27 Maret 2009

Anak Kita Belum Bebas (Rokok)

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Mahasiswa Universitas Indonesia menggelar aksi di depan Balaikota, Jakarta Pusat, menuntut penegakan Perda DKI Nomor 2 dan 75 Tahun 2005 mengenai Larangan Merokok di Tempat Umum, (29/11/2007). Aksi tersebut sebagai protes karena masih banyaknya pelanggaran terhadap perda itu
.

Oleh Elok Dyah Messwati

"...Jutaan anak di Indonesia terpapar asap rokok. Tidak ada lagi tempat... untuk terbebas dari asap rokok. Bahkan orangtua lebih memilih membiarkan anaknya tidak bersekolah dan kekurangan gizi daripada dirinya berhenti merokok. Hentikan semua ini untuk masa depan kami yang lebih baik...."

Bunyi Petisi Anak Indonesia yang dikeluarkan tahun 2008 itu terus berdengung. Permintaan mereka sederhana. Mereka meminta agar pemerintah menjauhkan rokok dari jangkauan anak-anak dengan cara menaikkan harga rokok dan menghentikan berbagai bentuk iklan, promosi, dan sponsor rokok agar anak-anak tidak tergoda untuk merokok.

Sekitar 50 anak yang tergabung dalam Forum Anak Bebas Tembakau pernah menyusuri jalanan di Jakarta selama satu jam, seperti Jalan Pegangsaan, Jalan Surabaya, Jalan Minangkabau, Jalan Saharjo, Jalan Soepomo, hingga Jalan Asia Afrika. Sepanjang jalan itu, anak-anak disuguhi padatnya berbagai iklan rokok.

Mereka melaporkan, jarak antara reklame rokok satu dan lainnya 10-30 meter. Mereka juga menemukan 15 jenis merek rokok yang iklannya memadati sepanjang jalan-jalan itu. "Saya baru sadar kalau iklan rokok itu begitu banyak. Sampai mau muntah rasanya," kata Uni, salah seorang peserta.

Dengan cepat dan mudah, anak-anak pun menyebutkan sejumlah slogan iklan rokok yang memang lucu dan mewakili dunia mereka. Iklan-iklan rokok yang funky dan gaul mengepung mereka.

Apa yang diamati dan dialami anak-anak itu sejalan dengan hasil memantau terhadap industri rokok yang dilakukan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) dan hasil penelitian mereka, "Dampak Keterpajanan Iklan Rokok dan Kegiatan yang Disponsori oleh Industri Rokok terhadap Aspek Kognitif, Afektif dan Perilaku Merokok Remaja", bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah.

Hasil studi menunjukkan, 86,7 persen anak-anak di DKI Jakarta melihat iklan rokok di luar ruang dan 99,7 persen melihat iklan rokok di televisi.

Rokok gratis

Menurut catatan Komnas PA, terdapat sekitar 1.500 acara dari musik, olahraga, kebudayaan hingga keagamaan disponsori industri rokok selama 10 bulan. Tidak heran jika hasil penelitian Komnas PA menunjukkan bahwa 81 persen remaja Jakarta pernah mengikuti acara yang disponsori industri rokok. Bahkan di konser musik dengan sponsor rokok, mereka kerap kali diberi rokok gratis.

Agresifnya iklan, promosi, dan sponsor rokok mengancam jutaan remaja Indonesia menjadi perokok pemula. Hasil studi menyimpulkan bahwa iklan, promosi, dan sponsor rokok menimbulkan keinginan remaja untuk mulai merokok, mendorong perokok remaja untuk terus merokok, dan mendorong remaja yang telah berhenti merokok untuk kembali merokok.

Ketua Umum Komnas PA Seto Mulyadi menyatakan, membiarkan iklan, promosi, dan sponsor rokok sama saja melegalisasi kebijakan negara terhadap praktik industri rokok dalam meracuni anak-anak Indonesia. Jika ini terus dibiarkan, jutaan anak Indonesia akan semakin terancam hidupnya.

Terkait iklan dan sponsor rokok pada acara musik, Vice Executive Director untuk Sponsorship and Marketing Jak Jazz Production, Esther Maulana, mengatakan, sebenarnya panitia Jak Jazz mengirimkan banyak penawaran kerja sama ke beberapa industri, seperti penyedia layanan telepon seluler, perbankan, dan tembakau.

"Kebetulan mutual relation- nya dengan industri tembakau. Jadi bukan berarti kami mau mempromosikan rokok, bukan. Kami memiliki idealisme membuat festival jazz secara berkelanjutan dan kebetulan yang mendukung kami dari industri tembakau. Kami juga mematuhi aturan pemerintah, tidak ada pembagian rokok gratis," kata Esther.

Terkait iklan rokok yang dipandang menyasar anak-anak muda, menurut Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran, sebenarnya mereka tak mengiklankan rokok, tetapi mengiklankan corporate brand sebab mengiklankan dengan menunjukkan batang rokok, bungkus rokok, dan orang merokok tidak boleh.

"Menurut kami wajar karena tak menggunakan model anak- anak di bawah 18 tahun. Kalau ditafsirkan iklannya menargetkan anak-anak muda, itu keliru. Itu pandai-pandainya kreator yang membuat iklan rokok," kata Ismanu.

Terhadap pihak-pihak yang mengkhawatirkan makin masifnya iklan rokok, dia mengatakan, "Kami rasa mereka punya pandangan terhadap rokok. Kami rasa cara pandangnya pasti beda. Jadi, apa pun yang dilakukan oleh pabrik rokok, pasti didiskreditkan."

Prevalensi merokok

Sekarang prevalensi usia merokok menjadi semakin muda, yakni usia lima tahun sudah mulai merokok. Menurut data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia, tahun 1970 perokok termuda adalah kelompok usia 15 tahun dan tahun 2004 kelompok usia 7 tahun. Dalam data BPS 2004 disebutkan populasi perokok pada usia anak-anak cukup tinggi, yaitu perokok aktif pada usia 13-15 tahun sebanyak 26,8 persen dari total penduduk kelompok usia itu dan pada usia 5-9 tahun sebanyak 2,8 persen.

Menurut Komnas PA, industri rokok mengeluarkan dana sekitar Rp 1,6 triliun untuk "menjual" produk mereka lewat iklan, promosi, dan sponshorship. Jumlah dana ini tak sebanding dengan pengeluaran negara untuk layanan kesehatan bagi masyarakat akibat rokok melalui program Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin), yakni Rp 167 triliun pada 2005.

"Sebatang rokok mengandung tak kurang dari 4.000 zat kimia beracun dan 69 zat karsinogenik yang berbahaya bagi kesehatan dan bersifat adiksi," kata Seto.

"Saat ini pemerintah digugat Koalisi LSM Antitembakau ke pengadilan karena belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)," kata Koordinator Pengendalian Tembakau Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi dalam acara peluncuran situs web petisi www.lindungikami.org dan talkshow aksi sejuta dukungan masyarakat mendesak adanya regulasi pengendalian tembakau.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/27/03594938/anak.kita.belum.bebas

Tidak ada komentar: