Kompas/Yuniadhi Agung Sejumlah anak mengikuti tes masuk Madrtasah Pembangunan, Ciputat, Tangerang. |
Sudah lama SD swasta menerapkan seleksi masuk terhadap anak-anak TK yang akan masuk SD. Menurut pendidik Arief Rachman, sistem seleksi ini diterapkan sejak SD swasta diserbu orangtua murid yang sudah menurun kepercayaannya terhadap kualitas sekolah negeri.
"Tujuannya bagus, tetapi yang menjadi persoalan adalah materi tesnya lebih mementingkan baca, tulis, hitung," kata Arief Rachman. Dengan tes baca, tulis, dan berhitung (calistung), anak hanya dilihat kemampuan kognitif atau intelektualnya saja. Padahal, anak masih memiliki potensi kecerdasan sosial, emosional, spiritual, dan jasmani.
Psikolog perkembangan anak, Seto Mulyadi, bersikap keras terhadap tes calistung. "Ini bentuk kekerasan terhadap mental anak dengan mengatasnamakan pendidikan," tegas Seto.
Seto berpesan kepada orangtua agar tidak terlalu cepat menjejalkan pelajaran calistung kepada anak, terutama anak usia di bawah tujuh tahun. Jika anak di bawah tujuh tahun sudah dipaksa membaca, maka anak akan kehilangan kesempatan mengembangkan kecerdasan emosi dan sosial yang seharusnya berkembang pesat saat anak berumur 4-6 tahun.
"Masalah akan muncul ketika anak menginjak kelas VI SD atau awal SMP. Ketika berhadapan dengan lingkungan, anak tidak memiliki ketahanan mental karena kecerdasan emosi dan sosialnya tidak berkembang," kata Seto. Anak semacam ini rentan terlibat kenakalan remaja atau mudah depresi.
Menurut Seto, sistem seleksi yang mensyaratkan anak TK sudah harus bisa calistung menyebabkan para guru di sekolah TK terpaksa memaksa anak didiknya belajar calistung. Padahal, seharusnya TK menjadi tempat bermain dan belajar bersosialisasi bagi anak-anak.
Di Sekolah Pesona Alam Green School, Tangerang, misalnya, murid TK B sudah diajarkan cara menghitung bersusun. Padahal, anak-anak belum mengenal konsep bilangan satuan dan puluhan.
Anggiya Septyana dari bagian penelitian dan pengembangan sekolah tersebut mengatakan, sekolah alam sebenarnya lebih mengedepankan pembentukan karakter anak, daya cipta, dan imajinasi. Akan tetapi, karena sekolah itu belum memiliki sekolah dasar dengan konsep sama, mereka terpaksa mengajarkan anak didiknya calistung agar bisa bersekolah di SD lain. (IND)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/22/01340087/kekerasan.atas.nama.pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar