17 Februari 2008

Dana BOS Harus Diawasi Lembaga Independen

[JAKARTA] Kebijakan pemerintah memberikan bantuan pendidikan bagi pelajar SD dan SLTP patut diacungi jempol. Namun pada tataran pelaksanaan pemberian dana bantuan operasional sekolah (BOS), ternyata banyak menyimpang, karena itu perlu pengawasan dari lembaga independen.
Demikian benang merah dalam diskusi bertajuk "Anggaran Pendidikan 20 persen, untuk siapa?", yang digelar Indonesia Corruption Watch (ICW), di Jakarta, Kamis (12/10). Hadir dalam diskusi tersebut Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Fasli Jalal, sejumlah orangtua murid di berbagai SD dan SMP di Jakarta dan sekitarnya, serta LSM.
Aktivis Aliansi Orangtua Peduli Transparansi Dana Pendidikan (Auditan) Teguh Imawan mengungkapkan bahwa korupsi berkedok BOS dan BOP sudah sangat sistematis di tingkatan sekolah. Penyimpangan terbesar justru dilakukan di pihak sekolah, contohnya adalah dalam bentuk penyusunan Rancangan Anggaran pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).
Hal itu bisa terlihat dalam pembahasan RAPBS yang kerap tidak transparan dan melibatkan komi- te sekolah. "Pembuatan RAPBS tersebut kerap didesain untuk menyedot uang agar masuk ke sekolah. Padahal, pemerintah sudah mengucurkan BOS. Lebih aneh lagi, tidak ada laporan pertanggungjawaban yang diberikan kepada para orangtua siswa," katanya.
Teguh menuturkan, korupsi sistemik yang dilakukan di tataran sekolah tidak mengenal apakah sekolah tersebut memiliki mutu yang bagus atau tidak. "Misalnya, berbagai pungutan yang dikeluhkan terjadi pada sebuah SDN di Menteng, Jakarta Pusat. Padahal, SD ini sangat bagus dengan berbagai prestasi. Kenyataannya, banyak orangtua murid yang memberikan laporan maraknya pungutan dari sekolah itu sehingga memang dibutuhkan lembaga pengawas independen dan profesional ketika pengawas daerah sudah tumpul dalam melakukan fungsinya," kata dia.
Teguh mengemukakan, upaya dalam menyusun RAPBS partisipatif masih menghadapi sejumlah persoalan krusial. Pertama adalah persoalan regulasi. Secara teori RAPBS memang sangat bagus, namun masih lemah pada implementasinya. Kelemahan mendasar ini terletak pada rendahnya kompetensi teknis pihak sekolah, dalam hal ini kepala sekolah, dalam mengelola keuangan.
Persoalan kedua adalah pencairan dana BOS. Pencairan dana BOS atau BOP ke rekening bank sekolah tidak di awal bulan kegiatan belajar mengajar, namun cair di bulan kedua dan ketiga. "Pola ini justru menciptakan bandar-bandar untuk meminjamkan uang mereka," kata dia.
Persoalan ketiga adalah persoalan yang paling krusial, yakni tidak adanya pengawasan terhadap keuangan sekolah. "Di sinilah, sering terjadi penyimpangan," katanya.
Tidak Berkurang
Manajer Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW Ade Irawan, mengatakan masih terdapat sejumlah masalah pelaksanaan BOS itu. Sebagian besar orangtua murid sesuai hasil survei Citizen Report Card (CRC) masih belum me- miliki pemahaman yang baik mengenai kebijakan pe- merintah tentang BOS. Menurut dia, dana BOS saat ini belum mengurangi semua pungutan yang ada di sekolah.
Sementara itu, Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Fasli Jalal mengakui masih banyak penyimpangan BOS yang dilakukan pihak sekolah. Khususnya, penyimpangan yang dilakukan di daerah. Namun, Depdiknas sendiri sulit untuk memberikan sanksi tegas terhadap sekolah-sekolah yang diduga kuat melakukan penyimpangan dana BOS lantaran sudah masuk dalam kerangka otonomi daerah. [W-12]

SUARA PEMBARUAN DAILY , Jumat, 13 Oktober 2006

Tidak ada komentar: