Ketika memutuskan menjadi peneliti, mereka sudah tahu bakal berkutat di dalam laboratorium yang kaku, kegiatan lapangan, dan tenggelam di antara tumpukan buku. Mereka juga sudah tahu bahwa menjadi peneliti di negeri ini sulit menjadi kaya raya. Harap maklum, gaji kebanyakan peneliti di sini baru cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sejak 1996, Basril Abbas terlibat dalam proyek bank jaringan yang dikembangkan Badan Tenaga Nuklir (Batan). Hari-harinya banyak dia habiskan di laboratorium untuk mengumpulkan, meneliti, dan memproses berbagai jaringan tubuh manusia dan hewan, seperti jaringan tulang dan amnion (selaput ketuban). Jaringan tulang digunakan untuk menyembuhkan penyakit tulang, sedangkan amnion untuk luka bakar.
"Saya bekerja di laboratorium sekitar 4-5 jam sehari. Kalau ada pekerjaan di laboratorium yang tidak bisa ditinggal, saya lembur," ujar Basril di kantor Batan di Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Laboratorium tempat Basril bekerja sederhana saja. Hanya ada beberapa lemari, mesin, dan lemari pendingin. Catnya serba putih. Suasananya sunyi, kaku, dan dingin.
Jika tidak ada kegiatan di laboratorium, Basril duduk di meja kerja untuk membuat laporan hasil penelitian. Meja kerjanya terletak di ruangan berukuran sekitar 4 x 6 meter. Di sana masih ada lima meja kerja peneliti lain, seperangkat kursi tamu sederhana, dan rak buku yang saling berimpitan. Suasananya agak sesak dan berantakan.
Sekilas aktivitas sehari-hari Basril tampak monoton. Datang pukul 08.00 dan pulang pukul 16.00. Kalau tidak di laboratorium, dia berkutat menulis laporan di meja kerja. Yang dia teliti sejak tahun 1996 pun tak beranjak dari jaringan tubuh manusia dan hewan.
Apa tidak bosan? "Tidaklah. Itu kan sudah pekerjaan sehari-hari," katanya.
Seperti Basril, peneliti di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Rintis Noviyanti (40), juga tidak ada bosannya meneliti nyamuk malaria sejak 1993 sampai sekarang. Setahun sekali, selama dua bulan, ia keluar masuk daerah-daerah yang banyak nyamuk malarianya, seperti Timika (Papua) dan Sumba (NTT), untuk mengumpulkan sampel. Risikonya, kapan saja Rintis bisa terjangkit malaria.
Sepulang mengumpulkan sampel, doktor biologi molekuler parasit malaria dari University of Melbourne, Australia, ini menenggelamkan diri di laboratorium 5-6 jam sehari. Setelah penelitian usai, Rintis berkutat di ruang kerjanya untuk menulis paper hasil penelitian. Selama 17 tahun meneliti malaria, dia telah memublikasikan enam hasil penelitiannya di jurnal internasional.
Untuk menekan kejenuhan bekerja, Rintis mengisi waktu senggangnya dengan nonton film, mendengarkan musik, dan belanja di mal. "Biar hidup gue seimbang. Kalau enggak gitu, enggak asyik ha-ha-ha," ujar peneliti yang tampak gaul dan suka berbicara elu-gue ini.
Soal gaji
Apa sebenarnya yang dicari para peneliti dengan menenggelamkan diri bertahun-tahun di laboratorium atau lapangan?
Rintis mengatakan, dia mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul seputar malaria. Sialnya, semakin mendalami malaria, pertanyaan yang muncul justru semakin banyak. Ini yang membuat Rintis penasaran. "Sampai sekarang gue bertanya-tanya mengapa vaksin malaria belum ada," ujarnya.
Penelitian memang seperti kegiatan tanpa ujung. "Selama dunia berputar, hasil sebuah penelitian terus dikembangkan lagi. Saya dulu melanjutkan penelitian orang lain. Kalau saya pensiun, penelitian ini akan dilanjutkan peneliti lain," ujar Basril.
Sri Sunarti Purwaningsih, peneliti bidang kependudukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan, peneliti pada dasarnya mengabdi pada ilmu pengetahuan. "Kami enggak mikirin duit," katanya.
Mungkin itu sebabnya peneliti di Indonesia tidak bisa kaya. Apalagi, gaji peneliti—terutama yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS)—tidak besar. Sri Sunarti tidak bersedia menyebutkan berapa gajinya sebagai peneliti berstatus PNS. Namun, dia memberikan gambaran, gajinya tidak cukup untuk membeli buku-buku ilmu pengetahuan yang mahal-mahal.
"Buku (terbitan luar negeri), ibaratnya, seharga 100 dollar-an (sekitar Rp 1.100.000), gaji cuma Rp 3 juta. Kalau beli pakai kocek pribadi, saya kewalahan."
Basril mengatakan, gajinya hanya cukup untuk kebutuhan keluarganya dengan tiga anak. Itu pun kadang kurang. "Waktu anak kedua saya masuk SMA, saya harus menghadap kepala SMA meminta keringanan uang pangkal," kata Basril, peneliti berstatus PNS dengan Golongan III D.
Rintis menambahkan, gaji sebagai peneliti di Eijkman juga tidak besar. "Masih jauhlah dibanding gaji teman-teman saya yang bekerja di perusahaan multinasional," ujarnya.
Laksana Tri Handoko, peneliti di Pusat Penelitian Fisika LIPI yang berkantor di Serpong, Banten, justru menepis anggapan bahwa gaji peneliti kecil. Peneliti berpendidikan S-3 dengan status PNS Golongan III C, gaji dasarnya memang hanya Rp 1,7 per bulan. Namun, mereka masih mendapat tambahan dari honor penelitian.
Untuk peneliti pemula (kategori terendah), honor penelitiannya Rp 27.500 per jam dengan batasan maksimal empat jam per hari atau 20 jam per minggu. "Dari satu judul penelitian saja, seorang peneliti muda sudah mendapat tambahan Rp 2,2 juta per bulan. Padahal, dalam setahun seorang peneliti rata-rata menggarap dua judul penelitian," katanya.
Berdasarkan pengalaman Handoko, peneliti pemula di timnya rata-rata mengantongi uang Rp 6 juta per bulan. Kalau dia mengajar di universitas, pemasukannya bertambah lagi.
Meski begitu, kata Handoko, standar gaji peneliti di Indonesia memang tidak memungkinkan peneliti menjadi kaya raya, tetapi juga tidak akan membuat miskin. Handoko sendiri hidup sederhana. Rumahnya di Jalan Merdeka, Depok II, tidak ada sentuhan kemewahan sedikit pun, tetapi juga tidak ada tanda-tanda kemiskinan.
Bagi sebagian peneliti, hambatan utama mereka dalam berkarier bukan masalah gaji kecil, melainkan dana penelitian yang minim dan dukungan pemerintah yang kurang. Sri Sunarti mengungkapkan, berdasarkan hitungan Dikti Depdiknas, dana untuk satu orang peneliti per proyek penelitian adalah Rp 50 juta. "Tetapi di LIPI masih sekitar Rp 26 juta," katanya.
Basril mengeluhkan hal yang sama. Karena dana minim, katanya, sering kali penelitian molor. Harusnya bisa dua tahun selesai, molor jadi bertahun-tahun.
Handoko tidak mempersoalkan minimnya dana penelitian. Kalau dana besar tetapi sumber daya manusianya belum siap melakukan riset berkualitas, malah mubazir.
"Makanya, saya tidak pernah protes atau menuntut DPR agar menaikkan dana penelitian di APBN. Lebih baik tingkatkan dulu SDM-nya."
Handoko menambahkan, di Indonesia peneliti belum dievaluasi berdasarkan sistem penilaian karya. "Akibatnya, mau penelitiannya berkualitas atau tidak, hasilnya dimuat di jurnal bergengsi internasional atau jurnal ecek-ecek lokal, honornya sama. Itu yang membuat peneliti kurang termotivasi untuk membuat penelitian kelas dunia," ujar Handoko.
Sebagian peneliti juga berharap pemerintah ikut menyosialisasikan hasil penelitian mereka ke masyarakat agar bisa dimanfaatkan. Kalau tidak, kasihan peneliti. Sudah menghabiskan umur di laboratorium yang sunyi, eh... hasil penelitiannya hanya masuk laci. (IVV/DHF)http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/12/03343094/dunia.sunyi.para.peneliti
Susi Ivvaty
Peneliti banyak jumlahnya, subjek penelitian pun bisa beraneka ragam. Asal mau meneliti dan menguasai bidang garapan, penelitian bisa jadi tidak terlalu sukar. Persoalannya, peneliti juga dituntut untuk selalu menemukan hal-hal baru, atau melengkapi penelitian yang telah ada. Masih ada satu syarat lagi, hasil penelitian itu haruslah bermanfaat.
"Jadi enggak asal meneliti, kalau tidak bermanfaat ya buat apa," kata peneliti kependudukan di Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sri Sunarti Purwaningsih.
Ia saat ini tengah sibuk mempersiapkan proyek penelitian kompetitif sesuai rencana strategis LIPI yang dibikin lima tahunan. Ia akan meneliti soal kemiskinan dan pelayanan kesehatan untuk penduduk miskin perkotaan.
"Mau penjajakan dengan pemda Kota Bandung karena menjadi satu dari delapan kota besar di Indonesia yang pertumbuhan penduduknya tinggi. Tahun depan ke Makassar dan tahun ketiga bikin model antara dua kota itu," kata Narti. Untuk penelitian di Bandung ini, Narti dan empat teman lain mendapatkan kucuran dana Rp 240 juta.
Sebelumnya sudah seabrek penelitian dilakukan Narti. Misalnya, pada tahun 2006 ia meneliti kesehatan reproduksi di dua daerah perbatasan, yakni Sanggau di Kalimantan Barat dan Kota Batam di Kepulauan Riau. "Saya mengambil contoh perbatasan darat dan perbatasan laut," kata Narti yang menjadi koordinator proyek. Ia juga meneliti kaitan kesehatan reproduksi dengan jender dan otonomi daerah beserta implementasinya di Mataram Nusa Tenggara Barat dan juga Jambi.
"Penelitian seperti itu mungkin pernah dilakukan. Tantangannya, bagaimana kami bisa mendapatkan kebaruan," ujar doktor bidang demografi dari The Australian National University, Canberra, Australia, ini.
Bank jaringan
Penelitian tentang jaringan oleh Basril Abbas, Kepala Kelompok Bahan Kesehatan Bidang Proses Radiasi Badan Tenaga Nuklir (Batan), di Bank Jaringan Batan juga terus dikembangkan. Padahal, ia beserta timnya menelitinya sejak tahun 1996. Hal-hal baru bisa muncul di dalam penelitian.
Bank Jaringan adalah satu institusi yang tugasnya mengumpulkan dan memproses jaringan yang diambil dari tubuh manusia atau hewan yang telah mati, untuk kemudian ditransplantasikan di tubuh orang yang membutuhkan. Misalnya, jika ada orang terkena kanker tulang sehingga tulangnya rusak, dokter tidak perlu serta-merta mengamputasi tulang tersebut. Jaringan tulang yang rusak bisa diganti dengan jaringan tulang sapi atau manusia. Nanti jaringan tulang baru akan muncul lagi.
Jaringan di sini bisa jaringan amnion atau selaput ketuban manusia, jaringan tulang manusia dan sapi, dan jaringan peristeum atau jaringan yang menempel antara tulang dan daging. Semua jaringan disimpan di dalam kotak pendingin bersuhu minus 80 derajat celsius.
Peneliti lain, Harianto Hardjasaputra, guru besar Teknik Sipil Universitas Pelita Harapan, pernah meneliti beton bermutu sangat tinggi (ultra high performance concrete) pada tahun 2008 sewaktu menjadi peneliti tamu di University of Kassel, Jerman. Hasil penelitiannya sudah diaplikasikan pada jembatan Gartnerplatz, yakni jembatan pejalan kaki sepanjang 132 meter di Kassel, Jerman.
Harianto berencana meneliti beton mutu sangat tinggi dengan material lokal dari Indonesia.
Jurnal internasional
Hasil penelitian para peneliti banyak yang dimuat di jurnal internasional. Penelitian Basril, misalnya, dimuat di jurnal Cell and Tissue Bank serta di kumpulan tulisan World Scientific. Lalu, hasil penelitian Laksana Tri Handoko, Kepala Group Penelitian Fisika Teoritik dan Komputasi, Pusat Penelitian Fisika-LIPI, Puspiptek Serpong, sudah beberapa kali diterbitkan di jurnal ilmiah bergengsi, seperti Physical Review, Journal of Modern Physics, Nuclear Physics, dan IEEE Journal. Sebagian besar penelitiannya berada di ranah fisika teoritik garda depan, yang judul-judulnya saja susah diterjemahkan ke dalam bahasa sehari-hari.
Kita tengok saja makalahnya yang dimuat di jurnal Physical Review D65 tahun 2002 (Phys.Rev. D65 [2002] 077506, ditulis bersama CS Kim dan T Yoshikawa), berjudul "Longitudinal polarization asymmetry of leptons in the pure leptonic B decays". Handoko aktif mencari Grand Unified Theory (GUT), sebuah teori pamungkas yang akan bisa menjelaskan asal-usul semua partikel dan materi yang ada di alam semesta ini.
Handoko, yang meraih gelar S1-S3 dari Hiroshima University, Jepang, ini sehari-hari menggeluti tiga bidang, yakni fisika parlemen elementer, sains nonlinier (biofisika), dan ilmu komputasi (simulasi, data mining, dan manajemen informasi).
Handoko juga menulis tiga buku serta meraih penghargaan antara lain Habibie Award untuk kategori Ilmu-ilmu Dasar (2004) dan Achmad Bakrie Award untuk kategori Sains (2008).
Indra Bachtiar, peneliti utama di Mochtar Riady Institute for Nanotechnology (MRIN), bahkan pernah menjadi peneliti di National Heart Lung and Blood Institute di Maryland, Amerika Serikat. Setelah bergabung dengan MRIN, lulusan bidang Biologi Molekular Universitas Tohoku, Jepang, ini meneliti kombinasi glycoprotein dan fetoprotein sebagai alat untuk meningkatkan diagnostik kanker hati.
Hasil penelitian telah dipublikasikan secara internasional pada tahun 2007-2008. "Diharapkan deteksi dini terhadap kanker bisa dilakukan secepat mungkin," kata Indra. (Budi Suwarna/Dahono Fitrianto/Lusiana Indriasari)http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/12/03541268/mampu.temukan.hal-hal.baru
Mempraktikkan Konsep Taman Sari Internasional
Pengembangan dan inovasi teknologi adalah cara meningkatkan kemakmuran dan meningkatkan daya saing suatu negara seperti diperlihatkan negara berkembang seperti China, India, dan Iran.
Meski begitu, Indonesia belum tertarik menjadikan inovasi teknologi sebagai faktor pendorong peningkatan produktivitas nasional. Inilah faktor mendasar yang menyebabkan kegiatan penelitian di Indonesia tidak terlihat menonjol.
Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman mengakui, persoalan itu seperti sirkuit kemelut ayam dan telur. Di satu sisi inovasi teknologi meningkatkan produktivitas ekonomi, di sisi lain ekonomi yang subur harusnya dapat menyisihkan dana untuk melakukan riset serta pengembangan dan inovasi teknologi.
Alokasi dana di lembaga riset milik pemerintah, menurut Kusmayanto, kini lebih banyak habis untuk membiayai kegiatan rutin, seperti gaji dan biaya lain yang harus dipenuhi. Industri dan perdagangan pun menggunakan teknologi baru sebagai alat bantu mengeksploitasi kekayaan alam, belum mengambil nilai tambahnya.
Padahal, sasaran pembangunan iptek nasional adalah menjadikan iptek penghela dan pendorong pertumbuhan ekonomi melalui investasi di sektor infrastruktur dan industri berbasis iptek dengan bahan baku sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor.
Kusmayanto mencontohkan, industri batu bara seharusnya tidak hanya digali, dibakar, lalu diekspor. Batu bara akan bernilai tambah tinggi bila diolah menjadi produk seperti produk minyak dan gas, amonia, urea, metanol, sampai melamin.
Untuk mencapai sasaran itu, pemerintah memakai strategi kebijakan dan insentif dengan tiga unsur: akademisi, pemerintah, dan bisnis. Di sini tugas pemerintah menciptakan kebijakan mendorong sinergi antara akademisi dan bisnis, melalui insentif moneter, fiskal, dan pajak. Pemerintah juga mendorong lembaga penelitian swasta ikut berperan.
"Sebagai Menristek, saya juga bertanggung jawab atas koordinasi kegiatan penelitian dan rekayasa di lembaga di bawah koordinasi saya," jelas Kusmayanto.
Subyek penelitian bisa saja sama, tetapi kegiatan penelitiannya sangat berbeda. Dia mencontohkan penelitian padi yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, dan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). "Meskipun Batan dan LIPI telah menghasilkan jenis padi unggul, tetapi kegiatan penelitiannya tidak tumpang tindih yang menghabiskan uang rakyat," tandas Kusmayanto.
Meski demikian, kenyataan memperlihatkan kebanyakan lembaga penelitian milik pemerintah kekurangan dana untuk fasilitas penelitian dan imbalan memadai bagi penelitinya. Tidak sedikit sumber daya terdidik dari Indonesia akhirnya memilih bekerja di luar negeri, antara lain di Malaysia.
"Dari dulu saya tidak percaya apalagi terancam dengan isu brain drain. Saya penganut aliran brain circulation dan brain gain," jelas Kusmayanto.
Di dalam globalisasi, jejaring kerja di antara peneliti Indonesia yang bekerja di berbagai lembaga penelitian di berbagai negara dapat menjadi lebih bermakna daripada hanya melihat ke dalam.
Kusmayanto mengutip pidato Presiden Soekarno tahun 1960-an, yaitu kita semua mesti menjadikan orang Indonesia paham dan mempraktikkan konsep Taman Sari Internasional. (NMP)http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/12/03333272/mempraktikkan.konsep.taman.sari.internasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar