Saya benci PR." Demikian diungkapkan seorang ibu yang anaknya murid sebuah SD "favorit" di Jakarta Pusat.
"Saya tidak mengerti cara pikir guru sekarang, bagaimana mungkin anak bisa diberikan PR sebanyak itu setiap minggunya," katanya mengeluh. Matematika, IPS, IPA, atau apalah namanya adalah sederetan pelajaran yang disebut anaknya.
Ia mengalami kesulitan berkomunikasi dengan anaknya karena waktunya "habis" untuk mengerjakan PR di rumah. Setiap mau diajak "ngobrol" santai jawabnya selalu PR-nya belum selesai. Si ibu merasa juga perhatiannya tidak fokus. Dia merasa kehilangan "waktu" berinteraksi secara intens dengan anaknya. "Bukankah hubungan harmonis anak dan orangtua penting dalam keluarga?" lanjutnya.
Ibu itu mengeluh, "wajah" anaknya tidak secerah dulu waktu pulang sekolah. Anak itu sekarang tertutup dan jarang berbagi cerita dengan orangtuanya. Dia tinggal serumah, tetapi merasa asing satu sama lain.
Terkadang dia membantu menyelesaikan PR anaknya sampai larut malam. Dia kadang berpikir, PR ini diperuntukkan bagi anak atau orangtua si anak sebenarnya? Meski begitu, toh tidak semua hal bisa dilakukannya.
Akhirnya, diambilnya keputusan memberi tambahan pelajaran dari guru privat. Uang tambahan harus keluar, waktu tersita lebih banyak, dan perubahan situasi juga tak kunjung datang.
Berbeda dengan ibu pertama tadi. Ibu yang kedua, sebutlah Ibu Rina namanya, merasa pemberian PR oleh guru positif dampaknya. Ia berargumen, dengan PR, anak menjadi terbiasa dan lebih memahami apa yang didapatnya di kelas. Ia bisa lebih hafal, lebih terampil, dan memperluas pengetahuannya.
Anak-anak juga tidak menghabiskan waktunya dengan bermain, seperti menonton televisi, bermain komputer atau playstation. Bahkan, lanjutnya, "jadwal harian" anaknya lebih teratur setiap harinya. Dia merasa bahwa guru telah memikirkan apa yang terbaik buat anaknya. Dia memang pernah mendapat keluhan soal banyaknya PR yang mesti dikerjakan oleh anaknya. Namun, dia berpikir bahwa anak perlu sejak dini merasakan juga bagaimana pentingnya bekerja keras di dalam hidupnya. Toh, ini juga demi masa depan anak sendiri.
Meskipun jarang membantu mengerjakan PR anaknya, ia setuju bahwa orangtua harus campur tangan ketika melihat anak kesulitan mengerjakan pekerjaan rumahnya.
Dua kasus di atas barangkali juga menggambarkan pengalaman sebagian orangtua lain yang memiliki kesulitan yang sama bagaimana menyikapi keluhan anak tentang hal ini.
Apa gunanya PR?
Pekerjaan rumah (PR) merupakan salah satu instrumen yang dipergunakan guru dalam pembelajaran. Tidak semua PR membantu siswa untuk mengetahui, memiliki keterampilan dan pemahaman tentang apa yang sedang mereka pelajari. Melalui pemberian PR kepada siswa diharapkan proses pencapaian tujuan pembelajaran berjalan dua arah, di sekolah dan di rumah.
Untuk mencermati efektivitas sebuah PR bagi para siswa ada beberapa hal yang penting diperhatikan. Marzano, R. J & dkk (2001) dalam bukunya yang berjudul Classroom Instruction that Works menunjukkan bahwa setidaknya ada empat hal penting yang perlu diperhatikan ketika guru memberikan pekerjaan rumah kepada siswa.
Pertama, banyaknya pekerjaan rumah sebaiknya berbeda untuk setiap levelnya. Banyaknya PR bagi siswa SD atau SMP tidak perlu sebanyak dan seberat dengan PR yang diberikan kepada siswa SMA misalnya.
PR yang diberikan bagi siswa SD sebenarnya bukan dirancang untuk menaikkan skor atau pencapaian tes mereka, tetapi lebih untuk mengembangkan kebiasaan belajar, mendorong kebiasaan positif dalam belajar, serta sarana komunikasi antara orangtua dan guru di sekolah.
Kedua, keterlibatan orangtua diusahakan seminimal mungkin. Peran orangtua lebih bersifat fasilitator sejauh itu dibutuhkan anak. Mengintervensi dan mengambil alih pekerjaan rumah anak atas nama belas kasihan bukanlah yang dimaksudkan atas tujuan pemberian PR. Maka, guru mesti memahami "takaran" seberapa jauh masalah tertentu mesti dikerjakan pribadi atau bersifat kelompok.
Ketiga, tujuan setiap PR harus jelas dan dapat diterjemahkan secara konkret. Marzano mengingatkan, setiap bentuk PR adalah berbeda. Tujuan PR yang berbeda mestinya dicapai dengan bentuk soal dan masalah yang berbeda. Tujuan pemberian PR biasanya meliputi dua hal, yakni bersifat praktis persiapan dan untuk sebuah elaborasi atau persiapan materi baru. Jika kepentingannya praktis, guru meski yakin bahwa setiap anak memahami keterampilan yang dimaksudkan. Sebaliknya, PR bisa dipergunakan sebagai pengantar untuk masuk ke dalam materi baru atau mengelaborasi atas sejumlah kemampuan anak atas materi belajar yang baru selesai diajarkan.
Keempat, guru mesti memberikan umpan balik (feedback) atas setiap PR yang diberikan. Dalam riset yang dilakukan Marzano, efektivitas dan efisiensi sebuah PR sangat bergantung pada sejauh mana umpan balik yang diberikan guru tersebut. Pekerjaan rumah yang tidak pernah mendapatkan umpan balik memiliki "pengaruh" yang lebih rendah daripada yang senantiasa mendapatkan umpan balik.
PR ideal
Berapa sesungguhnya, banyak atau jumlah PR ideal yang diberikan kepada anak di sekolah? Sekalipun ini sebuah pertanyaan yang penting, tetapi yang lebih esensial bagi guru di sekolah sebenarnya adalah, berapa pun banyak atau jumlah PR yang diberikan guru kepada siswa tidak akan memiliki makna yang besar ketika tidak disertai dengan umpan balik yang sesuai.
Guru yang tidak jeli menakar hal ini akan menjadikan bumerang bagi guru, antara lain anak justru semakin tidak termotivasi dan mencintai belajar.
Dan, "kesalahan" guru menggunakan PR dalam pembelajaran akan mengakibatkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran itu sendiri. Bahkan lebih jauh dari itu menyebabkan guru frustrasi karena hasil tidak sesuai harapan, anak didik stres, dan orangtua akan menuding guru tak "becus" mengajar anak didiknya.
Bagaimana PR yang sesuai bagi anak menurut Anda?
Thomas Gunawan Wibowo, Guru SMA Kanisius Jakarta, Sedang Studi Instructional Leadership di Loyola University Chicago
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/30/04305249/pr.apakah.perlu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar