Pendanaan pendidikan nasional kita sebenarnya mengalami fluktuasi yang sangat besar. Meski pernah turun hingga hanya 12,2 persen pada tahun 2004, namun tahun 2006 ini mencapai 31 persen dimana tahun 2005 hanya 12,8 persen. Demikian disampaikan Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan – Depdiknas, Fasli Jalal pada acara diskusi dan buka bersama di kantor ICW, Kamis 12 Oktober
Lebih jauh Fasli Jalal menjelaskan, anggaran pos pendidikan rutin yang ke daerah mencapai 68 persen. Namun demikian anggaran sebesar itu cuma untuk operasionalisasi. Sementara untuk pengembangan hanya 32 persen. Dengan kondisi seperti ini, maka ibarat perusahaan sulit melakukan ekspansi bisnis. Jika dibandingkan dengan negara lain anggaran pendidikan kita juga sangat timpang. Di Indonesia setiap siswa SD dibiayai US 110 dollar, sementara di Malaysia mencapai US 1.897 dollar. Jadi meskipun anggaran untuk pendidikan sudah sangat besar, namun ternyata masih kalah dengan negara tetangga. Satu hal yang menarik adalah skenario upaya pemenuhan 20% anggaran pendidikan. Meski dimana-mana digaungkan agar pemerintah memenuhi anggaran pendidikan tersebut namun depdiknas sendiri memiliki skenario sendiri. Tahun 2005 hanya dipenuhi 9,3 persen, tahun 2006 naik 12 persen, 2007 naik lagi 14,7 persen, tahun 2008 diharapkan menjadi 17,4 persen dan baru tahun 2009 anggaran itu mencapai 20,1 persen. Namun di beberapa daerah sudah ada yang menerapkan pencapaian anggaran 20 persen tersebut. Bahkan ada yang sudah mencapai 50 persen kata Jalal. Dalam acara yang diselenggarakan bareng bersama Aliasi Orang Tua Peduli Transparansi Pendidikan (AUDITAN) itu, hadir pula Teguh Imawan pengurus Komite Sekolah di daerah Tebet. Teguh mengungkapkan bahwa upaya menyusun Anggaran Pendidikan dan Belanja Sekolah (APBS) partisipatif masih menghadapi medan ranjau. Ranjau itu adalah regulasi, pencairan dan pengawasan. Selama ini muncul anggapan bahwa APBS partisipatif hanya upaya pengurus komite sekolah untuk mengobok-obok manajemen sekolah. Tahap pengawasan terhadap APBS harus dimonitoring. Satuan pengawas kecamatan, kota dan provinsi harus benar-benar mendapatkan data secara utuh. Karena dalam APBS mencantumkan belanja untuk kegiatan monitoring. Orang tua perlu tahu aktivitas riil kegiatan tersebut sehingga pos belanja tersebut menjadi akuntabel. Problem lainnya adalah adanya Keputusan bersama Kadikdas dan Kakanwil depag DKI Jakarta Nomor 201.a/2006 dan Nomor KW.09.4/4/HK.005/574/2006 yang disinyalir menjauhkan komite sekolah sebagai pengontrol pembelanjaan dana BOP. Namun dibalik pesimisme ini, sebenarnya ada harapan. Bahwa bila kita bisa menerapkan APBS partisipatif ini secara konsisten, maka akan menjadi teladan bagi siswa tentang nilai kejujuran dan konsistensi sikap. (Lais Abid)
http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=9158
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar