16 Juli 2009

Ketika Sekolah Terasa Kian Jauh...


KOMPAS/ANTONY LEE
Siti Rukoyah (kiri) memasukkan kerupuk ke dalam plastik bersama ibunya di salah satu industri rumah tangga pembuatan kerupuk di Kelurahan Harjosari, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Rabu (15/7). Nilai ujian nasional yang pas-pasan membuat Rukoyah sulit diterima di sekolah negeri dekat rumahnya.

Ketika sebagian besar teman sebayanya menjalani hari terakhir masa orientasi siswa, Rabu (15/7), Siti Rukoyah (15) justru larut dalam kegiatannya di salah satu sudut industri pengolahan kerupuk di Desa Harjosari, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Tangan mungilnya cekatan memilah kerupuk dan memasukkannya ke dalam plastik.

Dia satu-satunya anak kecil di ruangan itu. Pekerja lainnya adalah ibu-ibu paruh baya. Di samping Rukoyah yang bertubuh kurus, ibunya, Yamini (55), mendampingi. Melihat mantan kepala sekolah anaknya datang, Yamini berhenti memasukkan kerupuk. Dia lantas mengajak guru itu ke rumahnya, sekitar 50 meter dari pabrik. Rukoyah pun turut diajak.

Di depan rumahnya, Yamini sudah ditunggu dua lelaki berbadan tinggi besar dengan jaket kulit hitam. Mereka yang mengaku dari Salatiga itu dengan nada menekan menanyakan keberadaan anak sulungnya, Mei Indarto (23).

Setelah dijawab tak ada, mereka sempat melirik tajam ke arah Yamini sebelum akhirnya pergi dengan janji akan segera datang kembali. "Orang itu mau menarik sepeda motor anak saya. Dia sekarang hanya bekerja jaga parkir," tuturnya pelan.

Kepala SD Negeri 1 Harjosari Sumadi diajak duduk di lincak (bangku dari bambu atau kayu) yang berada di depan rumah berlantai tanah. Sementara papan penopang dan penutup rumah itu sudah miring ke arah depan. Di lincak itu pula, Yamini menuturkan alasan anaknya tak lagi bisa melanjutkan pendidikan ke SMP.

"Nilai anak saya pas-pasan. Enggak bisa diterima di sekolah negeri dekat rumah. Kalau swasta mahal. Kalau ke sekolah negeri lainnya perlu ongkos. Saya enggak kuat," tutur Yamini yang sudah setahun menjanda.

Nilai ujian nasional Rukoyah hanya 18,50 dari tiga mata pelajaran. Sementara di SMPN 1 Bawen, sekolah negeri terdekat dari rumahnya, mematok nilai UN terendah di atas 20,00.

Membungkus kerupuk

Penghasilan Yamini sangat pas-pasan, sekitar Rp 10.000 per hari dari upah membungkus kerupuk. Setiap satu bungkus dihargai Rp 10. Selain Rukoyah, dia masih harus membiayai dua anaknya yang masih kelas 5 SD.

"Rukoyah pernah bilang, 'Wes mbok, nek rak isa ngragati, aku rak sah sekolah ora opo-opo (Sudah Bu, kalau enggak bisa membiayai, aku enggak sekolah tidak apa-apa)'," ungkap Yamini.

Saat ditanya Sumadi, Rukoyah hanya terdiam, menunduk sambil memainkan jarinya. Sekali-sekali dia menggeleng saat ditanya apa hendak bersekolah lagi. Namun, saat ditanya apakah dia suka bersekolah, dia mengangguk.

Rukoyah hanya salah satu contoh siswa tak mampu secara finansial, tetapi juga memiliki nilai pas-pasan yang sulit mendapat akses pendidikan lanjutan. Padahal, menurut Widayati (46), wali kelas Rukoyah di kelas VI, anak itu sangat rajin dan tekun, selalu datang ke sekolah awal. Padahal, sebelum berangkat sekolah, dia harus membantu ibunya membungkus kerupuk. Begitu pula ketika sekali tidak naik kelas, dia terus berjuang hingga akhirnya lulus SD.

"Setiap ada pelajaran tambahan, dia juga selalu hadir. Kalau guru menjelaskan, dia memerhatikan. Usahanya belajar keras meski kadang jawabannya salah," kata Widayati.

Tampaknya, pendidikan memang semakin jauh bagi orang-orang semacam Rukoyah.... (Antony Lee)

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/16/04093475/ketika.sekolah.terasa.kian.jauh...#

Tidak ada komentar: