Mantan Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Winarno Surakhmad menilai, arah pendidikan nasional Indonesia berjalan tanpa falsafah yang jelas. Kacaunya dunia pendidikan nasional disebabkan oleh tidak adanya landasan falsafah yang mendasari praksis pendidikan di lapangan.
Landasan falsafah pendidikan yang dimaksudkan Winarno adalah visi bersama yang mampu mempertemukan berbagai pemikiran tentang praksis pendidikan nasional. Kealpaan falsafah ini, menurut Winarno, telah mereduksi perbincangan tentang masalah pendidikan yang terjebak pada persoalan bersifat teknis metodologis. Dia juga menilai, kesalahan terbesar pemerintah dalam hal pengembangan pendidikan adalah terlalu kuatnya intervensi politis, sehingga dunia pendidikan bergantung pada interes politik kelompok penguasa. Pendidikan Pancasila, misalnya, yang seharusnya melibatkan seluruh lapisan kaum pelajar ternyata tidak menjadi wahana diskusi ilmiah bagi pengembangan ideologi bangsa menghadapi tantangan kehidupan bangsa yang kian kompleks.
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Endang Sumantri juga mengatakan paradigma pendidikan yang dibutuhkan sekarang adalah keseimbangan antara pembinaan intelek, emosi, dan semangat. "Kesemuanya itu bakal berjalan baik apabila didasari oleh Pancasila untuk tetap menjaga bangsa Indonesia dalam ideologinya sendiri," ujarnya.
Menurut Endang, untuk dapat melaksanakan paradigma pendidikan, generasi muda harus mendapatkan pendidikan nilai yang di dalamnya ada agama, ideologi, budaya bangsa, pendidikan karakter, serta politik kebangsaan. Pendidikan yang berkarakter itu menekankan tiga komponen karakter yang baik, yaitu pengetahuan tentang moral, perasaan tentang moral, dan perbuatan bermoral. Dia mengingatkan, semua hal baik itu bakal sia-sia jika tidak dibarengi dengan pendidikan politik bagi generasi muda. Dengan pendidikan politik bisa diperoleh generasi yang berkepribadian utuh, berketerampilan, sekaligus memiliki kesadaran yang tinggi sebagai warga negara. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra dalam seminar pendidikan di Bandung, mengatakan, bangsa Indonesia harus merevitalisasi kebangkitan nasional. Kalau tidak, ideologi lain yang tidak cocok bisa masuk, dan bukan tidak mungkin malah menghancurkan bangsa ini.
Kekhawatiran juga disampaikan Darmaningtyas, anggota Majelis Pendidikan Taman Siswa yang menegaskan besarnya pengaruh ormas keagamaan dan partai politik tertentu yang telah menunggangi sektor pendidikan untuk kepentingan kekuasaan dapat dijadikan salah satu alasan gagalnya program pendidikan. Politisasi pendidikan dalam bentuk regulasi kebijakan di daerah dalam bentuk peraturan daerah yang cenderung diskriminatif dan jauh dari semangat pluralisme harus dihentikan.
Sungguh memprihatinkan kalau para elite kita tidak mencermati atau pura-pura tidak tahu dengan fenomena pendidikan nasional, yang sudah melenceng ke arah politisasi untuk kepentingan kelompok tertentu. Kalau visi pendidikan nasional tidak lagi membentuk karakter keindonesiaan, ke depan sulit mengharapkan generasi muda bangsa memiliki semangat nasionalisme, seperti dirintis para pendiri bangsa ini. Mengapa kekhawatiran itu justru dikaitkan dengan dunia pendidikan? Karena melalui institusi pendidikan, nilai, jiwa, serta semangat kebangsaan ditanamkan dan ditumbuhkan.
Oleh karena itu, setiap kebijakan pendidikan nasional haruslah selalu mengarah pada tujuan bersama bangsa ini yang pluralis, bukan menuju hegemoni mayoritas kelompok atau kepentingan ideologi tertentu. Kekhawatiran itu, seyogianya menjadi perenungan kita semua saat memperingati Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2008 ini agar arah dan cetak biru pendidikan nasional tidak kehilangan roh keindonesiaannya.
Tajuk Rencana Suara Pembaruan 3 Mei 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar