10 April 2009

Pendidikan Politik (Opini BS Mardiatmadja)

Tiap masa kampanye adalah masa pendidikan politik istimewa. Lebih dari waktu lain, pada hari-hari kampanye rakyat diberi hidangan politik: wisata kuliner dilakukan melalui radio dan televisi; rakyat dipersilakan mencicipi dan memilih santapan.

Dalam arena politik, waktu lebih longgar diberikan. Namun, dalam proses itu terjadi pendidikan politik: bukan pertama-tama agar rakyat menghafalkan slogan ribuan dan foto ratusan caleg. Menu utama: janji. Tentu wajar jika pada hari pemungutan suara, para caleg belum dapat dituntut memenuhi janji dalam kampanye. Namun, bermasalah juga jika—bahkan pada tahun 2007 (3 tahun sesudah Pemilu 2004)—Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia mencatat kritik pedas terhadap DPR dengan menulis "Bobot kurang, Janji masih terutang".

Janji caleg

Sepuluh hari sebelum pemungutan suara, beberapa tayangan televisi memperlihatkan sejumlah caleg melontarkan janji yang sebenarnya melampaui kompetensinya. Namun, mereka mengemukakan berapi-api, disambut tepuk tangan mereka yang khusus dihadirkan untuk itu.

Baik pembicara maupun hadirin mendidik penonton untuk menjadikan politik sebagai panggung pertunjukan: bukan tempat berargumentasi demi kesejahteraan bersama. Jika para caleg tidak berhasil menjadi aktor di panggung pertunjukan, sebenarnya tidak terlalu perlu dipermasalahkan. Tetapi jika berdasarkan pengalaman di panggung mereka meneruskan acting di DPR dan merusak tata republik: ber-acting saat harus beradu argumentasi.

Jika para caleg tidak mau dikritik pada tahun 2011 seperti dilakukan PSHK, seyogianya mereka memperlakukan ruang DPR tidak sebagai panggung "sandiwara" dan "lomba interupsi" seperti anggota DPR sebelum ini.

Kompetensi yang diharapkan dari para caleg adalah di bidang mendengarkan pendapat dan keinginan rakyat; merumuskan dengan baik hasrat rakyat dalam bahasa beradab selaras dengan kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat; menangkap pandangan lawan bicara secara berbudaya dan cerdas; menganalisis masalah sesuai dengan bidang keahlian; memaparkan dengan kecerdasan komunikasi; kegigihan berjuang secara sopan.

Dalam hal itu, pantaslah para pemilih menuntut agar caleg tidak hanya pandai berdebat dan tidak hanya memiliki pengetahuan kemasyarakatan serta mempunyai kecerdasan memperhitungkan dunia politik/ekonomi; mereka juga perlu menyiapkan diri dengan kemampuan logika yang baik dan pengetahuan etika umum serta common sense normal. Andaikata seseorang terpilih sebelum memiliki semua itu, tanggung jawabnya menuntut bahwa mencari tambahan pengetahuan, sebagaimana seseorang masuk dunia usaha dan ilmu pengetahuan, perlu mengejar kekurangan demi tanggung jawab profesionalnya.

Kecerdasan

Pernah ada diskusi mengenai prasyarat ijazah caleg. Diputuskan agar tamatan SMA dianggap memadai. Mungkin itu benar untuk suatu masa; tetapi tuntutan hidup berpolitik masa kini menghendaki lebih. Namun, kelebihan itu tidak dengan sendirinya dapat dipenuhi dengan ijazah atau sertifikat. Apalagi, jika ijazah/sertifikat itu dibeli.

Kita tahu, Howard Gardner memperkaya pengertian kita mengenai kecerdasan. Banyak sekolah puas dengan kecerdasan intelektual. Beberapa memasukkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual; tetapi sering keduanya diartikan terlampau institusional sehingga dikaitkan dengan lembaga hidup kekeluargaan dan keagamaan. Padahal, maksud Gardner lebih mendalam.

Sementara itu, kompetensi seorang anggota legislatif dalam masyarakat majemuk pasti membutuhkan kecerdasan interpersonal dan intrapersonal yang memadai: sebab setidaknya diperlukan kecerdasan bernegosiasi dan membangun kerja sama lintas partai dan lintas golongan.

Alangkah miskinnya seorang anggota legislatif jika tidak memiliki kecerdasan linguistik dan kecerdasan musikal maupun kecerdasan seni minimal, sebab akan membuatnya tidak mampu mengungkap gagasannya sampai dapat dipahami kubu lain. Akibatnya adalah berbagai perda yang diwarnai fanatisme.

Kampanye beberapa minggu sudah memberi indikasi, ada sejumlah caleg, yang mungkin mempunyai penampilan elok atau sumber dana cukup, tetapi jelas kekurangan kecerdasan ganda yang memadai sebagaimana dipesan Howard Gardner. Tanpa kecerdasan yang utuh, seorang caleg tidak memenuhi syarat untuk dipilih. Seyogianya suatu partai juga tidak akan menunjuk orang seperti itu karena hanya akan menurunkan derajat partai itu sendiri.

Siapa mendidik siapa?

Sering diberi kesan, mereka yang ada di lembaga legislatif dan eksekutif merasa lebih mampu mendidik rakyat. Istilah yang kerap dipakai adalah "rakyat tidak memahami aturan sehingga menolak UU BHP atau UU Sisdiknas atau UU Kepartaian". Hal serupa tampak pada petugas di lapangan, yang jika diingatkan peserta lalu lintas karena melanggar sendiri aturan lalin, malah ganti marah, "Kamu mau ngajari petugas?" Anggota legislatif atau petugas eksekutif seperti itu lupa bahwa jabatan tidak begitu saja membuat orang jadi cerdas secara lengkap; dan lupa bahwa karena jadi petugas, ia wajib belajar terus; dan ada kemungkinan ada rakyat yang sedikit lebih cerdas daripada petugas. Sikap paternalistik seperti itu merusak demokrasi.

Dalam suatu negara demokrasi, setiap orang tidak hanya sama di hadapan hukum, tetapi juga sama di hadapan kebenaran sejati dan sama di hadapan bangsa. Etika mengabdi masyarakat berorientasi pada kesejahteraan bersama dan pedoman bersama, yakni UUD. Maka, seluruh rakyat pantas saling mendidik.

Dari pelbagai diskusi dalam menyiapkan beberapa RUU terlihat jelas, banyak anggota DPR (yang silam) tidak cukup cerdas untuk memahami liku-liku logika hukum dan kesejahteraan bersama (sehingga tidak mampu memahami aturan DPR sendiri, atau UU yang dibuat sendiri sehingga terperosok dalam noda yang diwaspadai KPK atau lembaga pengawas parlemen).

Semoga penentuan wakil rakyat berjalan demi kesejahteraan bersama secara cerdas. BS Mardiatmadja Dosen STF Driyarkara, Jakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/09/05524736/pendidikan.politik

Tidak ada komentar: