Pengantar Redaksi TranparansiPendidikan: Inilah potret hitam legam betapa tunas-tunas cerdas bangsa terganjal potensi dahsyatnya. Institusi pendidikan telah berubah wataknya tak ubahnya sebagai sales bangku kampus. Puluhan juta rupiah mungkin kecil, tak seberapa untuk orang Jakarta yang kaya, tapi ... uang itu di mata rakyat kecil, sungguh, sungguh, dan sungguh buuuuuuuuuuuuuuanyaaaaaaaakkkkkkkkkkkkk!!!
Oleh Daus
KOMPAS.com — "Maafkan aku, Nak, ya. Urungkan niatmu untuk menjadi sarjana. Ayah tidak sanggup menyediakan uang sebesar itu dalam waktu sekejap."
Kata itu mungkin yang sering muncul dari seorang ayah yang anaknya diterima menjadi mahasiswa jalur undangan perguruan tinggi negeri (PTN). Dulu, jalur ini dikenal dengan penelusuran minat dan kemampuan, atau kerap disingkat PMDK.
Bagaimana tidak, seorang teman di Facebook, Coen Husain Pontoh, menuliskan keluh kesahnya di statusnya. "Keponakan saya keterima di salah satu universitas terkemuka di Pulau Jawa melalui jalur "undangan". Tapi, untuk bisa masuk kuliah, ia pertama kali harus bayar Rp 40 juta kontan," tulisnya.
"Kampusnya terkenal sebagai kampus rakyat, namanya: Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta," tulisnya di http://www.facebook.com/home.php#!/coenhusainpontoh/posts/10150185073318500.
Bayangkan, orangtua yang gajinya di atas upah minimum, katakanlah Rp 2,5 juta per bulan, belum tentu bisa menyediakan uang sebesar itu dalam waktu singkat. Kecuali, kalau orangtua itu nyambi korupsi tentunya. Padahal, upah minimum seorang buruh atau karyawan/karyawati di Jakarta berkisar Rp 1,2 juta.
Pada situs Pemprov DKI Jakarta tertanggal 29 November 2010 diberitakan bahwa upah minimum DKI Jakarta (UMP/UMR DKI Jakarta) tahun 2011 ditetapkan sebesar Rp 1.290.000 per bulan per orang. Apa ini artinya? Artinya, jika kita anak seorang buruh yang gajinya sesuai dengan upah minimum atau dua kalinya upah minimum yang ditetapkan pemerintah, kita dilarang untuk menjadi mahasiswa.
Kampus hanya untuk orang kaya. Orang miskin dilarang masuk kampus untuk belajar. Yang boleh belajar di kampus adalah orang-orang kaya. Sementara jika pendidikan tinggi adalah salah satu pintu masuk untuk mengubah kehidupan agar lebih baik, pintu itu sekarang sudah perlahan-lahan ditutup.
Yang kaya makin kaya dan yang miskin tetaplah miskin. Tak peduli di negeri yang mengklaim berdasarkan Pancasila, yang berdasarkan Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keadilan Sosial. Yang jelas di negeri ini anak orang miskin silakan minggir dari pendidikan tinggi.
"Salah sendiri lu miskin, orang miskin, enyah aja lu".
Mungkin, itu kata-kata yang muncul di pikiran, hati, dan lisan para petinggi negeri ini, yang membiarkan komersialisasi pendidikan semakin menggila.
Nak, urungkan niatmu jadi sarjana ya….
Sudah jangan menangis terus, Nak….
Mungkin kita hidup di negeri yang salah.…
Di negeri yang menganggap orang-orang miskin hanya sekadar angka, bukan warga negara….
Penulis adalah anggota Kompasiana
http://edukasi.kompas.com/read/2011/05/20/10261678/Nak.Urungkan.Niatmu.Jadi.Sarjana.
1 komentar:
Itu terjadi dengan saya sekarang, saya hanya mengharapkan dapat beasiswa Bidik Misi, atau beasiswa lainnya untuk terus bertahan di ITB. Terima kasih telah menulis artikel ini
Posting Komentar