17 Februari 2008

Kalla: Hentikan Voucher

Jakarta, Kompas - Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum DPP Partai Golongan Karya telah berbicara dengan Menteri Pendidikan Nasional untuk menanyakan tentang voucher yang dibagikan Ketua DPR Agung Laksono. Demi akuntabilitas Kalla minta sistem voucher tidak lagi dipakai.
Voucher itu sebenarnya adalah block grand yang berlaku sejak tahun 1992, tetapi demi akuntabilitas, sudah kami putuskan dan minta kepada Mendiknas untuk tidak memakai sistem itu lagi, ujar Kalla dalam jumpa pers di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (20/10).
Kenapa voucher itu bisa ada di tangan Agung Laksono, menurut Kalla, hal itu disebabkan karena anggaran yang ada di Depdiknas besar dan membutuhkan perluasan penyaluran.

Tidak tahu
Sementara itu, ketika ditemui wartawan kemarin, semua Wakil Ketua DPR menyatakan tidak pernah tahu-menahu soal voucher bantuan pendidikan dari Mendiknas, apalagi mendapatkannya. Saya cuma punya voucher telepon, ujar Wakil Ketua DPR dari F-PDIP, Soetardjo Soerjogoeritno, di ruang kerjanya.
Soetardjo meminta Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pemeriksa Keuangan, Menteri Keuangan, dan juga Presiden untuk menyelidiki persoalan ini.
Agung sendiri mengaku menerima empat lembar voucher itu dari Mendiknas langsung. Nilai total voucher adalah Rp 470 juta dan sudah disalurkan ke empat sekolah dalam Safari Ramadhan beberapa waktu lalu. Namun, dia mengatakan, voucher itu dia terima bukan dalam kapasitas sebagai Ketua DPR, tetapi dalam kapasitas sebagai Ketua Umum Kosgoro 1957.
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Bintang Reformasi Zaenal Maarif mengatakan, Saya baru dengar dan tahu voucher itu setelah Pak Agung ini saja. Sebelumnya tidak tahu.
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar mengatakan tahu soal voucher hanya dari berita di koran. Kebijakan itu memang belum tentu melanggar hukum, tapi ngawur, kata Muhaimin.
Para Wakil Ketua DPR ini pun berpendapat, persoalan ini harus dievaluasi kembali karena rawan penyimpangan karena pendistribusiannya tidak transparan dan tidak terkontrol.
Menurut Zaenal, kebijakan ini sesungguhnya sudah cukup lama dilaksanakan. Saya dengar-dengar, kebijakan ini memang sudah dilaksanakan sejak zaman Mendiknas Malik Fajar, katanya.

Rawan penyimpangan
Dalam jumpa pers bersama beberapa lembaga swadaya masyarakat, di antaranya Indonesia Corruption Watch (ICW), Forum Transparansi Anggaran (Fitra), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Aliansi Orang Tua Peduli Transparansi Dana Pendidikan (Auditan), kemarin, disebutkan pembagian voucher itu rawan penyimpangan.
Sudaryatmo dari YLKI mengemukakan, berbeda dengan bantuan operasional sekolah (BOS) yang diatur ketentuannya, siapa penerima, siapa yang harus memberikan, berapa besarannya, voucher yang dibagikan tidak disertai ketentuan apa pun.
Selain itu, seperti disebutkan oleh La Ode Salama dari Fitra, voucher itu dibagi-bagikan saat anggota DPR memasuki masa reses.Bantuan itu, ujar Sudaryatmo, belum dilembagakan. Itu potensial untuk menyimpang. Semestinya ada legal aspek dulu, kata Sudaryatmo. (JOS/SUT)

Kompas, Sabtu, 21 Oktober 2006

Tidak ada komentar: