06 September 2008

Perguruan Tinggi Harus Jaring Mahasiswa Miskin

SP/Adi Marsiela - Johannes Gunawan

[BANDUNG] Setiap perguruan tinggi dalam rancangan undang-undang badan hukum pendidikan (RUU BHP) harus menjaring 20 persen mahasiswa miskin atau lemah secara ekonomi, namun berpotensi dari total penerimaan mahasiswa barunya. Selain itu, mereka juga berkewajiban memberi beasiswa sebesar 20 persen dari jumlah mahasiswa terdaftar.

Dua kewajiban itu menurut anggota tim perumus Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) Sekretaris Majelis Pendidikan, Direktorat Pendidikan Tinggi Dewan Pendidikan Tinggi, Depdiknas, Prof Dr Johannes Gunawan, harus dipenuhi oleh setiap perguruan tinggi. Apabila tidak dipenuhi, penyelenggara pendidikan bisa dikenakan sanksi administratif.

"Sampai dicabut haknya untuk menyelenggarakan pendidikan," kata guru besar Hukum Perdata dan Hukum Perlindungan Konsumen di Universitas Parahyangan, Bandung ini kepada SP di ruang kerjanya di Bandung, Kamis (4/9).

Dia mencontohkan apabila dalam masa tahun ajaran baru sebuah perguruan tinggi menerima 2.000 mahasiswa baru, maka 400 orang di antaranya
harus berasal dari kalangan yang lemah secara ekonomi. Hal yang sama juga berlaku untuk perguruan tinggi swasta.

"Semuanya nanti dievaluasi oleh Dikti (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi)," ujarnya. RUU tersebut, hanya memperbolehkan setiap perguruan tinggi membebankan 30 persen dari total biaya operasionalnya kepada mahasiswa. "Sisanya didapat dari negara, BHP yang bersangkutan, juga dari pemerintah daerah, serta masyarakat," tambah Johannes.

Setiap perguruan tinggi tetap mendapatkan bantuan dana dari pemerintah apabila RUU BHP ini sudah disahkan. Hanya saja polanya berubah, dari
semula anggaran yang dialokasikan menjadi bentuk dana hibah.

"Uangnya tetap ada, hanya distribusinya yang berbeda. Besaran jumlahnya juga tergantung dari kinerja masing-masing perguruan tinggi, sehingga tidak seperti sekarang, mau baik atau buruk tetap dapat," terangnya.

Johannes mengungkapkan setiap perguruan tinggi itu diberi waktu minimal enam tahun untuk menyesuaikan diri dengan pola pemberian dana hibah. Dana hibah baru diberikan pada tahun ke-tujuh, hanya kepada perguruan tinggi yang baik kinerjanya.

Batasan dalam RUU itu, paparnya, juga sudah cukup jelas. Apabila ada yang terbukti melanggar prinsip nirlaba atau mencari keuntungan dari
sisa hasil kegiatan yang tidak ditanamkan kembali ke dalam BHP dapat dipidana.

"Berupa penjara paling lama lima tahun dan dapat ditambah dengan denda paling banyak Rp 500 juta. Kalau lebih harus kembali jadi investasi. Jadi di bagian mananya yang memungkinkan komersialisasi kalau kita sepakat itu sebagai mencari untung atau laba," tutur Johannes.

Dia juga membantah kalau RUU tersebut dianggap sebagai penyerahan sebagian tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan
kepada masyarakat. Terlebih, Mahkamah Konstitusi mengharuskan alokasi anggaran sebesar 20 persen untuk pendidikan dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) mulai tahun depan.

"Jadi, ada sekitar Rp 224 triliun tahun depan untuk pendidikan, masa bisa disebut pemerintah lepas tanggung jawab," tukasnya.

Tetap Khawatir

Terkait pendanaan BHP, Johannes menuturkan alokasi terbesar buat perguruan tinggi negeri masih dari pemerintah. "BHP juga bisa dapat dari kegiatan penelitian, sewa laboratorium serta dari sumbangan masyarakat seperti wakaf dan hibah," tandas Johannes.

Sebelumnya, pengamat pendidikan dari Perguruan Taman Siswa, Darmaningtyas menyatakan tetap khawatir dengan RUU BHP, karena bisa membuat akses orang miskin untuk pendidikan makin kecil. Menurut dia, memang di RUU tersebut diatur soal tanggung jawab pemerintah, tetapi implementasinya sulit, kerena mekanisme kontrolnya tidak jelas.

Dalam RUU tersebut juga terdapat sanksi pidana bila tidak dilaksanakan. Tetapi, sanksi dimaksud hanya untuk perseorangan, sementara sanksi untuk pemerintah secara institusi tidak diatur, sehingga apabila pemerintah tidak memenuhi kewajibannya, tidak bisa diberi sanksi. [153/M-15]

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/09/05/index.html

Tidak ada komentar: