Elin Driana
Hati saya miris menyaksikan reaksi siswa-siswa SMA dan sederajat yang gagal ujian nasional melalui tayangan stasiun-stasiun televisi di Tanah Air. Beberapa siswa tampak histeris, bahkan hingga menangis berguling-guling di tanah. Ada pula yang merusak sekolah mereka sebagai bentuk luapan kekecewaan. Yang lebih menyedihkan lagi, masih ada siswa yang mengambil jalan pintas dengan mengakhiri hidupnya sendiri karena dinyatakan tidak lulus salah satu mata pelajaran (Kompas.com, 28/4/2010).
Apakah hal ini semata-mata terjadi karena lemahnya mental para siswa dalam menghadapi kenyataan gagal dalam ujian? Ataukah ada hal-hal lebih mendasar yang semestinya dipahami dan dibenahi agar sebuah kebijakan pendidikan tidak lagi merenggut nyawa peserta didik meskipun tidak secara langsung?
Sepintas memang tampak ada perbaikan dalam pelaksanaan ujian nasional (UN) tahun ini. Pemerintah akhirnya mengakomodasi tuntutan untuk memberikan kesempatan UN ulang bagi siswa yang gagal. Pada tahun-tahun yang lalu, pejabat-pejabat yang berkepentingan menolak seruan untuk mengadakan UN ulang, antara lain dengan dalih UN ulang tidak mendidik dan merugikan siswa yang telah lulus. Padahal, UN ulang merupakan suatu keharusan untuk kriteria kelulusan yang menggunakan conjuctive model seperti yang diadopsi saat ini, di mana siswa harus lulus keempat kriteria kelulusan yang ditetapkan.
Oleh karena itu, pernyataan bahwa UN bukan penentu kelulusan ataupun pihak sekolah yang menentukan kelulusan siswa, sebagaimana kerap disampaikan oleh para pejabat, merupakan pernyataan yang menyesatkan. Ketidaklulusan siswa akan ditentukan juga oleh ketidaklulusan UN karena conjunctive model yang digunakan saat ini bersifat saling memveto.
Mulai berkembang pula dugaan-dugaan bahwa ketidaklulusan tahun ini meningkat karena menurunnya kecurangan dalam pelaksanaan UN. Apabila pernyataan tersebut dipandang benar, hal ini menegaskan bahwa memang telah terjadi kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan UN di tahun-tahun yang lalu. Kenyataan yang kerap dipandang sebagai kasus-kasus khusus saja tanpa evaluasi lebih lanjut.
UN kredibel
Dengan adanya UN ulang dan perbaikan-perbaikan lain dalam pelaksanaan UN apakah menandakan bahwa pembahasan UN cukup dibatasi pada aspek-aspek teknis pelaksanaannya saja? Apakah perbaikan-perbaikan pelaksanaan UN dalam upaya meningkatkan kredibilitasnya mengharuskan kita untuk berhenti mengkritisi UN di tataran kebijakan?
Kita jangan hanya terjebak pada peningkatan nilai rata-rata siswa dari tahun ke tahun ataupun peningkatan angka ketidaklulusan yang dikait-kaitkan dengan kredibilitas pelaksanaan UN. Sudah saatnya kita menelaah pengaruh UN lebih jauh dan lebih dalam lagi ke ruang-ruang kelas tempat anak-anak kita menuntut ilmu. Apakah kebijakan UN mampu menumbuhkan kecintaan siswa pada ilmu pengetahuan, memupuk rasa ingin tahu, mengembangkan kemampuan-kemampuan berpikir tingkat tinggi dan menggali kreativitas?
Dalam perbincangan yang saya lakukan dengan beberapa kepala sekolah dan guru sering muncul keluhan bahwa pelaksanaan UN menghambat terselenggaranya proses-proses pembelajaran yang lebih memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan berbagai potensi kecerdasan mereka. Adanya UN akhirnya memaksa guru-guru untuk kembali pada model pembelajaran yang mengutamakan latihan-latihan soal sehingga proses belajar menjadi tereduksi. Keluhan-keluhan ini semestinya diteliti lebih jauh untuk mengetahui apakah memang ada kontradiksi antara kebijakan UN dan model-model pembelajaran yang memberikan peluang kepada siswa untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka.
Evaluasi kebijakan UN juga perlu dilakukan dengan melibatkan pihak perguruan tinggi dan dunia kerja untuk mengetahui apakah dengan adanya UN siswa semakin memiliki kesiapan untuk menghadapi dunia kampus ataupun dunia kerja ataukah sebaliknya. Apakah dengan adanya UN guru-guru tetap memiliki kesempatan yang luas untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam mengungkapkan pikiran dan gagasan dalam bentuk lisan ataupun tulisan?
Rendahnya kemampuan mahasiswa, guru, bahkan dosen dalam menulis yang kadang berbuntut pada kasus-kasus plagiat, misalnya, tentunya berakar dari proses-proses pembelajaran yang dilalui sejak di pendidikan dasar.
Sekali lagi, ruang kelas
Di samping meneliti pengaruh UN terhadap proses-proses pembelajaran yang berlangsung di ruang-ruang kelas, kualitas guru-guru pun perlu senantiasa dicermati. Apakah guru-guru kita telah memiliki kemampuan untuk mengembangkan model-model pembelajaran yang mengembangkan potensi anak-anak didiknya? Atau masih terjebak pada pembelajaran yang berpusat pada guru?
Bagaimana dengan model-model penilaian hasil belajar yang dilakukan? Telahkah dirancang dengan baik? Apakah masih banyak bergantung pada model-model pilihan ganda? Kalaupun menggunakan pilihan ganda, apakah guru-guru tersebut benar-benar telah mampu membuat soal-soal pilihan ganda yang sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan soal? Apakah guru-guru selalu mengembalikan berkas-berkas pekerjaan rumah (PR), ulangan harian, ulangan tengah semester, dan ulangan akhir semester disertai dengan komentar-komentar sehingga siswa mengetahui kesalahan dan kekurangannya?
Dengan beban kerja sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka dalam satu minggu sebagaimana tercantum pada Pasal 35 Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, apakah guru-guru memiliki waktu yang memadai untuk merencanakan dan menilai hasil pembelajaran dengan baik?
Kegiatan perencanaan dan penilaian hasil pembelajaran sering dianggap remeh sehingga tidak terlalu diperhitungkan dalam komponen beban kerja guru. Kenyataannya, kedua kegiatan tersebut dapat memakan waktu yang lebih banyak dibandingkan dengan pelaksanaan pembelajaran itu sendiri. Seimbangkah tuntutan terhadap guru dibandingkan dengan penghargaan yang diberikan?
Bagaimana dengan kondisi ruang-ruang kelas anak-anak kita? Apakah mereka sudah merasa aman dan nyaman berada di ruang kelas mereka? Ataukah masih dihantui kekhawatiran akan tertimpa atap ataupun tembok yang roboh?
Banyak hal yang semestinya dijadikan bahan evaluasi terhadap kebijakan UN. Evaluasi itu dapat dimulai dari ruang-ruang kelas anak-anak kita agar kita dapat mengetahui permasalahan sesungguhnya yang dihadapi dunia pendidikan di Tanah Air. Kemudian, secara bersama-sama mencari dan merumuskan solusi yang lebih tepat. Jangan sampai kebijakan yang diambil justru mengorbankan anak-anak kita.
Elin Driana Praktisi Pendidikan; Mendalami Bidang Riset dan Evaluasi Pendidikan; Salah Seorang Koordinator Education Forum http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/04/04411899/tengoklah.ruang-ruang.kelas.anak-anak.kita
Daoed Joesoef
Tanggal 2 Mei sudah lama ditetapkan oleh pemerintah sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ia diambil dari tanggal kelahiran Ki Hadjar Dewantara. Tindakan pemerintah ini merupakan a crowning, suatu pengakuan resmi atas buah pikiran dan perbuatannya, suatu penghargaan atas nama rakyat Indonesia, terhadap jasanya di bidang pembangunan pendidikan nasional.
Dia bahkan bukan hanya pemikir dan pejuang di bidang pendidikan yang berbudaya. Dia juga patriot dan pejuang politik yang bertujuan memerdekakan bangsa dan Tanah Air, salah seorang perintis terkemuka, salah seorang founding father dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta sepak terjangnya di bidang politik-ketatanegaraan ini jelas mewarnai dan mengilhami konsep ideal dan visi futuristiknya di bidang pembangunan pendidikan dan kebudayaan kebangsaan.
Maka, wajar bila segenap warga keluarga besar Taman Siswa, mereka yang merasa terpanggil meneruskan cita-cita Ki Hadjar, yang berkiprah sebagai pamong di perguruan Taman Siswa yang bertebaran di seluruh pelosok Tanah Air, pada tanggal 2 Mei sama-sama menundukkan kepala mengenang dia, bangga bisa melanjutkan perintisan jalan kecerdasan yang pernah dimulainya dengan penuh idealisme, ketabahan, dan keyakinan.
Jauh sebelum menyebut dirinya Ki Hadjar Dewantara, sewaktu masih menyandang nama RM Soewardi Soerjaningrat, dia menulis sebuah artikel di harian yang dikelolanya bersama dengan Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo berjudul Als ik eens Nederlander was— Andai Saya Orang Belanda.
Pesan esensial tulisannya itu mengingatkan bangsa Belanda agar berintrospeksi. Bagaimana bisa berpesta pora memperingati seabad kemenangan perjuangan pembebasannya dari kekuasaan penjajahan Spanyol sambil melupakan begitu saja bahwa mereka sendiri sedang menjajah bangsa lain.
Penguasa Hindia Belanda menganggap artikel ini "keterlaluan", lebih-lebih mengingat betapa sebelum ini dia terus-menerus menulis dan bertindak radikal. Pemerintah kolonial lalu mengganjarnya dengan pembuangan ke negeri Belanda. Dia menjalani masa pembuangannya itu dengan mendalami ilmu dan teknikalitas pendidikan modern.
Akan berintrospeksi
Pada tanggal 4 Mei ini saya dengan sadar dan sengaja menulis artikel ini berjudul Als ik eens van Taman Siswa was... Andai Saya (Pernah) Orang Taman Siswa, saya akan berintrospeksi. Saya akan malu bersimpuh di makam Ki Hadjar Dewantara karena tidak pantas berhadapan dengan arwahnya yang begitu anggun. Saya malu karena Taman Siswa sudah bukan lagi berupa lembaga yang peduli pada kondisi pendidikan dan kebudayaan di Tanah Air yang semakin memprihatinkan, diombang-ambing oleh keganasan perkembangan globalisasi dan kepicikan pandangan sesaat dari para pemimpin negeri yang asyik membina kekuatan demi kepentingan primordialnya masing-masing.
Saya malu menyaksikan kok Taman Siswa tidak bereaksi melihat "kebudayaan" direnggut dari "pendidikan". Kalau kebudayaan, selaku "sistem nilai yang dihayati", sudah diceraikan dari proses pendidikan, lalu apa ekologi yang melingkupi dan mendasari pendidikan nasional ini?
Dalam melaksanakan tugas kependidikan di lingkungan perguruannya sendiri, Taman Siswa selaku lembaga pendidikan bahkan sudah tidak lagi bervisi futuristik. Dan kekurangan fundamental ini tidak mengimbangi kekurangan fatal dari praksis pendidikan nasional dan pemerintah yang juga tidak bervisi futuristik. Padahal, pendidikan secara esensial, melalui pembinaan kecerdasan dan keterampilan anak-anak bangsa, bertugas menyiapkan masa depan bangsa. Adapun konsep pendidikan kebangsaan yang dikembangkan oleh Ki Hadjar jelas bervisi futuristik. Kita sudah tentu tidak perlu mengopi visi tersebut karena masa depan yang dihadapi dan hendak ditanganinya berbeda dengan masa depan nasional yang kita hadapi dan sekarang harus kita tangani.
Sistem pendidikan Taman Siswa sekarang memang masih memegang teguh asas persamaan (equality) dan kesetaraan yang adil (equity). Namun, sungguh memalukan mengapa tokoh-tokoh Taman Siswa mendiamkan begitu saja proyek Sekolah Bertaraf Internasional seolah- olah Taman Siswa bukan lagi merupakan bagian dari keseluruhan pendidikan nasional. Bukankah moto tut wuri handayani yang menyemboyankan filosofi dasar paedagogis pendidikan nasional dari Republik Indonesia adalah buah pikiran Ki Hadjar. Apakah penciptaan kelas atau kasta baru di kalangan rakyat, yang dibenarkan oleh Sekolah Bertaraf Internasional, bukan merupakan "penyakit masyarakat" yang justru mau dibasmi oleh perjuangan kemerdekaan bangsa karena selain berlawanan dengan asas demokrasi, ia berpotensi dalam jangka panjang menjadi "bom waktu" dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Andai saya orang Taman Siswa, saya malu melihat tokoh dan pamong Taman Siswa membiarkan begitu saja pemerintah mengkhianati asas-asas pokok pendidikan nasional yang dipegang Ki Hadjar, padahal pemerintah menyatakan pendidikan sekarang adalah "nasional" walau sudah diceraikan dari "kebudayaan" dan tetap menampilkan moto pendidikan yang berasal dari Ki Hadjar serta menetapkan tanggal kelahirannya sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Malu melihat
Saya malu melihat orang-orang yang merasa terpanggil meneruskan kerja Ki Hadjar yang belum selesai, yang membanggakan semangat ketamansiswaannya, sebenarnya memuaskan diri belaka dengan teren op de oude roem, membiarkan Taman Siswa merosot dari lembaga pendidikan yang mencerahkan menjadi sekadar sejenis lapangan kerja biasa. Saya malu menyaksikan keluarga besar Taman Siswa tidak mampu menjaga harkat Taman Siswa dan martabat Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendirinya.
Saya bukan orang Taman Siswa karena tidak pernah bersekolah di perguruan kebangsaan ini. Kalau kini saya ajak Taman Siswa, melalui pribadi tokoh-tokohnya, berintrospeksi, itu karena saya merasa sayang bila nilai humanis dan makna aksi perjuangan nasional Taman Siswa selama ini tidak dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan tuntutan zaman yang berlaku.
Pada hari-hari sesudah proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945, selaku remaja di Medan, saya mengikuti rapat-rapat yang membahas siasat pelaksanaan proklamasi tersebut. Ia dipimpin oleh pamong Taman Siswa dan diadakan di ruang kelas perguruan swasta ini.
Sewaktu saya ber-SMA di Yogyakarta selama periode perjuangan fisik, 1946- 1949, saya mondok di rumah seorang mantan pamong Taman Siswa yang berjarak hanya dua rumah dari kediaman Ki Hadjar Dewantara dan sarana pendidikan Taman Siswa.
Saya bersyukur bahwa sejarah memungkinkan saya bertemu dan mengenal pikiran dan gagasan Ki Hadjar Dewantara. Pada setiap malam bulan purnama ada saja orang-orang, termasuk saya, yang datang berkumpul di pendapa Taman Siswa. Di situ Ki dan Nyi Hadjar Dewantara dengan tenang dan saksama memberikan uraian dan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan dari hadirin.
Sementara itu, di halaman sekeliling pendapa, anak-anak bebas bermain dan menyanyikan lagu anak-anak yang serba mendidik, de javaansche paedagogische kinderliedjes. Semua ini telah mengilhami saya menyimpulkan bahwa setiap konsep futuristik pendidikan, demi suksesnya, perlu mencakup the ecology of achievement in education and schooling.
Daoed Joesoef Alumnus Université Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/04/04395715/andai.saya.orang.taman.siswa
Agus Suwignyo
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat amat layak diapresiasi!
Sayangnya, dasar pertimbangan putusan tersebut tidak menyangkut substansi pendanaan dalam Pasal 53 Ayat 1 UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana didalilkan para pemohon judicial review.
Bertentangan dengan argumen para pemohon, Mahkamah Konstitusi (MK) berpendapat Pasal 53 Ayat 1 UU Sisdiknas, yang menjadi dasar yuridis perumusan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), tidak menunjukkan hilangnya kewajiban negara terhadap warga negara di bidang pendidikan.
Pasal itu juga tidak mempersulit akses masyarakat terhadap pendidikan ataupun menjadikan pendidikan mahal (Putusan MK Nomor 11-14-21- 126-136/PUU- VII/2009, hlm 399).
Menurut MK, dalam Pasal 53 Ayat 1 UU Sisdiknas, istilah "badan hukum pendidikan" menunjuk pada fungsi penyelenggara pendidikan. Namun, dalam UU BHP, istilah tersebut diterjemahkan sebagai nama dan bentuk dari lembaga pengelola pendidikan (hlm 400).
Akibatnya, UU BHP tidak sesuai amanat UU Sisdiknas. UU BHP berpotensi menyeragamkan aneka bentuk lembaga penyelenggara pendidikan, seperti yayasan, perkumpulan, dan perserikatan.
Hal itu bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 tentang hak berserikat dan berkumpul. Juga Pasal 31, yang tidak mengenal penyeragaman bentuk lembaga penyelenggara pendidikan.
Jadi, pertimbangan MK dalam menyatakan UU BHP tidak berkekuatan hukum mengikat adalah teknis kebahasaan. Bukan soal-soal pendanaan, hak rakyat ataupun kewajiban negara dalam pendidikan, seperti sering dikhawatirkan atas UU BHP. MK sendiri mengakui bahwa tidak semua prinsip BHP bertentangan dengan UUD 1945 (hlm 398).
Karena itu, putusan MK tidak menjamin terurainya benang kusut aneka persoalan penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya terkait pendanaan dan pemerataan akses.
Keindonesiaan
Meski demikian, putusan MK layak diapresiasi sebagai ajakan untuk memperbaiki hubungan warga dan negara, yang belakangan ini tercabik-cabik akibat aneka kebijakan dan praktik pendidikan yang eksklusif.
Satu hikmah krusial dari amar putusan setebal 403 halaman itu adalah pentingnya mengembalikan semangat dan platform keindonesiaan dalam aneka kebijakan pendidikan.
Dengan semangat keindonesiaan, pendidikan harus mewadahi fakta kemajemukan dalam semua aspek kehidupan masyarakat. Dalam kasus UU BHP berarti kemajemukan bentuk-bentuk lembaga penyelenggara pendidikan.
Selain itu, pendidikan sebagai hak asasi dijamin pemenuhannya oleh negara. Ini keharusan logis dari kemerdekaan politik. Negara Indonesia menggariskan pendidikan sebagai salah satu pilar utama kemerdekaan, yakni merdeka dari kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan.
Sementara itu, dengan platform keindonesiaan berarti pendidikan tidak diselenggarakan demi pendidikan itu sendiri. Pendidikan Indonesia harus menumbuhkan dan menguatkan jati diri keindonesiaan pada setiap warga negara.
Artinya, atas dasar semangat kemajemukan dalam berbagai hal, dicita-citakan suatu karakter keindonesiaan yang sama. Pendidikan adalah medium untuk itu.
Pada tahun 1950-an, kegelisahan tentang semangat dan platform keindonesiaan dalam pendidikan mengerucut pada solusi filosofis: bersatu dan berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).
Bersatu artinya negara menjamin pendidikan bagi semua warganya. Pemenuhan jaminan pendidikan oleh negara adalah keharusan konstitusional dan asasi. Dengan itu, persatuan disemaikan di antara seluruh warga dengan negara sebagai tiangnya.
Di sisi lain, melalui pendidikan, warga harus memupuk kemampuan berdikari. Pendidikan bukan hanya bertujuan menumbuhkan kemandirian individu anak didik. Pendidikan juga harus diselenggarakan dengan semangat berdikari.
Sudah seimbang
Putusan MK sudah menguraikan aspek-aspek tersebut secara seimbang.
Ditegaskan, negara (pemerintah) harus melindungi hak hidup warga, di antaranya bertanggung jawab atas pendidikan bagi warga. Namun, setiap warga negara juga harus ikut memikul tanggung jawab terhadap dirinya untuk mencapai kualitas yang diinginkan (hlm 377).
Menurut MK, misi negara Indonesia mencerdaskan kehidupan bangsa tidak identik dengan ditanggungnya seluruh biaya pendidikan oleh negara (hlm 378). Peran serta dan kepedulian masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan harus didorong demi kemerdekaan sejati.
Di sini, MK mengingatkan bahaya etatisme di satu sisi dan filantropisme di sisi lain. MK mencegah besarnya campur tangan negara dalam penyelenggaraan pendidikan. Di sisi lain, MK juga mengkhawatirkan suburnya mentalitas ketergan- tungan dan meminta-minta.
Kualitas putusan MK terletak pada pertimbangan-pertimbangan yang seimbang hak/kewajiban warga dan negara dalam pendidikan.
Emoh rakyat vs emoh negara
Pendidikan nasional selama ini menjadi ruwet karena kita menerapkan cara pandang ekstrem yang saling meniadakan terhadap persoalan-persoalan pendidikan. Kita selalu bersikap dikotomis either yes or no, either this or that. Seolah-olah tidak ada jalan tengah.
Kementerian Pendidikan dan unsur-unsurnya sudah lama terjebak aneka kebijakan pendidikan yang emoh alias tidak berpihak kepada rakyat. UU BHP dan kebijakan ujian nasional adalah dua contoh mutakhir.
Di sisi lain, respons publik tak kalah ekstrem dengan bersikap emoh negara. Apa pun kebijakan Kementerian Pendidikan dianggap salah seutuhnya, bahkan sebelum orang benar-benar memahami isi kebijakan tersebut.
Dengan memanfaatkan momentum putusan MK, kita perlu mengubah cara pandang atas aneka persoalan pendidikan. Kita harus membiasakan perdebatan tentang pendidikan bertolak dari substansi permasalahan dengan tidak berwacana tanpa data.
Hanya dengan meletakkan hubungan warga dan negara secara proporsional, kita dapat memperbaiki pendidikan kita. Secara khusus, sebelum mengajukan usulan UU BHP yang baru, seperti dinyatakan salah satu anggota DPR, lebih baik pemerintah dan parlemen meninjau secara menyeluruh UU Sisdiknas.
Putusan MK telah mengoreksi sejumlah pasal UU Sisdiknas, khususnya menyangkut pendanaan. Sementara itu, Mahkamah Agung dalam putusan kasasi gugatan ujian nasional tahun lalu juga memerintahkan peninjauan UU Sisdiknas.
Artinya, UU Sisdiknas memang perlu ditinjau kembali secara menyeluruh. Mungkin produk hukum inilah sumber segala kekacauan kebijakan pendidikan kita selama ini.
Agus Suwignyo Pedagog FIB UGM
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/04/0438251/sisi.lain.pencabutan.uu.bhp
Lie Charlie
Dengar-dengar nilai pelajaran Bahasa Indonesia dalam ujian nasional 2010 baru-baru ini termasuk jelek. Siswa-siswi juga mengeluh bahwa soal ujian Bahasa Indonesia sulit. Tentu dapat dimengerti bahwa pelajaran Bahasa Indonesia disebut sulit apabila pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam ujian lebih banyak yang kagak-kagak, seperti: "Terdiri atas berapa morfemkah kata mempertanggungjawabkan?"
Pertanyaan di atas penting dan prinsipiil, tetapi membuat siswa- siswi yang salah menjawab menjadi tertekan. Penting dan prinsipiil belum tentu berguna!
Karena merasa pertanyaan itu tidak berguna, siswa-siswi akhirnya meremehkan pelajaran Bahasa Indonesia dan tidak mau belajar. Nilai ujian mereka pun jeblok.
Pertanyaan mengenai pemahaman wacana juga membuat bingung dan frustrasi. Biasanya disajikan sebuah wacana, lantas ditanya tema atau tokoh utamanya. Siswa-siswi digiring kepada satu jawaban dan mereka yang menjawab berbeda dianggap salah. Jika isi wacana bercerita tentang dua masalah dan dua tokoh saja, jawaban terhadap pertanyaan apa dan siapa paling sedikit ada dua dan dua-duanya bisa benar.
Bahasa Indonesia yang tidak mengenal perubahan kata kerja berbeda dengan bahasa infleksi lain sehingga ujian memilih bentuk kata kerja yang benar dalam kalimat juga tidak terlalu relevan. Guru bahasa Inggris dapat menguji mana yang benar She make a dress atau She makes a dress. Hanya ada satu jawaban yang benar.
Guru Bahasa Indonesia sebetulnya tidak perlu ikut-ikutan menyajikan pertanyaan berpola serupa. Itu sebabnya, dalam ujian berbentuk "pilih satu jawaban yang benar", nilai pelajaran Bahasa Inggris siswa-siswi bisa lebih tinggi dibandingkan dengan pelajaran Bahasa Indonesia.
Berbicara dan mengarang
Sudah sejak 20 tahun lalu para pendidik, teristimewa guru bahasa, menyadari bahwa pelajaran bahasa harus mementingkan pengembangan kemampuan berbicara dan mengarang. Namun, sampai sekarang hampir tidak ada realisasinya dalam kurikulum.
Tak heran apabila siswa-siswi kelas XII (SMA) pada umumnya belum dapat berbahasa Inggris secara fasih meskipun sudah belajar Bahasa Inggris selama rata-rata lima tahun sejak kelas VII!
Pelajaran Bahasa Indonesia pun tetap bertitik berat pada pengajaran dan pembelajaran teori-teori. Maka, muncul pengujian yang juga lebih mementingkan pemahaman teori.
Bagi siswa-siswi, jalan keluarnya sebetulnya gampang saja. Kalau materi yang diujikan adalah teori-teori, mereka tinggal menghafal agar lulus.
Mengenai jenis-jenis dan nama-nama kata ulang, umpamanya, sudah diketahui pasti bahwa nanti yang akan ditanya adalah kata ulang tertentu bernama dwandawa atau tatpurusa. Maka, silakan banyak membaca kumpulan soal-soal dan menghafalkannya.
Pertanyaan bertitik berat teori bisa menyusahkan siswa-siswi. Jenis dan nama gaya bahasa, misalnya, cukup banyak untuk dihafal dan dipahami.
Pembaca yang merasa fasih berbahasa Indonesia sekalipun mungkin sulit menjawab pertanyaan dan memberi contoh tentang majas litotes, metonimia, atau polisindeton, bukan? Padahal, hampir semua pembaca niscaya lulus SMA dan pernah belajar tentang hal itu.
Ke mana pelajaran dan ujian mengarang? Jika guru berinisiatif mendorong pengajaran mengarang, siswa-siswinya bisa tidak lulus ujian nasional semua!
Mana pula pelajaran berbicara dalam Bahasa Indonesia? Lebay deh, tidak ada! Maka, siswa-siswi biasa bertutur, "Santai aja geto lo", atau bila mau bertanya dengan memakai bahasa SMS yang berbunyi: "Monanya."
Subyektif vs obyektif
Ujian pelajaran Bahasa Indonesia yang dipaksakan berpola obyektif mendorong kita menyusun soal-soal berjawaban satu. Dalam pelajaran lain, apalagi untuk pelajaran ilmu pasti, pertanyaan yang mengharapkan satu jawaban obyektif relatif mudah dirancang.
Soal 2x+3>15, misalnya, hanya punya satu jawaban benar: x>6. Pertanyaan tentang nama ibu kota Zimbabwe juga tidak bisa dijawab dengan kata lain kecuali Harrare.
Tidak perlu lagi berdebat. Kiranya lebih baik segera saja kita mengubah orientasi pengajaran bahasa menjadi bertitik berat pada kecakapan berbicara dan mengarang.
Ujiannya tidak usah direkayasa menjadi berpola obyektif, melainkan biarkan saja berbentuk subyektif. Siswa-siswi tinggal diminta menulis sebuah artikel atau mengarang cerita pendek dengan suatu tema dalam batasan waktu tertentu.
Berkorban waktu
Guru perlu berkorban waktu meneliti semua hasil percakapan dan karangan siswa-siswi untuk memberi nilai. Penilaian memang menjadi subyektif, tetapi guru bisa meluluskan semua sis- wa-siswi, kecuali yang terlalu ngawur bicaranya (Elotaugaksih alih-alih Tahukah kau?") atau menulis tanpa titik-koma (Hari cerah matahari galak gue bangun dengan mata masih ngantuk menuju toilet untuk pipis lalu membuka kulkas mengambil segelas susu).
Karena ujian bersifat subyektif, guru eksentrik juga bisa meluluskan siswa-siswi yang bicara ngawur dan menulis tanpa titik- koma. Siswa pertama dalam contoh soal di atas, misalnya, dianggap menggunakan aksen anak muda, maka dia berhak lulus. Siswa kedua dinilai menulis sastra, padanya diberlakukan licentia poetica, dan berhak lulus. Tidak ada lagi siswa-siswi yang boleh disebut tidak lulus dalam pelajaran Bahasa Indonesia.
Lie Charlie Sarjana Tata Bahasa Indonesia, Universitas Padjadjaran; Tinggal di Bandung
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/04/04365599/uji.bahasa.indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar