PROFIL USAHA
KOMPAS/AGNES SWETTA PANDIA
Nurul Soraya (36), perajin sepatu dengan bahan baku limbah kulit di Surabaya, Jawa Timur.
Oleh Agnes Swetta Pandia
Limbah kulit dari pabrik sandal dan sepatu bermerek internasional ternyata bisa bernilai jual tinggi. Bagaimana kita bisa menuangkan ide dan kreasi untuk memanfaatkan limbah kulit menjadi alas kaki bergengsi?
Limbah kulit berukuran paling besar 15 sentimeter dan berbentuk berantakan karena merupakan sisa potongan ternyata bisa diolah oleh pasangan Jovi Suyuti (48) dan Nurul Soraya (36) di Surabaya, Jawa Timur.
Pasangan yang pernah jatuh bangun dengan berbagai bisnis, termasuk jual beli mobil bekas, sudah menetapkan hati mengembangkan usaha alas kaki dengan memanfaatkan limbah kulit berkualitas ekspor.
Bermodal uang Rp 100.000, pada tahun 2005 mereka merintis usaha alas kaki, terutama sandal orang dewasa untuk perempuan dan laki-laki. Kala itu dana tersebut bisa untuk memproduksi lima pasang sandal, yang langsung dijual kepada tetangga dan teman.
Dalam perjalanannya, respons terhadap produk alas kaki kulit itu terus meningkat sehingga Jovi dan Nurul termotivasi untuk mendongkrak produksi hingga kini. Kini sekitar 20-30 pasang sandal selesai digarap setiap hari dengan dibantu empat pekerja. Sandal dijual Rp 30.000 per pasang.
Mereka berupaya menekan biaya produksi dengan mengandalkan alat kerja bekas, seperti cetakan sandal atau gelbut yang dibeli di pasar loak di Surabaya. Sepasang cetakan cuma Rp 1.000. Kalau cetakan baru, harganya justru Rp 60.000 per pasang.
Bahan baku berupa guntingan kulit dibeli dengan harga Rp 10.000-Rp 15.000 per kilogram dari pabrik sepatu kulit PT Ecco di Candi, Sidoarjo.
Dari bahan ini bisa dibuat 10-15 pasang sandal dewasa berwarna coklat, merah muda, merah maroon, putih, dan hitam seharga Rp 30.000-Rp 40.000 per pasang. Soal warna alas kaki sangat tergantung pada pasokan dari pabrik tersebut dan didominasi warna coklat.
Ibu dua anak ini, yang mengembangkan galeri usaha sekaligus tempat tinggal di Jalan Nginden Raya 61, membeli sol langsung di pabrik di kawasan industri Surabaya.
Harga jual produk bisa murah karena alas atau sol juga memanfaatkan limbah plastik dan bekas peralatan rumah tangga. Setiap pekan mereka membutuhkan 100-200 pasang sol warna hitam.
"Keahlian membuat sandal diturunkan dari orangtua yang selama ini perajin sandal berbahan spons di Wedoro, Sidoarjo. Sejak kecil, saya ikut membantu orangtua saat mengerjakan sandal," kata Jovi.
Kini mereka justru mulai memanfaatkan bekas jok mobil untuk menekan harga jual sandal. "Kami coba bekas jok mobil, termasuk tenda atau terpal, karena memang cocok untuk alas kaki dan tahan lama. Bagi orang lain itu adalah limbah, padahal bisa memiliki nilai ekonomi yang mahal kalau diolah," kata Nurul, yang mulai mendekati perusahaan persewaan tenda untuk memperoleh bahan baku.
Menyangkut pemasaran, Jovi dan Nurul tak lagi repot karena pembeli baik eceran maupun grosir datang langsung. Kendati demikian, mereka tidak pernah berhenti memasarkan produk melalui pasar kaget, bazar kampung, dan pameran di pusat perbelanjaan. Kini ada kecenderungan order dari pedagang sandal meningkat sehingga kapasitas produksi ditingkatkan dengan menggandeng tetangga untuk menggarap sandal.
Sandal diproduksi secara massal dengan ukuran 36-43. Konsumen bisa memesan model dan ukuran sesuai dengan selera. Bahkan, jika pesanan, alas sandal dipakai berkualitas bagus sehingga harga jual mencapai Rp 100.000 per pasang.
Menurut Nurul, memanfaatkan limbah kulit atau jok mobil lebih menguntungkan ketimbang menggunakan bahan baku bukan limbah. "Jika bukan limbah, untuk satu kaki (setengah pasang) harga lembarannya Rp 15.000, belum biaya lain seperti lem, benang, kop, dan aksesorinya," ujarnya.
Mengembangkan usaha dengan modal pas-pasan tidak menyurutkan keinginan mereka untuk terus meningkatkan kapasitas produksi. Mereka berbelanja bahan baku pendukung seperti benang nilon dalam jumlah besar.
Merek alas kaki juga terus berubah sesuai dengan pesanan atau apa yang diinginkan. Biaya pembuatan merek sandal dari kertas Rp 1.000 per lembar isi 50 merek. Biasanya, setiap pemesanan merek minimal untuk lima kodi sandal atau 100 pasang. Hal serupa juga berlaku ketika membeli nomor ukuran sandal yang harganya Rp 800-Rp 900 per lembar atau isi 50 biji.
Meski masih jago kandang karena pemasarannya di sekitar Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik, mereka ingin menjajaki pembuatan sepatu dengan memanfaatkan bahan baku limbah serupa.
Bagi Jovi dan Nurul , usaha sepatu dengan bahan baku limbah berupa kulit sisa, termasuk sol plastik yang didaur ulang, sulit bangkit. Permintaan pasar memang banyak, tetapi minimnya modal kerja dan sarana jadi kendala utama meningkatkan kapasitas produksi.
Mereka belum mengurus hak cipta atas karya berupa sandal karena ketiadaan modal.
http://cetak.kompas.com/read/2011/04/02/05311175/nurul.mendaur.ulang.limbah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar