11 April 2009

Sekolah Internasional Bertentangan UUD 1945

[JAKARTA] Kebijakan pemerintah menetapkan sekolah berstandar internasional dalam sistem pendidikan nasional, bertentangan dengan Pasal 31 Ayat (1) UUD 45 yang menyatakan, semua warga Indonesia berhak mendapatkan pengajaran. Dengan adanya label internasional menunjukkan pendidikan yang baik dan berkualitas hanya menjadi hak orang pintar dan kaya, bukan untuk yang miskin dan bodoh.

Demikian, rangkuman pendapat dari beberapa tokoh dan pakar pendidikan yakni, Prof HAR Tilaar (Guru Besar Universitas Negeri Jakarta) Utomo Dananjaya (Direktur Institute for Education Reform /IER Universitas Paramadina), dan Baskoro Poedjinoegroho (Kepala Sekolah SMA Kanisius), dalam diskusi Membedah Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional yang digelar Forum Education belum lama ini, di Jakarta.

HAR Tilaar mengatakan, pemerintah tidak lagi menjalankan tanggung jawab menyelenggarakan satu pendidikan nasional yang merata bagi seluruh warga, justru dijadikan komoditas untuk tujuan komersialisasi. Praktik komersialisasi ini adalah diskriminasi pendidikan dan bertentangan dengan ideologi UUD 45, yakni pendidikan yang berpihak pada rakyat kecil.

Komersialisasi ini terbukti dari kebijakan pemerintah melalui beberapa peraturan yang dibuat, antara lain Undang-Undang (UU) Badan Hukum Pendidikan (BHP). "Ini yang disebut neoliberalisasi pendidikan, di mana pendidikan dijadikan sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan. Tujuan mereka memang hanya bersaing, baik di lokal, nasional maupun internasional. Makin dikuatkan dengan UU BHP ini, sebuah UU haram yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat," ujarnya.

Zaman Penjajahan

Jika hal ini dibiarkan, kata dia, keterbelakangan dan kemiskinan akan terus membelenggu bangsa ini, karena pendidikan yang baik dan unggul hanya diperuntukkan bagi segelintir orang berduit. Diskriminasi pendidikan ini kata dia, bisa menjadi bom sosial yang siap meledak kapan saja, bila kecemburuan itu timbul dari kelompok miskin karena merasa dinomorduakan.

Senada dengan TAR, Utomo Dananjaya mengatakan, sekolah bertaraf internasional merupakan gambaran perkembangan pendidikan pada era kemerdekaan saat ini, tidak berbeda dengan zaman penjajahan Belanda. Masuknya sekolah formal pada zaman itu membelah dan mengotak-kotakan anak bangsa menjadi kelas pribumi dan bangsawan. Hanya anak bangsawan yang berhak mengenyam pendidikan tinggi. [DMF/M-15]

http://www.suarapembaruan.com/indeks/News/2009/04/09/index.html

Tidak ada komentar: