26 Maret 2010

Ujian Nasional yang Menakutkan (Opini Sofyan A Gani)

Kecemasan dan ketakutan terhadap ujian nasional tak hanya menghinggapi siswa, tetapi juga melanda sekolah dan para guru, termasuk orangtua siswa. Kecemasan terbesar justru berada pada pengelola pendidikan, dinas pendidikan, dan Departemen Agama yang diberi wewenang dan tanggung jawab mengelola serta menata pendidikan sebagai tugas dan fungsi mereka.

Hari pertama UN, 22 Maret 2010, membuat banyak kalangan sibuk. Pejabat tingkat nasional, provinsi, kabupaten, dan kota datang di sekolah memberi dukungan dan berharap UN sukses. Sayang, hari berikutnya mereka lupa melihat, kurang mendengar, bahkan tak mengetahui jeritan sekolah yang tak punya fasilitas pembelajaran tanpa guru IPA dan matematika, termasuk juga sekolah dikelola seadanya tanpa tujuan jelas.

Seharusnya UN jadi tolok ukur dan sebagai data awal menata pendidikan. Ini sebenarnya yang melandasi kenapa pemerintah meluncurkan UN. Sayangnya, hal ini tak pernah terjadi. Hasil UN malah diisyaratkan tak bisa dipegang karena kuyup curang. Akhirnya, UN lebih berfungsi sebagai acara tahunan yang diikuti dengan diskusi dan perbincangan oleh berbagai kalangan, termasuk media.

Sebagian sekolah menganggap UN biasa-biasa saja karena mereka sangat yakin akan kemampuan siswanya. Sebaliknya, bagi kebanyakan sekolah di negeri ini, kehadiran UN membuat mereka cemas dan khawatir: apa jadinya kalau yang lulus hanya 50 persen atau lebih rendah daripada itu sebab mereka sangat sadar terhadap kemampuan siswanya setelah mendapat hasil try out UN yang menyedihkan.

Hanya kognitif

Boleh saja kita tak setuju UN dengan alasan ujian ini tidak mengukur keseluruhan kemampuan siswa. Hanya kognitif saja. Yang patut dipertanyakan, kenapa siswa kita sangat susah mencapai nilai rata-rata 5,5 terhadap pelajaran yang di-UN-kan. Ada apa sebenarnya? Jawaban atas pertanyaan ini yang perlu dicari. Bukan malah menempuh cara curang guna membantu siswa mencapai nilai 8 atau 9; atau memindahkan guru atau kepala sekolah karena tak mampu "bekerja sama".

Kecurangan terhadap UN bukan lagi rahasia, telah banyak disampaikan dalam berbagai kesempatan. Sistematika kecurangan UN, misalnya, baru-baru ini disampaikan seorang guru SMA pada seminar yang digagas ICMI Aceh awal Maret 2010 yang juga dihadiri anggota Dewan Pertimbangan Presiden: Ibu Mutia Hatta. Apakah kecurangan yang sama terus terulang pada tahun 2010? Kita tunggu bersama.

Kalau kita membuka hati, mata, dan telinga, sebenarnya sangat mudah mengukur kemampuan sekolah atau siswa tanpa harus menunggu hasil UN yang menghabiskan ratusan miliar rupiah. Hampir semua sekolah telah melakukan uji coba UN satu-dua bulan sebelumnya dengan standar soal hampir sama. Lihatlah hasilnya. Sangat menyedihkan. Di banyak sekolah tingkat kelulusan di bawah 30 persen, bahkan ada yang 5 persen. Teori belajar mana yang membenarkan dalam satu bulan angka tersebut dapat mencapai 80-100 persen?

Revitalisasi

Saran dan pendapat meningkatkan mutu pendidikan nasional telah sering disampaikan para ahli dan pemerhati pendidikan, baik nasional maupun daerah, termasuk melalui media ini. Seharusnya berbagai kebijakan dan perencanaan menuju perbaikan mutu sudah dan sedang dilaksanakan. Hal itu sudah harus tecermin dalam rencana anggaran APBD dan program kerja instansi terkait, seperti dinas pendidikan dan Kanwil Kementerian Agama. Tidak lagi bentuk program dan kegiatan berupa copy paste dari kegiatan tahun sebelumnya.

Kalau memang banyak yang mengeluh kemampuan guru kita di bawah rata-rata, tindakan apa yang diperlukan secara terprogram agar kemampuan mereka naik secara pasti? Mengapa bukan musyawarah guru mata pelajaran yang direvitalisasi? Seandainya banyak keluhan bahwa kepala sekolah tak visioner dan manajemen amburadul, mengapa mereka tak dibina atau diganti dengan yang dapat diandalkan? Andaikata ada keluhan bahwa orangtua siswa kurang peduli terhadap pendidikan, seharusnya perlu dipikirkan usaha sistematis mengikutsertakan mereka memikirkan pendidikan.

Sangat tak benar kalau semua program dan kegiatan harus dengan uang di depan. Menempatkan kepala sekolah yang benar, menaikkan disiplin guru, melakukan koordinasi dan perhatian penuh terhadap proses pembelajaran merupakan beberapa contoh kerja tanpa dana. Hanya mereka yang punya visi pendidikan jauh ke depan dan mencintai pekerjaan yang mampu melakukan itu semua. Tidak pada mereka yang hanya bekerja karena dibayar atau kelompok orang yang dapat jabatan karena berafiliasi dengan partainya gubernur, bupati, atau wali kota. Sayang, kerisauan terhadap mutu berlangsung singkat, lalu terlupakan, dan semua terkejut kembali menjelang UN pada tahun depan.

Sofyan A Gani Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/26/03561589/ujian.nasional.yang.menakutkan

Tidak ada komentar: