran orangtua siswa makin membengkak. Orangtua dibebani biaya pengadaan buku wajib yang seharusnya sudah ditanggung pemerintah.
"Ada laporan dari orangtua murid mengenai keharusan membeli buku pelajaran wajib sebesar Rp 350.000. Ini sangat memberatkan orangtua yang berpenghasilan rendah," tuturnya.
Selain buku wajib, menurutnya, ketentuan larangan pungutan rutin setiap bulan sesuai surat edaran No 35/2005 yang dikeluarkan Dinas Pendidikan Dasar (Dikdas) DKI Jakarta. Namun, SDN percontohan termasuk di dalamnya Komite Sekolah masih menghimpun tambahan dana operasional.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, biaya tambahan diberlakukan di beberapa sekolah, di antaranya SMA di kawasan Cawang, Jakarta Timur, SMA di kawasan Salemba, Jakarta Pusat, dan SMA di kawasan Kramatjati, Jakarta Timur. Salah satu orangtua siswa SMA di Cawang mengaku dimintai biaya tambahan sebesar Rp 9 juta. Uang tersebut untuk sumbangan gedung dan seragam.
Maraknya pungli juga diakui mantan ketua Komite Sekolah SMAN di kawasan Jakarta Pusat. Dia mengatakan, dana yang dipungut dari orangtua murid digunakan kepala sekolah itu untuk perjalanan ke Eropa. "Saat itu, alasannya studi banding. Padahal, dari Dinas Pendidikan tidak ada program itu," katanya.
Disinggung modusnya, dia mengatakan, kepala sekolah menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS). "Sementara, laporan APBS-nya pun tidak pernah terbuka. Apalagi untuk diperlihatkan kepada orangtua murid," katanya.
Belum ada Kesamaan Standar
Maraknya pungli karena sekolah di Jakarta belum memiliki kesamaan standar penarikan biaya operasional untuk kepentingan sekolah. Persoalannya, masih ada sekolah yang berdalih memungut biaya dengan tujuan melengkapi fasilitas belajar-mengajar. Misalnya air conditioning (AC) sudah memadai, namun orangtua siswa dipungut biaya lagi untuk membeli perangkat AC yang baru.
Karena itu, Depdiknas atau Pemerintah Daerah harus mengawasi sekolah, terutama sekolah unggulan dan internasional yang memungut biaya tambahan. Sebab, tidak semua siswa di sekolah tersebut berasal dari keluarga kaya. "Artinya, biaya yang ditarik harus benar-benar penting dan dibutuhkan siswa. Kalau tidak penting, lebih baik biaya tersebut dihapuskan," ucapnya..
Informasi yang diperoleh dari Indonesia Corruption Watch (ICW) selama musim penerimaan siswa baru (PSB) tahun 2007 ini, telah ditemukan 131 kasus dugaan pungli di sejumlah kota di Indonesia. Penyebabnya sederhana, yakni tidak ada aturan resmi dari pemerintah yang mengatur PSB. Besaran pungli itu antara Rp 250.000 sampai Rp 7 juta dengan dalih untuk pakaian seragam, formulir pendaftaran, pembangunan, dan lembaran kerja siswa.
Menurut Manajer Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW, Ade Irawan, pungli umumnya dilakukan setelah dua bulan proses oleh sekolah. Pasalnya, bila dilakukan dalam tahap proses seleksi pengawasan umunya masih ketat. Ternyata, sekolah telah membuat daftar besaran biaya yang harus ditanggung murid dan harganya bisa ditawar.
Celakanya, ungkap Ade, ada di antara sekolah negeri yang memberlakukan biaya pendaftaran ulang, seperti di sebuah SMA negeri di Jakarta Timur yang mewajibkan biaya lapor diri sebesar Rp 409.000 (iuran bulan Juli Rp 295.000, iuran OSIS Rp 90.000 dan koperasi siswa Rp 24.000). Ada pula pungli di sebuah SMA negeri di Jakarta Pusat yang mewajibkan siswa membayar uang Komite Sekolah untuk bulan Juli sebesar Rp 150.000. [W-12]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar