Seperti diwartakan sebelumnya, anggaran BOS untuk buku yang semula Rp 432 miliar dipotong Rp 166 miliar, sedangkan beasiswa bagi siswa miskin Rp 359 miliar jadi Rp 71,85 miliar.
Warga pinggir Kali Grogol di daerah Kemandoran Pluis, Jakarta, Jumina (36), Jumat (11/4), mengatakan, anaknya di kelas VI sebuah sekolah dasar negeri di Palmerah selama satu semester terakhir tidak punya buku pelajaran sama sekali. Untuk belajar sehari-hari, mempersiapkan ujian akhir sekolah berstandar nasional, anaknya terpaksa meminjam buku teman atau belajar di rumah teman.
”Saya waktu itu tidak punya uang, sekarang juga tanggung, sudah mau lulus. Total harga buku lebih dari Rp 100.000 dan tidak bisa dicicil sedikit-sedikit. Saya mana punya uang sekaligus banyak begitu. Apalagi adiknya yang duduk di kelas II juga minta dibelikan buku pelajaran,” ujar Jumina yang mengandalkan pendapatan dari jualan mi ayam.
Keuntungan bersih berjualan adalah Rp 20.000-Rp 40.000 setelah naiknya harga sejumlah bahan baku seperti harga minyak. Dia membayar kontrak rumah Rp 250.000 per bulan dan uang saku Rp 1.000 untuk setiap anaknya. Jumina mempunyai empat anak, dua duduk di kelas II dan kelas VI SD. Satu anak berumur empat tahun, yang tertua baru putus sekolah di kelas II SMA.
Anaknya yang kelas II dipinjami tiga buku dari sekolah. Sisanya masih harus membeli. Anaknya yang kelas VI tidak mendapat pinjaman buku. Mendengar dana BOS buku dipotong, dia hanya berkata, ”Yah, seperti biasa aja.... Pasrah.”
Kaseh (35), warga di daerah yang sama, mengeluhkan hal serupa. Seorang anak Kaseh duduk di kelas I SMP swasta dan seorang lagi di kelas II SD negeri. Sumber penghasilannya dari usaha sablon. ”Anak saya yang kelas I SMP semester terakhir harus beli buku Rp 113.000, tidak boleh dicicil dan harus dibayar satu bulan. Kalau tidak ada uang, tidak ada buku. Terpaksa utang sana-sini. Kemarin dia minta Rp 15.000 untuk LKS (buku Lembar Kerja Siswa),” ujarnya.
Kaseh juga harus membeli buku untuk anaknya yang kelas II SDN Rp 250.000 untuk satu tahun. Mereka sulit bertukar buku karena buku antarsekolah berlainan. Bahkan, setiap angkatan di satu sekolah pun sering berbeda bukunya.
Mereka memang tak dipungut lagi iuran sekolah bulanan setelah ada BOS, tetapi bagi mereka biaya buku saja sudah sangat berat. ”Buat saya, orang susah, seharusnya pendidikan mah gratis. BOS harusnya ditambah,” ujarnya.
Aktivis pendidikan dari Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marginal, Fitri, mengatakan, pemotongan anggaran oleh pemerintah terhadap beasiswa bagi anak miskin dan BOS buku mencerminkan betapa biaya pendidikan semakin dilimpahkan kepada masyarakat.
Padahal, bantuan yang ada pun belum memadai untuk menjamin akses masyarakat ke pendidikan dasar. ”Ini tentu tidak menguntungkan bagi masyarakat miskin dan semakin menambah hambatan mereka dalam mengakses pendidikan dasar. Padahal, mereka sangat membutuhkan dan masih meyakini pendidikan merupakan modal untuk mengubah nasib mereka,” ujar Fitri.
Negara saat ini memang harus berhemat untuk dapat maju dan berjalan, tetapi seharusnya tidak berhemat dalam hal pembangunan pendidikan. Peningkatan sumber daya manusia akan dapat meningkatkan perekonomian, kesejahteraan, dan keberdayaan masyarakat. (INE)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar