Maria Hartiningsih & Frans Sartono
Minggu, 15 Maret 2009 | Ruang publik senantiasa membenamkan suara dari pemikiran-pemikiran yang bersifat lebih fundamental bagi bangsa ini. Di antaranya adalah pemikiran Prof (Emeritus) Dr dr Anna Alisjahbana (78) yang melintasi zaman dan ego sektoral, serta karya kemanusiaan yang konkret bagi pemenuhan hak asasi anak.
Kuatnya pemahaman politik di ruang publik sebagai "perebutan kekuasaan untuk mendominasi" semakin menegasikan hakikat politik dari para filsuf, yaitu memajukan martabat kemanusiaan. Prinsip seluruh tindakannya adalah komunikasi, bebas dari kekerasan, intimidasi, manipulasi.
Prof Anna Alisjahbana bekerja di wilayah pemberdayaan yang menyasar pada masalah tumbuh kembang anak. Persoalan itu sangat krusial terkait masa depan bangsa.
Sebagai peneliti selama lebih dari 45 tahun, ia tahu, tumbuh kembang anak bersifat multidimensi. Kegiatannya membutuhkan kerja sama lintas sektoral, dan merupakan kegiatan tanpa ujung. Karena pendekatannya lebih pada kualitas, kemajuannya tak bisa disandarkan hanya pada target angka dan waktu. Dengan demikian, wilayah kerja itu membutuhkan hanya orang-orang yang bekerja dengan passion dan setia pada suara hati.
Utuh, komprehensif
"Kerja kami di tingkat akar rumput adalah mengintegrasikan kesehatan, nutrisi, dan perkembangan psikososial," ujar Prof Anna Alisjahbana, yang kami temui suatu siang di Bandung, di Kantor Yayasan F2H, Frontiers for Health, suatu lembaga nonpemerintah di bidang riset pemberdayaan warga.
Konsepnya bagaimana?
Konsep keseluruhan yang kami kembangkan adalah mengintegrasikan tiga hal tadi. Itulah konsep dasar Program Early Childhood Care and Development (ECCD) yang kami terjemahkan menjadi Asuhan Dini Tumbuh Kembang Anak (Adituka).
Waktu pertama saya menjadi anggota forum PAUD, mereka tetap menginginkan pendidikan yang nomor satu. PAUD-nya adalah Pendidikan Anak Usia Dini, bukan Pengembangan Anak Usia Dini. Saya bilang, 'Bagaimana anak bisa menyerap pelajaran kalau ia tidak sehat dan gizinya tidak baik.'
Kita harus melihat anak sebagai individu utuh dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ini harus ditanggapi secara holistik, dengan pendekatan siklus hidup, sehingga persoalan kesehatan anak tidak dianggap hanya sebagai urusan dokter saja, tetapi juga psikolog, antropolog, sosiolog, pendidik, dan lain-lain. Kalau kesehatan kan hanya melihat gizi, kesehatan, tetapi tak melihat kebutuhan early learning. ECCD dimulai dari kandungan sampai usia tiga tahun, bisa sampai enam tahun.
Satu lagi, anak tak bisa dipisahkan dari orangtua dan orangtua adalah bagian dari ini semua. Kemudian dilengkapi dengan community development. Seluruh kegiatan terkait dengan tumbuh kembang anak harus dimiliki dan dikerjakan masyarakat. Mereka tahu apa yang dibutuhkan.
Apa yang Anda maksud dengan community development?
Selama ini hampir semua program pemerintah konsepnya top-down. Masyarakat terlalu didikte, dianggap bodoh. Waktu saya akan memulai proyek inovasi Taman Posyandu di daerah penelitian saya, di Desa Tanjung Sari, Sumedang, tahun 2000, warga bilang, 'Bu, udah aja kasih duitnya, kita akan lakukan apa yang Ibu mau.' Saya bilang, 'Yang saya mau, kalian terlibat, ini punya kalian.'
Program yang bottom-up membutuhkan waktu. Orangtua harus diberi pemahaman, dimotivasi, dibuat pintar, sehingga kemudian tahu kebutuhannya. Taman Posyandu harus didirikan masyarakat karena memang masyarakatnya butuh.
Konsep holistik
Sebagai pakar kesehatan anak, Prof Anna Alisjahbana sering diundang menjadi konsultan pada berbagai lembaga internasional. Suatu saat, Unicef (Dana Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Anak-anak) menawari membuat proposal tentang ECCD, tetapi proposal tersebut ditolak oleh Bappenas dan Departemen Kesehatan.
Kenapa?
Depkes bilang belum waktunya. Saya bilang kepada Unicef, saya akan membuat sendiri, kalau ada sisa dana. Saya lalu membuat demonstration project di Tanjung Sari. Di situ kita melakukan uji coba dengan konsep holistik; kesehatan, gizi dan pembangunan psikososial. Kita buat Program Adituka dengan empat subprogram.
Pertama, community development. Kedua, parenting, dengan sembilan pesan, terjemahan tindakan Konvensi Hak Anak; mencakup perawatan kehamilan, persalinan dan pascasalin, gizi anak dan keluarga, perawatan anak sakit, perawatan anak sehat, rumah yang sehat dan bersih, mencegah kecelakaan di rumah, benda yang menarik anak bermain, permainan yang diawasi dan menanamkan aturan kepada anak dengan penjelasan.
Ketiga, Taman Posyandu untuk pendidikan anak usia 2,5 sampai 5 tahun. Keempat, deteksi dini dan intervensi dini. Yang terakhir itu adalah program yang saya kembangkan di Yayasan Suryakanti.
Unicef puas dengan itu, lalu ditawarkan ke Depdiknas, tetapi nama programnya diganti dengan Taman Posyandu, supaya lebih saleable. Lembaga non- pemerintah seperti Plan Internasional mengadopsi untuk Indonesia timur, juga Save the Children.
Diknas lalu muncul dengan uang yang begitu banyak. Kader dibayar, dan konsep community development-nya hilang. Bagi saya, keberhasilan terletak pada kader. Kader harus diberi kompensasi untuk pemberdayaan ekonomi. Itu yang membuat Depkes tak setuju.
Sekarang Diknas melakukannya secara ekstrem. Kader dikasih uang. Kalau uang habis, bagaimana? Harusnya dibuat mekanisme seperti Grameen Bank. Mereka bisa pinjam untuk kegiatan produktif. Taman Posyandu dikelola bersama, kegiatan ekonomi berjalan, community development berjalan juga. Itu sudah kami buktikan.
Apa pentingnya Pengembangan Anak Usia Dini?
Dalam golden period (periode emas) tumbuh kembang anak, yakni usia nol sampai tiga tahun, bisa sampai enam tahun, otak sedang berkembang pesat sehingga sangat responsif terhadap stimulus.
Kalau kita memberi stimulus dalam hal belajar, attachment, interaksi, dampaknya akan seumur hidup. Kalau stimulus diberikan setelah itu, dampaknya lebih sedikit. Melakukan investasi pada usia itu artinya investasi seumur hidup.
Selama ini hal itu tidak mendapat perhatian. Ada investment, dalam pengertian imunisasi. Ini pendekatan survival, bukan kualitas. Kualitas mencakup bagaimana attachment, ikatan ibu-anak, merawat, membesarkan anak. Kita memasukkan nilai-nilai dalam periode itu. Anak-anak yang mendapatkannya akan tumbuh sebagai pribadi yang mandiri dan percaya diri. Biasanya secara akademis juga berhasil. Tetapi future life kan bukan akademis saja.
Program Diknas tadinya untuk usia tiga tahun ke atas. Sekarang sudah mulai dengan nol. Tetapi, Depkes mengatakan, usia nol sampai tiga tahun itu bidang mereka. Bappenas berhasil mempertemukan keduanya, tetapi entah bagaimana implementasinya.
Mengapa Anda menaruh perhatian pada anak sejak di kandungan?
Saya tertarik pada cacat bawaan yang deteksinya harus pada kehamilan. Saya menjadi Kepala Bagian Neonatologi, punya intensive care unit, tetapi ini teaching hospital, hanya peduli pada 10 persen populasi bayi, bagaimana sisanya?
Lalu saya berpaling ke lapangan, dan mendirikan epidemiologi perinatal. Lalu melakukan penelitian tentang dukun bayi, karena 90 persen yang menolong persalinan adalah dukun bayi.
Ternyata tak ada bedanya antara bayi-bayi yang dilahirkan oleh dukun bayi yang dilatih dan yang tidak dilatih. Hasil penelitian saya memperlihatkan, pelatihan dilakukan satu arah, tidak ada dialog, tidak ada supervisi, kalau salah dihukum. Ini tidak fair. Saya mengusulkan untuk mengubah pelatihan.
Saya lalu membuat penelitian tentang intervensi training dukun bayi. Saya membuat pelatihan dengan rules of communications, interpersonal communications, rules of adult trainings, dialog dan supervisi. Hasilnya jauh lebih baik. Mereka bisa merujuk pasien bermasalah ke rumah sakit, tetapi ternyata di situ tidak diapa-apakan. Jadi ini bukan lagi masalah dukun bayi, tetapi infrastrukturnya yang tak siap.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/15/04062421/setia.pada.suara.hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar