suara pembaruan 30-4-2008 JAKARTA -- Kebijakan menyelenggarakan ujian nasional (UN) telah melanggar Peraturan Pemerintah (PP) 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Sebab, dalam PP itu disebutkan, UN diselenggarakan setelah memenuhi delapan standar, sementara hal yang dimaksudkan tersebut belum terpenuhi.
Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina Utomo Danajaya mengatakan, Pasal 2 Ayat (1) PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, ada delapan standar yang seharusnya dipenuhi baru UN digelar. Kedelapan standar itu, yakni standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
"Kita harus memandang ini bukan sekadar teknis yang bisa diperbaiki dengan dikawal oleh polisi, diawasi oleh disergap oleh Densus 88, pertanyaan jadi 100 model. Itu tidak mengubah fakta ujian nasional sebagai pelanggaran dari hak asasi rakyat, hak asasi anak-anak," kata Utomo.
Selain itu, Utomo menuturkan kebijakan UN hanya menghasilkan tanda lulus bagi anak didik. Tanda itulah yang kemudian menjadi syarat untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. "Misalnya, tanda lulus UN siswa SMA, nantinya hanya digunakan untuk mendaftar ke perguruan tinggi (PT) karena siswa diterima di PT tetap berdasarkan ujian masuk," ujarnya.
Ancam Wajar
Lebih lanjut, Susilahati mengungkapkan kebijakan UN juga mengancam hak anak didik untuk memperoleh wajib belajar sembilan tahun. Dia menuturkan hak itu dijamin dalam pasal 48 UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal ini mewajibkan pemerintah menyelenggarakan pendidikan dasar selama sembilan tahun.
Menurutnya, UN berpotensi menghambat pelaksanaan wajib belajar karena memungkinkan adanya siswa yang tidak lulus. Kemungkinan itu menjadi kendala tersendiri bagi kelangsungan proses wajib belajar. "Tidak boleh ada hambatan apa pun untuk seorang anak duduk belajar sembilan tahun. Bukan berarti keluar SD kemudian tidak lulus, jadi dia tidak boleh melanjutkan sekolah. Ini kan membahayakan wajib belajar sembilan tahun," kata Susilahati.
Dia menambahkan, pemerintah saat ini tampaknya tidak menghawatirkan ancaman terhadap proses wajib belajar. Padahal, peluang ketidaklulusan anak didik terbuka karena tingginya ketakutan mereka untuk menghadapi UN. Alternatif mengulang lewat paket-paket pendidikan, ujar Susilahati, justru akan membuahkan persoalan baru.
"Kalau SMA atau SMP mereka masuk paket C atau paket B. Kalau SD masuk paket A, itu sangat tidak manusiawi karena paket A dikhususkan bukan untuk usia mereka. Mereka kan bergaul, bercampur dengan orang yang tidak sebaya," tuturnya.
Di lain pihak, Abduhzen juga menyepakati terbukanya peluang kegagalan dalam UN. Sistem UN yang menjadi satu-satunya penentu kelulusan serta tingginya standar kelulusan, kata Abduhzen, memperbesar ancaman kegagalan UN bagi anak didik
"Standar kelulusan semakin naik, sementara proses pembelajaran dan fasilitas pendukung relatif tidak ditingkatkan, semakin terasa tegas ancaman ketidaklulusan," tandasnya.
Sementara itu, Komisioner Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susilahati juga menyatakan, hak anak didik untuk berkembang secara optimal baik dari segi fisik, mental, maupun akhlak. Padahal, Pasal 1 Ayat (2) Undang-undang (UU) 23/2002 tentang Perlindungan Anak menjamin terpenuhinya hak-hak tersebut tanpa perlakuan diskriminasi.
Setiap anak didik memiliki hak asasi untuk bertumbuh sesuai bidang tertentu yang menjadi minat dan kemampuan mereka. Namun, sistem dalam UN menutup kesempatan itu. Anak didik tidak diberi hak untuk menetapkan pilihan atas bidang-bidang pelajaran tertentu secara bebas. "Sebagian dari mereka ada yang pelajaran olah raganya bagus, tapi itu akhirnya terabaikan," katanya.
Senada dengan itu, Koordinator Education Forum Mohammad Abduhzen mengatakan kebijakan UN telah memberangus kesempatan anak didik untuk mencintai proses belajar. Dalam hal ini, kata Abduhzen, UN telah melanggar fungsi pendidikan yang terangkum dalam pasal 3 UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
"Menghapal sejumlah mata pelajaran UN jelas tidak memekarkan fungsi nalar yang sangat dibuthkan untuk membangun sikap rasional masyarakat," tandas Abduhzen dalam forum yang sama. [NCW/M-15]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar