18 Februari 2008

Dehumanisasi Pendidikan Jadi Masalah Fundamental

Kompas, Senin, 18 Februari 2008

SURABAYA, KOMPAS - Dehumanisasi merupakan salah satu permasalahan fundamental dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan saat ini tidak lagi menghormati dan menghargai martabat manusia dan segala hak asasinya. Akibatnya, melalui proses pendidikan, peserta didik pun tidak tumbuh dalam kemanusiaannya sebagai subyek.
Demikian dikemukakan Anita Lie dalam orasi ilmiah pengukuhannya sebagai Guru Besar pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya, Sabtu (16/2). Mantan Sekretaris Jenderal Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur ini dikukuhkan sebagai guru besar dalam bidang ilmu Afro American Literature, Language Teaching Methodology and Reading.
Dalam sidang terbuka yang diketuai Rektor Universitas Katolik Widya Mandala Ami Soewandi, Anita membawakan orasi ilmiah berjudul Guru: Perjalanan dan Panggilan.
Anita berpandangan saat ini peserta didik telah menjadi obyek demi kepentingan ideologi, politik, industri, dan bisnis. ”Salah satu contoh nyata adalah asumsi bahwa apa yang diajarkan jauh lebih penting dari siapa yang diajar. Jadi, prestasi guru diukur dari nilai peserta didiknya,” kata perempuan yang kini aktif keluar masuk hutan dari Riau, Kalimantan, sampai Papua untuk memberikan pelatihan mengajar kepada para guru di daerah terpencil itu.
Guru menjadi obyek
Guru sebagai pendidik tak mampu menghentikan gejala dehumanisasi ini karena guru sendiri terjebak sebagai obyek dalam sistem pendidikan nasional. Saat ini para guru tengah mengalami belenggu kemiskinan finansial, intelektual, emosional, kultural, dan spiritual.
Akibatnya, semakin lazim saja guru yang bekerja sampingan sehingga tugas utamanya sebagai pendidik terlupakan, kurang membaca dan belajar, karena terbebani berbagai urusan administratif, sehingga cenderung berlaku kasar dan mengumpat, dan akhirnya kehilangan identitas dan integritas. Pekerjaan sebagai guru tak lagi sebuah panggilan.


Budaya ketakutan
Gejala dehumanisasi ini bermula dari budaya ketakutan yang tercipta dari sistem pendidikan nasional Indonesia. Guru sudah terposisikan sebagai perangkat dalam sistem yang tidak cukup memberikan penghargaan bagi upaya pembaruan, namun justru sangat menghargai tindakan pengukuhan aturan dan sistem.
Ketakutan guru terjadi secara multidimensional. Ketakutan terhadap sistem dengan segala perangkatnya, termasuk evaluasi terhadap peserta didik berupa ujian yang diselenggarakan lembaga yang berkuasa, pengakuan atas profesionalitasnya berupa program sertifikasi, maupun penilaian kerja yang buruk dari kepala sekolah, telah menghambat guru untuk menjadi dirinya sendiri secara utuh.
Sementara persoalan mendasar profesional guru masih belum terselesaikan, justru program sertifikasi dan portofolio sudah langsung dijalankan.
Sungguh tak masuk akal tindakan menggunakan berkas-berkas yang dikumpulkan untuk menilai kompetensi seorang guru. ”Sertifikasi telah menimbulkan berbagai ekses buruk seperti manipulasi data yang sangat menodai profesi seorang guru,” kata Anita.
Di akhir pidatonya, Anita mengingatkan, profesi guru merupakan panggilan. Betapa pun berat pergumulan untuk memperjuangkan tingkat kesejahteraan, yang membedakan guru sejati dari yang tidak adalah bagaimana mereka masing-masing memaknai profesi keguruannya. Yang satu menjalaninya sebagai panggilan hidup, yang lainnya hanya untuk mencari nafkah. ”Guru bukan tukang,” katanya tegas. (A13/A10)

Tidak ada komentar: