Hal itu diungkapkan Ketua Komisi IX DPR Rully Chaerul Azwar, Rabu (7/4) di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta. Kemarin, sejumlah anggota Komisi IX menemui Ketua MK Mahfud MD dan beberapa hakim MK untuk menanyakan putusan MK yang membatalkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP).
Rully menjelaskan, MK telah memberikan rambu-rambu filosofis dan sosiologis. Secara filosofis, MK menilai UU BHP terlalu memaksakan penyeragaman. Secara sosiologis, banyak pihak yang tidak menyetujui UU BHP. Perguruan-perguruan tinggi swasta juga bisa mengacu pada UU yayasan.
"Yang paling mendasar adalah Pasal 53 Ayat 4 itu tidak menyebut BHP dalam pengertian generik. Bukan pengertian nama," ujar Rully.
Menurut Rully, aturan hukum yang baru isinya tentu berbeda dengan undang-undang yang dibatalkan. "Yang tidak membuat penyeragaman, tidak membatasi hak masyarakat untuk mengelola pendidikan, tidak melanggar HAM," ujarnya.
Pekan depan, Komisi IX berencana akan menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan pengurus perguruan tinggi swasta dan negeri yang sudah menuju badan hukum pendidikan.
Pada 31 Maret lalu MK membatalkan UU BHP secara keseluruhan. MK menilai UU tersebut dibuat tanpa memerhatikan rambu-rambu yang sudah dikeluarkan MK dalam putusan uji materi Pasal 53 Ayat (4) UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Menurut MK, Pasal 53 Ayat (4) yang menjadi rujukan pembuatan UU BHP tidak memerintahkan penyeragaman bentuk badan hukum pendidikan. Kata "badan hukum pendidikan" dalam pasal tersebut tidak merujuk pada sebuah nama atau satu bentuk yang seragam, tetapi mengacu pada bentuk badan hukum yang bersifat umum.
Tampung aspirasi
Secara terpisah, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh saat berkunjung ke Redaksi Kompas, Rabu sore, mengatakan, perkembangan pendidikan tinggi sekarang, khususnya perguruan tinggi negeri, meresahkan masyarakat. Ada paradoks yang terjadi bahwa pada saat anggaran pendidikan meningkat sebesar 20 persen dari APBN, jenjang masuk ke PTN justru semakin sulit diakses semua orang. PTN semakin tidak ramah pada orang-orang dari kalangan bawah karena seleksi masuk lebih besar dibuka lewat jalur mandiri yang membutuhkan kemampuan finansial yang kuat alias terbuka lebar bagi kalangan berduit.
"Karena itu, kami menampung aspirasi masyarakat bagaimana baiknya perguruan tinggi nanti, dengan tidak menghilangkan hak otonomi perguruan tinggi," ujarnya.
Di Bandung, Institut Teknologi Bandung mengharapkan adanya undang-undang tentang perguruan tinggi yang mendukung otonomi dan kemandirian. "Tujuannya, agar perguruan tinggi semakin teruji dalam meningkatkan kemampuannya," kata Rektor ITB Ahmaloka.
Wakil Rektor Senior Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Retno Sunarminingsih Sudibyo juga mengatakan, tanpa otonomi, kemajuan perguruan tinggi yang telah dicapai selama ini dikhawatirkan akan mundur. (ANA/ELN/CHE/RIZ/IRE) http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/08/03563351/dpr.perlu.payung.hukum.baru

Tidak ada komentar:
Posting Komentar