Dua hari pascabencana jebolnya tanggul Situ Gintung, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (29/3), Kumara Sadana Putra mendatangi posko SAR di lokasi musibah. Hanya berbekal kecakapan menggambar dan sedikit pengetahuan psikologi anak, ia mengungkapkan niatnya kepada koordinator posko untuk ikut membantu pemulihan trauma pada anak-anak korban bencana.
Suyatno, Koordinator Posko SAR, segera menghubungkan Kumara dengan seorang dokter yang juga relawan di Situ Gintung. Khusus untuk penanganan trauma pada anak pascabencana telah disediakan ruangan di Lantai III Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta (FKK UMJ).
Saat melihat ruangan di FKK UMJ, lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2006 ini sempat bingung karena belum ada fasilitas apa pun untuk penanganan trauma pada anak.
"Saya kumpulkan saja anak-anak yang ada di pengungsian Lantai II FKK UMJ. Waktu itu ada 16 anak usia TK hingga SD. Bermodalkan kertas dan pensil, saya ajak mereka menggambar sambil bercanda dan berkomunikasi santai. Hasilnya, mereka langsung ceria," kata Kumara.
Masih bekerja seorang diri, pada hari kedua di Pusat Penyembuhan Trauma Anak (Children Trauma Healing/CTH), Senin (30/3), dia mencoba memotivasi anak-anak itu untuk kembali bersekolah. Caranya, lagi-lagi dengan menggambar. Kali ini ia tetapkan temanya, yaitu menggambar sekolah mereka masing-masing sebelum hancur diterjang air bah.
Pada dua hari awal berjalannya CTH, hasilnya cukup mengesankan. Setiap anak bisa membuat buku harian bergambar. Anak-anak itu bercerita tentang bencana yang mereka alami, tetapi sebagian lagi juga asyik menggambar pemandangan dan hal-hal indah yang terekam dalam memori otak mereka, termasuk tentang sekolah, guru, dan teman sekelas.
Hasil observasi sementara, Kumara melihat setiap anak membutuhkan waktu relatif singkat untuk saling mengenal satu sama lain dan menerima dirinya sebagai seorang kakak.
Sebelumnya, anak-anak itu terlihat kebingungan melihat kondisi di sekitar mereka yang rusak parah dan tiba-tiba harus hidup bersama banyak orang di tempat pengungsian. Mereka juga tidak bisa ke sekolah karena seragam dan alat tulis hanyut terbawa banjir bandang. Sebagian di antara mereka pun harus kehilangan anggota keluarga, termasuk orangtua. Satu-satunya hiburan adalah menonton televisi yang tidak semua acaranya cocok bagi anak-anak.
Jadi koordinator
"Saya lega, hari pertama bersama mereka berlangsung lancar. Tetapi, saya tahu keterbatasan saya. Ada yang lebih tahu tentang trauma anak dan metode pendekatan psikologi yang dibutuhkan. Hari Minggu itu juga saya menghubungi teman dan relasi, demi mewujudkan pusat penanganan trauma yang tepat," kata Kumara.
Dukungan segera berdatangan. Selain dari alumni ITB, bergabung juga Dorul Qur'an, mahasiswa dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Palang Merah Indonesia (PMI), Cahaya TV, Sobat Anak, dan Semut-semut School. Belakangan menyusul bergabung relawan guru yang membantu anak-anak itu mengejar pelajaran sekolah yang tertinggal selama di pengungsian.
Setelah timnya terbentuk, Kumara membuat jadwal kegiatan rutin bagi anak-anak, mulai dari Senin (30/3) hingga Minggu (5/4). Sesuai saran dari beberapa mahasiswa psikologi, selama sepekan pascabencana umumnya anak korban bencana belum bisa sekolah karena berbagai sebab.
Oleh karena itu, dia siapkan kegiatan untuk menyalurkan energi dan emosi anak-anak, seperti menggambar, mendengarkan cerita, dan bermain. Selain juga mempersiapkan mereka untuk kembali ke sekolah.
Jadwal kegiatan anak hanya dibatasi dua jam pada pagi hari dan dua jam lagi pada sore hari. Dengan pengaturan jadwal itu, setiap anak memiliki waktu beristirahat cukup. Kegiatannya pun diatur sehingga setiap pengisi acara tidak memberikan materi yang monoton atau tumpang tindih.
Setiap hari, selalu ada acara hiburan, mulai dari badut, kedatangan pendongeng, hingga melakukan banyak permainan. Anak-anak makin gembira karena bantuan meja lipat kecil untuk belajar, alat tulis, dan mainan melimpah.
Untuk memastikan semua kegiatan berjalan lancar dan kebutuhan pendukung terpenuhi, Kumara dipercaya menjadi koordinator tim. Jumat (3/4) dia terlihat sibuk mencari tempat baru yang dapat digunakan sebagai pusat penanganan trauma. Ini didasari kenyataan bahwa masih banyak anak korban bencana yang belum tersentuh pendampingan.
"Selain di FKK UMJ, pusat penanganan trauma dibuka juga di Balai Warga V di RT 3 Poncol. Di tempat itu terdapat 39 anak yang akan didampingi. Kami juga mulai mendampingi remaja usia SMP dan SMA korban bencana yang saat ini terkumpul sekitar 55 orang," kata Kumara.
Mulai Senin (6/4), pekan kedua pascabencana, Kumara dan timnya di CHT memindahkan kegiatan mereka ke Wisma Kertamukti, tempat penampungan sementara bagi para pengungsi Situ Gintung. Di lokasi baru ini juga terdapat Posko Anak Ceria dari Komisi Nasional Anak dan Departemen Sosial.
Terinspirasi dosen
"Pokoknya saya tetap ingin aktif mendampingi anak-anak ini minimal hingga tiga bulan pascabencana. Teman-teman psikolog bilang, tiga bulan adalah waktu normal untuk penyembuhan trauma. Dengan catatan, ini harus rutin dan programnya jelas," kata pemuda yang telah mengumpulkan lebih dari 100 trofi sekaligus penghargaan dari bermacam lomba gambar ataupun desain nasional dan internasional ini.
Kecintaan kepada dunia desain dan anak-anak diakui Kumara sudah ada sejak dia sendiri masih tergolong kanak-kanak. Rasa cinta itu makin membara setelah ia mendapat pelajaran dari Profesor Primadi Tabrani, guru besar Seni Murni ITB.
Menurut Kumara, Prof Primadi Tabrani menyatakan, desain dan gambar merupakan alat komunikasi universal. Prof Primadi selalu menekankan, menggambar itu merupakan kegiatan yang mampu menyeimbangkan perkembangan otak kanan dan otak kiri pada anak-anak. Keseimbangan perkembangan otak ini berpengaruh pada perkembangan jiwa dan emosi anak.
Menjadi relawan di lokasi bencana Situ Gintung memang merupakan pengalaman pertama baginya. Meskipun sibuk dan letih luar biasa—tentu saja tanpa bayaran—Kumara yakin dirinya telah memilih dan melakukan hal yang tepat. Sama seperti ketika memutuskan keluar dari pekerjaan di salah satu perusahaan elektronik besar, hanya karena merasa tidak sesuai dengan idealismenya.
Kini pengajar desain paruh waktu ini merasa bahagia berada bersama anak-anak korban bencana. Ia merasa beruntung bisa mendampingi dan melihat semangat serta harapan yang berkobar di mata anak-anak itu untuk bangkit dari keterpurukan. (COKORDA YUDISTIRA)http://cetak.kompas.com/sosok Senin, 6 April 2009 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar