05 Februari 2009

UU BHP - Uji Materi, Mengapa Tidak? (Opini ST SULARTO)

Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) menambah daftar UU yang ditolak masyarakat atau setidak-tidaknya kontroversial. Meskipun sebelum disahkan DPR sebagai UU tanggal 17 Desember 2008 masyarakat sudah menyampaikan kekhawatiran—tidak bisa tuntas sebab termasuk salah satu RUU yang secara sumir disosialisasikan sebelum dibahas di DPR—sampai hari ini penolakan atas UU BHP masih terus berlangsung, bahkan mulai memasuki titik-titik kritis pasal demi pasal.

Reaksi Mendiknas Bambang Sudibyo, "baca dulu UU-nya baru protes", barangkali ungkapan kemarahan, sama seperti beraksi terhadap kontroversi ujian nasional ataupun pernyataan agar universitas berstatus badan hukum milik negara tidak "kebablasan" mencari uang. Reaksi pemerintah atas keberatan UU BHP merupakan cermin sikap adigang adiguna dalam menangani persoalan, tidak terkesan ngemong, perilaku yang seharusnya melekat erat dan menjiwai jati diri dalam penyelenggaraan praksis pendidikan.

Setiap proses pengundangan kegiatan pemerintahan didasarkan atas semangat, semacam optio fundamentalis. Pilihan dasar dalam kasus UU BHP adalah penataan secara legal praksis pendidikan, dengan penerapan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi (Pasal 3 UU BHP). Semangat yang melatarbelakangi adalah bagaimana keikutsertaan dan rasa memiliki masyarakat memperoleh wadah, seperti kemudian tercermin dalam Bab VI Pendanaan, khususnya Pasal 41 tentang sumber dana dan Pasal 42 tentang investasi; yang tidak selesai dengan jargon politis "pendidikan adalah tugas masyarakat, pemerintah, dan keluarga".

Pasal-pasal di atas dikutip sebab di sanalah terletak titik krusial penolakan masyarakat, yakni representasi semangat mengajak partisipasi masyarakat di sisi positif sebaliknya komersialisasi-liberatif di sisi negatif. Yang muncul kemudian, kecurigaan UU BHP diundangkan berangkat dari sebuah kondisi masyarakat yang tabula rasa-vakum-kosong lebih dominan dalam pembentukan opini publik. Padahal, menurut pemerintah dan DPR, UU BHP diciptakan dan dibangun dalam sebuah masyarakat yang memiliki sejarah panjang tentang peranan swasta dalam ikut serta menyelenggarakan praksis pendidikan, misalnya.

Opini publik menimbulkan kecurigaan dan reaksi serba skeptis. Kecurigaan itu berbuah lanjut dalam berbagai bentuk protes. Keberadaan sekolah-sekolah swasta terancam, tidak memperoleh pengakuan, penyelenggaraan pendidikan identik dengan mendirikan sebuah pabrik karena itu lantas dipajak sebab mendatangkan keuntungan, dan kurang diperhatikannya semangat dan latar belakang penyelenggaraan sekolah swasta. Entah karena sosialisasi kurang atau didorong nafsu besar membongkar UU BHP, protes-protes pun terkesan sering tidak didasarkan atas studi mendalam apalagi secara ideologis legal, seperti yang terlihat dalam tuntutan keterlibatan mahasiswa dalam organ representasi pemangku kepentingan menyelenggarakan pendidikan tinggi (Pasal 18). Kesan arogan pun, "baca dulu baru protes" dari fakta di atas, barangkali ada benarnya!

Kondisi masyarakat

Protes atas pengesahan untuk diundangkan BHP sama seperti pada kasus UU MA dan UU Pornografi. Prosesnya kurang memerhatikan apa yang hidup dalam masyarakat dan kurang memerhatikan kondisi sosial psikologis budaya masyarakat. Padahal, prosedur ini bertentangan dengan semangat reformasi, yang membuka lebar keinginan untuk merepresentasikan keinginan terbuka—kenyataan yang seharusnya dilihat sebagai sesuatu yang positif dan tidak dilawan dengan mengabaikannya, seperti dalam kasus penyelenggaraan praksis pendidikan terlihat pada kasus ujian nasional dan terakhir pada UU BHP.

Mengutip pendapat pakar hukum tata negara dari UGM, Prof Sudjito, UU BHP dan sejumlah produk hukum pascareformasi mengandung cacat ideologis. Padahal, pada awal reformasi ada tekad untuk menciptakan produk hukum yang didasarkan atas nilai-nilai luhur bangsa yang bersumber dari Pancasila. UU BHP tidak selaras dengan ideologi bangsa. Pernyataan itu dipungut untuk menegaskan bahwa kesalahan awal terutama tidak pada pasal per pasal, tetapi pada titik berangkat proses pengesahan UU. Dengan mengabaikan kondisi riil masyarakat, Prof Sudjito memakai istilah produk hukum itu cacat secara ideologis, UU BHP pun mengatur lembaga pendidikan ibarat usaha bisnis.

Dalam hal kondisi riil masyarakat, ketika lebih dari separuh peserta didik diselenggarakan lembaga pendidikan swasta, semangat UU BHP yang memberi kesan ada dikotomi negeri dan swasta, pernyataan cacat ideologis merupakan masalah serius. Barangkali menjadi batu penjuru uji materi yang akan dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebelum UU itu diparaf Presiden. Bangsa ini tentu tidak ingin menambah daftar UU ibarat macan kertas, atau UU yang dari waktu ke waktu perlu diamandemen. Di antaranya, tanpa pengakuan terhadap eksistensi lembaga pendidikan swasta yang amat variatif mulai dari latar belakang dan kondisi fisiknya, benar bahwa UU BHP ini ibarat "pedang achilles" dalam mitologi Yunani yang memotong urat kaki lembaga swasta agar mati langkah.

Masih menjadi tanda tanya berkaitan dengan Pasal 41 Ayat 4 yang menyebutkan pemerintah paling sedikit menanggung biaya operasional, sementara pada Ayat 7 dan Ayat 8 di pasal yang sama peserta didik menanggung maksimal sepertiga dari biaya operasional. Pasal ini selalu dijadikan bukti jaminan perhatian dan bukti tanggung jawab pemerintah atas praksis pendidikan sehingga wajar kalau masyarakat berpartisipasi.

Gampang dicurigai

Akan tetapi dalam kondisi korsleting antara keinginan masyarakat dan keinginan pemerintah, pasal-pasal itu gampang dicurigai sebagai pasal karet, bisa ditarik ulur demi kepentingan politik. Sebagai contoh ketika dinyatakan pendidikan dasar dan menengah negeri gratis, kemudian nanti pendidikan atas, dalam praktik benarkah masyarakat tidak dipungut biaya? SPP memang tidak ada, tetapi pungutan oleh sekolah atas anak didik bukannya tidak ada, bahkan dalam banyak kasus justru jumlah nominalnya lebih besar dari SPP sebelumnnya.

Contoh lain! Ketika BOS diberikan dan kemudian harus dipertanggungjawabkan secara administratif, dengan tujuan agar tidak terjerembab saat diaudit, kita saksikan perhatian kepala sekolah tersedot dalam urusan administrasi manajemen, bukan manajemen meningkatkan mutu praksis pendidikan tetapi manajemen terbebas dari jeratan administrasi mempertanggungjawabkan BOS.

Dua contoh di atas, semuanya terjadi dalam praksis pendidikan negeri, selain persoalan manajemen, pun di sana terungkap kekeliruan paradigma sekolah swasta dan negeri. Sekolah negeri adalah anak emas, tetapi swasta anak tiri. Siswa sekolah negeri adalah warga negara tingkat satu, siswa sekolah swasta warga negara tingkat dua. Negeri diberi perhatian soal pendanaan, sebaliknya swasta dituntut meningkatkan diri tanpa penyediaan dana. Negeri diberi fasilitas menjaring murid lebih dulu sehingga memperoleh bibit unggul, swasta dibiarkan mendapatkan calon siswa sisa-sisa dari calon sekolah negeri. Kecurigaan berikutnya, swasta dibiarkan mati pelan-pelan.

Kecurigaan-kecurigaan itu meruncing ketika ternyata disahkan secara hukum. Semangat reformasi bahkan roh UU tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 30 Tahun 2003 diingkari dengan pengesahan produk hukum, dalam hal ini UU BHP. Dengan demikian, di tengah gencarnya protes berbagai elemen masyarakat, selayaknya digulirkan uji materi atas UU BHP. Uji materi itu, bahkan Mendiknas pun setuju, menjadi jalan keluar yang elegan agar UU BHP diterima semua pihak. MK yang niscaya bertindak netral dan menguji secara profesional atas UU BHP, barangkali akan menghentikan kisruh berkepanjangan.

Uji materi UU BHP, mengapa tidak? Judul catatan ini menegaskan sikap dan ajakan bahwa harus dilakukan uji materi oleh MK atas produk hukum UU BHP, yang bisa saja selain kasus UU BHP juga terjadi untuk UU MA maupun UU Pornografi. Bangsa ini dengan semangat pascareformasi tidak ingin eksis dengan produk hukum yang cacat secara ideologis, yang dijalankan dengan semangat represif dari pihak pemerintah sebaliknya rasa tertekan di pihak rakyat.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/05/01054442/uji.materi.mengapa.tidak

Tidak ada komentar: