Khawatir Pemerintah Lepas
Rabu, 20 Februari 2008
Jakarta, Kompas - Rancangan Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan masih terus menjadi polemik dan perdebatan. Salah satu sumber kekhawatiran yang menyebabkan perdebatan itu ialah ketidakyakinan bahwa pemerintah tetap akan berperan dalam persoalan pendidikan.
Perdebatan tersebut tercermin dalam rapat dengar pendapat yang dihadiri oleh anggota Panitia Ad Hoc III Dewan Perwakilan Daerah, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro, serta Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina Utomo Dananjaya, Selasa (19/2) di Jakarta.
Seperti diberitakan sebelumnya, DPR dan pemerintah tengah melaksanakan uji publik terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Terkait pembiayaan pendidikan dalam perundang-undangan itu disebutkan antara lain besaran biaya yang dapat dipungut dari masyarakat oleh BHP hanya sepertiga dari biaya operasional pendidikan.
Ketua APTISI Suharyadi mengatakan, APTISI mendukung RUU BHP karena dianggap mampu mendorong terciptanya organisasi pendidikan yang sehat, otonom, dan akuntabel. Selain itu, terdapat kecenderungan terjadinya perbedaan pendapat antara pengurus yayasan dan pengelola pendidikan dalam kebijakan strategis dan operasional.
Kebijakan akademis sering kali tidak berjalan maksimal karena rantai birokrasi harus melalui yayasan. Perselisihan itu mengganggu proses pembelajaran. Sebagai badan hukum, lembaga pendidikan juga akan lebih dinamis dalam menjalin kerja sama.
Di sisi lain, tetap terdapat keberatan terhadap RUU BHP. Kekhawatiran antara lain dengan kemungkinan pemerintah mengurangi perannya dalam pengelolaan pendidikan. Muncul ketidakyakinan akan komitmen pemerintah untuk berperan besar menanggung beban biaya pendidikan.
”Dalam RUU BHP banyak diatur keuangan. Padahal, kenyataannya, tanpa persetujuan Departemen Keuangan sulit akan dipenuhi. Itu sangat tergantung dengan kemampuan pemerintah,” ujar Wardiman Djojonegoro.
Selain itu, masyarakat dapat melihat kembali kepada pengalaman betapa pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen sebagai amanat konstitusi tidak dapat dipenuhi. Padahal, konstitusi tersebut juga telah diperkuat dengan keputusan Mahkamah Konstitusi, yakni APBN yang tidak memenuhi ketentuan anggaran pendidikan 20 persen itu melanggar hukum. (INE)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar