MADIUN - Unjuk rasa yang kerap mewarnai berbagai kota di Tanah Air, sejak bergulirnya reformasi sepuluh tahun silam, kelihatannya sudah tak lagi mengenal batasan. Bukan hanya, batasan isu, waktu, dan tempat, tapi lebih dari itu, batasan usia. Buktinya hari ini, sekira 20 murid Taman Kanak-kanak Santo Antonius, Madiun, Jawa Timur, ikut "turun ke jalan".
Mereka bersama orang tua, guru, dan LSM Masyarakat Peduli Pendidikan Madiun berunjuk rasa di Pengadilan Negeri Madiun, Polresta Madiun, dan Kejaksaan Negeri Madiun menolak eksekusi sekolah mereka oleh pengadilan, Rabu (30/4).
Menurut Ketua Yayasan TK Santo Antonius Agustin, sekolah yang sekarang menjadi tempat belajar 90 anak ini merupakan TK pertama di Madiun yang dibuat tahun 1933. Sekolah ini rencananya akan dieksekusi pada 2 Juli 2008 oleh Pengadilan Negeri Kota Madiun. Eksekusi dilakukan karena saudara-saudara kandung dari Agustin telah menjual tanah itu ke pengusaha diskotik di Madiun pada tahun 2000 dan 2003.
Tanah yang luasnya 1.180 meter persegi itu, menurut Agustin, dijual dengan penuh tipu daya dan rekayasa. Penjualan juga tidak mengikuti wasiat ayah Agustin, Sudiharjo, yang memiliki tanah tersebut. Dalam wasiatnya, sang ayah meminta agar lembaga pendidikan itu dipertahankan dan dilestarikan. "Langkah hukum dari Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung telah kami tempuh, tetapi kami kalah dan sekarang kami mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung setelah kami temukan bukti baru. Oleh karena itu kami meminta eksekusi TK kami ditunda," jelasnya.
Unjuk rasa berakhir setelah ketiga tempat itu dikunjungi. Di setiap tempat, anak-anak TK memberikan bunga mawar kepada mereka yang menerima unjuk rasa dari TK Santo Antonius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar