04 April 2009

Sisyantoko dan Pemberdayaan Warga Trawas

Sabtu, 4 April 2009 | Semenjak masih di sekolah menengah, Sisyantoko sudah membangun komunitas. Ini semua diawali dari keprihatinan terhadap makin terpinggirnya masyarakat pedesaan. Di sini diperlukan pendekatan partisipatif. Ingki Rinaldi

Bagi Sisyantoko, berbagai persoalan di seputar lingkungan hidup dan masalah sosial akan sebatas klangenan, jika hanya dilakukan penyadaran tanpa aktualisasi. Oleh karena itulah, dia berinisiatif melakukan pengorganisasian masyarakat dengan metode PRA (participatory rural appraisal) yang lekat dengan ajaran Paulo Freire. Di sini guru sebagai murid dan murid menjadi guru, yang menuntut pola partisipasi.

Salah satu contoh kematangannya mengorganisasi warga dengan pendekatan itu adalah saat Desa Trawas, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, dinyatakan siaga satu seusai pemilihan kepala desa pada tahun 2007. Saat itu, dua kelompok pendukung kepala desa, baik yang menang maupun yang kalah, bersitegang. Untuk mengendurkan ketegangan, Sisyantoko justru mengajak warga mengecor jalan makam sepanjang 300 meter. Massa kedua kubu pun bekerja sama dalam proyek tersebut.

Dia juga menelurkan program pengelolaan sampah. Di wilayah Desa Trawas berdiri sekitar 250 vila atau hotel dan penginapan yang belum memiliki program pengelolaan sampah terpadu. Sisyantoko geregetan dengan kondisi ini.

"Di Trawas itu areal tanah yang kosong mulai habis. Jadinya, banyak orang membuang sampah ke sungai sehingga menyebabkan banjir di wilayah yang rendah," katanya.

Dia lalu membentuk Komunitas Peduli Sampah Trawas atau Kompas. Namun, perjuangannya untuk itu belum berhasil sebab belum ada payung hukum di tingkat pemerintahan desa hingga kabupaten menyangkut penanganan sampah. Selama ini, ia bersama Kompas baru sebatas mengumpulkan sampah warga. Sampah yang bernilai ekonomi dipilah, dibawa ke depo pengolahan, dan sisanya langsung dibakar.

Di Trawas, isu yang tak kalah penting adalah pengelolaan air. Menjamurnya bisnis vila dan penginapan menimbulkan rebutan sumber air bersih dari air terjun Dlundung, yang menjadi bagian dari Gunung Batok dan Gunung Welirang. Bukan hanya rebutan air bersih di antara pengelola vila, tetapi juga dengan warga setempat.

Langkahnya tak hanya urusan lingkungan. Ia juga menembus ranah budaya. Dia mengumpulkan warga dalam pementasan gamelan yang dilakukan rutin. Gamelan, kata Sisyantoko, adalah media kesenian yang paling cocok buat menyampaikan program pemberdayaan dan memengaruhi orang agar berpartisipasi dalam berbagai kegiatan. Apalagi, ia memang akrab dengan gamelan sebab ayah dan kakeknya adalah dalang.

Aktif di PPLH Seloliman

Selepas SMA Yayasan Pendidikan Daerah Trawas pada 2002, Sisyantoko sempat berdiam di desanya, Trawas, selama enam bulan sebelum memutuskan bekerja di sebuah perusahaan marmer di Kabupaten Pasuruan, Jatim.

"Tetapi saya tak kerasan (di Pasuruan) dan hanya bertahan enam bulan di perusahaan itu," katanya.

Dia lantas bergabung dengan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman, Trawas, pada 1994. PPLH Seloliman adalah organisasi nonpemerintah yang bergerak di bidang penyadaran dan pengajaran masyarakat akan lingkungan hidup yang berkelanjutan.

Bersama organisasi ini, kemampuan Sisyantoko sebagai fasilitator pemberdayaan warga lewat berbagai program dengan tekanan pada metode PRA makin terasah. Pembangkit listrik tenaga mikrohidro, program rehabilitasi hutan, pemberdayaan perempuan, hanya contoh beberapa hal yang akrab dengannya.

Tahun 1998-2002, Pemerintah Kabupaten Pati, Jawa Tengah, dan Trenggalek, Jatim, minta bantuan Sisyantoko untuk menjalankan program pembangunan masyarakat dengan fokus pemberdayaan.

"Tahun 2002 saya kembali ke Seloliman karena setelah (reformasi) 1998 itu ada kasus penjarahan hutan besar-besaran sehingga diperlukan lagi proses pemahaman internal," katanya.

Ketika itu, hutan lindung dan hutan produksi di lereng Gunung Batok terancam rusak. Hutan seluas 25 hektar itu dijarah, terutama di areal hutan produksi.

"Para penjarah mengambil kayu pohon pinus dan mahoni, sekitar empat hektar areal hutan produksi yang rusak parah," katanya.

Sisyantoko mendekati para tokoh masyarakat, perangkat desa, dan dinas kehutanan setempat. "Kami berusaha memberi pengertian bahwa penjarahan itu akan merusak hutan sebagai kawasan penyangga air. Memang sempat muncul ketegangan, terutama dari mereka yang berasal dari luar Desa Trawas," ceritanya tentang kerusakan hutan yang memerlukan waktu 5-6 tahun untuk mengembalikannya pada kondisi semula.

Merintis karier

Di PPLH Seloliman, dia merintis karier mulai dari koordinator restoran organik sampai menjadi Direktur PPLH Seloliman tahun 2006. Awal 2009 Sisyantoko mundur dari PPLH Seloliman. Sejumlah staf ahli mengikuti langkahnya. Belakangan, mereka mendirikan lembaga baru, Wahana Edukasi Harapan Alam Semesta (We~Hasta), yang juga bergerak di bidang pendidikan dan pemberdayaan lingkungan.

Semua itu tak dicapainya dengan mudah. Sisyantoko mengikuti berbagai pendidikan nonformal agar memiliki keterampilan melakukan pendekatan partisipatif. Ia antara lain pernah mengikuti pelatihan motivator pengelolaan sampah di Surabaya (1998), belajar pendampingan pada pemanfaatan lahan sempit dan peningkatan gizi di PPLH Puntondo, Sulawesi Selatan (1998), dan pelatihan PRA di Pati Selatan (1999).

Pengalamannya sebagai fasilitator di luar Trawas antara lain saat ia memberikan pelatihan tentang manajemen sampah dan suvenir di Coremap Flores, pelatihan pengelolaan sampah di Suroako, Sulsel, dan pengaderan lingkungan di Taman Nasional Merubetiri, Jatim (2006-2008).

Di mana pun bergabung, Sisyantoko tetap fokus pada pendidikan lingkungan hidup, pemberdayaan masyarakat, pertanian organik, pengelolaan hutan lestari, kearifan budaya, ecotourism, pendayagunaan potensi sampah, dan pemanfaatan energi terbarukan. Dalam pemahamannya, manusia adalah pusat alam semesta, dan alam "sekadar" alat bagi pemuasan kepentingan manusia.

Dalam konteks itulah, masalah lingkungan hidup merupakan masalah moral yang berkaitan dengan perilaku manusia. Ia memandang krisis lingkungan hidup dan berbagai situasi mendesak lain secara global belakangan ini muaranya adalah pada persoalan moral. Karena itu, solusi moral dan etika yang nilainya tidak dapat ditanamkan secara mendadak itu perlu menjadi acuan.

Nilai moral ini tak bisa ditanamkan dengan instan, tetapi lewat perjalanan waktu, dengan sistem pendidikan seumur hidup. Bagi Sisyantoko, tak masalah di mana pun ia berada karena baginya yang terpenting adalah bermanfaat bagi sekitarnya.
http://cetak.kompas.com/sosok

Tidak ada komentar: