18 April 2008

Kisah Ibu Guru Neyfi dan Dana BOS

Kisah Ibu Guru Neyfi dan Dana BOS
Penghuni rumah tahanan berbincang dengan petugas sipir di rumah tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur, Rabu (14/2). Jumlah penghuni rutan melebihi kapasitas, dari yang seharusnya 504 orang, kini sudah mencapai 1.514 orang (51,92 persen pelaku adalah penyalahguna obat terlarang).
Kamis, 17 April 2008 | 07:06 WIB

MINGGU, 20 April besok, Melvin Scafi merayakan ulang tahunnya yang ke-4. Seharusnya, Melvin dan keluarga bergembira pada hari itu. Namun, bocah kecil ini harus menunda kegembiraan di hari ulangtahunnya. Pasalnya, mamanya, Neyfiyana (36), tidak bisa berkumpul merayakan hari bahagia ini. Sudah empat bulan, sejak pertengahan Desember tahun lalu, Neyfi -sapaan akrab Neyfiyana- ditahan di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Ia tersandung dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

“Saya rindu anak-anak saya. Buat seorang ibu, tidak bertemu dengan anaknya selama empat bulan adalah siksaan. Seharusnya kami sekeluarga bahagia hari Minggu besok merayakan ulangtahun Melvin. Tapi, Tuhan belum mengizinkan kami sekeluarga bergembira tahun ini,” tutur Neyfi pelan saat ditemui di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Rabu (16/4).

Ia sama sekali tidak menyangka, ketidaktahuannya akan ketentuan penggunaan dana BOS bakal menyeretnya ke penjara. Ia begitu terpukul atas tuduhan korupsi yang ditujukan padanya. “Tak sepeser pun duit itu saya gunakan untuk kepentingan pribadi. Saya hanya melaksanakan apa yang sudah disahkan oleh pejabat berwenang. Bahwa ternyata itu salah, saya sama sekali tidak tahu. Tahu-tahu masuk penjara,” tuturnya dengan senyum getir.

Empat bulan sudah Neyfi di Pondok Bambu. Matanya masih terlihat sembab. Melvin dan adiknya, Michael Scafi (3 th), tahunya mama mereka sedang tugas belajar ke Singapura. Siang itu, Agustinus (37), suami Neyfi menemani perbincangan dengan Kompas.com. “Mereka sudah berpindah-pindah tempat pengungsian. Melvin sering protes kenapa mama belajar lama sekali. Kami sengaja tidak memberitahu yang sebenarnya untuk menjaga kondisi piskologis mereka,” ujar Agustinus.

Neyfiyana adalah kepala sekolah SD Maria Franciska, Bekasi, Jawa Barat. Bolehlah dibilang nasibnya sedang sial. Enam belas tahun sarjana pendidikan lulusan Universitas Atmajaya, Jakarta, ini meniti karir sebagai guru. Tahun 2005 ia mendapat tawaran menjadi kepala sekolah di SD Maria Franciska. Ia pun memutuskan pindah dari sekolah sebelumnya dan menerima tawaran itu. Tahun itu pula pemerintah menggulirkan program dana BOS sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Seumur-umur, Neyfi belum pernah berurusan dengan prosedur administrasi negara. Maklum, selama ini ia mengajar di sejumlah sekolah lumayan elite yang kondisi keuangan sekolahnya cukup mandiri. Buat orang awam seperti Neyfi, prosedur tertib administrasi negara yang dimaksudkan sebagai filter penyimpangan keuangan amatlah rumit. Tentu bukan hanya Neyfi yang merasa dipusingkan oleh keruwetan administrasi ini. Sialnya, ia sendirian mengalami apesnya nasib tersangkut dana BOS.

“Waktu itu, sebagai orang baru, saya tidak tahu kalau sekolah saya menerima dana BOS. Yayasan juga sebetulnya menolak karena strata sosial siswa-siswa sekolah kami adalah menengah ke atas. Kami pun mengajukan penolakan penerimaan dana. Tapi, menurut diknas (pejabat Departemen Pendidikan Nasional) setempat (tingkat kecamatan) dana ini sudah telanjur turun, tidak bisa ditolak,” terangnya.

Karena dana tidak bisa ditolak, mulailah Neyfi berkutat dengan tata tertib administrasi kenegaraan untuk melengkapi prasyarat atas dana yang telanjur turun. Berdasarkan ketentuan, sekolah penerima dana BOS harus membuat Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Rencana anggaran ini adalah panduaan penggunaan dana BOS di sekolah.

“Karena saya tidak tahu aturan soal dana BOS ini, ya saya mencari tahu bagaimana sekolah-sekolah lain menggunakannya. Saya lihat-lihat dan tanya ke guru-guru sekolah lain. Saya juga beberapa kali konsultasi dengan diknas setempat. RAPBS pun jadi. Disahkan, ditandatangani oleh camat, diknas dan komite sekolah. Ya sudah, itu yang saya jadikan acuan,” jelasnya.

September 2005 dana BOS untuk sekolah Neyfi cair. Sementara, panduan penggunaan dana ini baru sampai ke tangannya setelah RAPBS disahkan. Ia tidak lagi memperhatikan panduan itu karena sudah merasa yakin dengan konsultasi dengan pihak diknas.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Januari 2007, setelah satu tahun berlalu, datang surat panggilan dari Kejaksaan Negeri Bekasi. Isi surat itu bak petir di siang hari yang terik. “Saya kaget! Saya dipanggil untuk diperiksa sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi dana BOS tahun anggaran 2005 yang dialokasikan kepada SD Maria Franciska,” cerita Neyfi.

Usut punya usut, penyelewengan yang dimaksud dalam RAPBS yang disusun Neyfi antara lain menyangkut pembelian pakaian kerja guru dan pakaian koor guru dan siswa. Nefyi disangka merugikan keuangan negara sebesar Rp 20 juta. Di penghujung tahun, 17 Desember 2007, Neyfi ditahan pihak kejaksaan. Ayahnya yang syok menghadapi kenyataan putrinya masuk penjara meninggal seminggu kemudian. “Kok, dari awal tidak diberitahu bahwa itu salah. Kalau salah kenapa RAPBS kami disetujui, tidak dikoreksi. Kalau tahu begini, mending tidak terima dana BOS, karena kami memang tidak butuh,” ucapnya.

Kemalangan Neyfi belum berakhir. Setelah terjerambab dalam kebingungan tertib administrasi negara, Neyfi terjerumus dalam rimba gelap peradilan negeri ini. Empat bulan dalam tahanan ia telah menggelontorkan uang tak kurang dari Rp 100 juta untuk mengurus perkaranya. Agustinus, suami Neyfi menuturkan, harta satu-satunya milik mereka berupa rumah di kawasan Cikarang terpaksa digadaikan ke Bank. “Kami ini orang buta hukum. Waktu Neyfi masuk penjara banyak orang bilang begini begitu, karena tidak tahu kami ikuti saja. Katanya ada yang mau bantu, tapi ternyata tidak ada hasilnya,” tutur Agustinus.

Persidangan kasus Neyfi masih berlangsung di Pengadilan Negeri Bekasi. Jaksa penuntut umum menuntut hukuman penjara 1 tahun 6 bulan. Sementara menunggu putusan majelis hakim, Neyfi menghabiskan hari-harinya dengan doa untuk kedua anaknya dari balik terali. Apapun putusannya, yang pasti Minggu besok Melvin akan merayakan ulang tahunnya sendiri, tanpa Neyfi disampingnya.


MBK
Ada 40 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda
Tiny @ Kamis, 17 April 2008 | 15:09 WIB
Yg benar2 menggelapkan dana bisa bersenang2 diluar sana, tapi yg bersih malah menjadi kambing hitam. Dibalik terali besi saja masih diperas, saya tau masalah ini dari tmn kampus saya yg merupakan salah satu guru yang bekerja di SD tsb, saya percaya Ibu Neyfi tidak bersalah. Doa kami menyertai ibu Neyfi. Kalau sampai keputusan yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Bekasi benar2 tidak sesuai dengan kebenaran, maka terbuktilah betapa bobroknya keadilan di Negara kita, terutama oknum2 di PN tsb.
yunanta @ Kamis, 17 April 2008 | 13:37 WIB
Saya sedih
A. Francis @ Kamis, 17 April 2008 | 10:43 WIB
Bu Neyfi, sabar, banyaklah berdoa, dan kuatkan iman ibu kepada Tuhan. Hukum, dan terutama Tuhan, tidak buta. Dia tidak akan meninggalkan ibu dan keluarga selamanya, percayalah.
ratna @ Kamis, 17 April 2008 | 10:37 WIB
Untuk Bu KepSek, yg tabah...ya Jalani semua sesuai prosedur aja, jgn dengar bujukan2 calo2 hukum ,yg cuma mo cari duit dr org yg lagi susah. Sy prihatin sekali dgn kasus ibu ..semoga cpt kumpul lagi dgn suami dan anak2 tercinta.
nurlely @ Kamis, 17 April 2008 | 10:00 WIB
bukan hal baru toh cerita demikian di republik ini? tp koq rasanya ada yang ganjil darikisah ibu guru? kenapa tiba-tiba keluar surat dari kejaksaan? ada masalah apa sebelumnya? tetap bersemangat ibu guru!
snamora@yahoo.com @ Kamis, 17 April 2008 | 09:56 WIB
Masih banyak sperti Neyfi di negeri ini tetapi tak pernah disorot.Oknum2 dikanas di negeri ini memang begitu.Bijaksananlah pak hakim.Yakinlah Neyfi tak bersalah.salam dari marketer buku sekolah
abdullah umar @ Kamis, 17 April 2008 | 09:38 WIB
Mau dicari kemana lagi keadilan di negeri ini sementara para penjahat2 yg besar dan pembesar2 yg jahat terus merajalela di negeri ini ... Duh, mirisnya hati ini ... Kepada Bu Neyfi, aku turut prihatin atas musibah yg terjadi, terus berjuang, yakinlah pintu keadilan masih terbuka...
Sangulosquaw @ Kamis, 17 April 2008 | 09:32 WIB
SIAPA DARI PEMERINTAH YANG BISA MENJELASKAN JAWABAN DARI PERTANYAAN INI? APARAT HUKUM KITA BISA GAK? “Kok, dari awal tidak diberitahu bahwa itu salah. Kalau salah kenapa RAPBS kami disetujui, tidak dikoreksi."
anak @ Kamis, 17 April 2008 | 09:30 WIB
Berdoa
lian @ Kamis, 17 April 2008 | 09:27 WIB
coba bapak-bapak pejabat dan bapak-bapak yg melek hukum, dimana keadilan bagi kita (rakyat yg awam hukum) sdh kejeblos uangnya diperas pula sama oknum yg tdk bertanggung jwb.sementara yg jelas-jelas korupsi masih enak-enakan menikmati hidupya... sabar ya bu guru...
uchas @ Kamis, 17 April 2008 | 09:26 WIB
embeeerrrrr... jadi males tuh berurusan sama yang berbau2 birokratis pemerintahan... salah2 malah jadi ketipu...!!
zikoer @ Kamis, 17 April 2008 | 09:18 WIB
semoga kebenaran bisa terungkap, semoga keadilan berpihak pada yang benar, Tuhan tidak pernah menutup mata Nya.
kikuk @ Kamis, 17 April 2008 | 09:17 WIB
Aparat kita emang keparat,pejabat kita emang penjahat,rakyat kita semakin melarat,hidup kita semakin dihujat

Tidak ada komentar: