etiap tanggal 8 September masyarakat dunia memperingati Hari Aksara Internasional (HAI). Peringatan ini dimaksudkan agar masyarakat dunia melek aksara dan akhirnya melek pengetahuan. Melek aksara kemudian menjadi salah satu hak asasi manusia yang disepakati oleh bangsa-bangsa. Buta aksara memberikan kontribusi terhadap tinggi-rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index - HDI). Angka buta aksara menyumbang 2/3 dalam penentuan HDI, 1/3 dalam pendidikan, dan lainnya ekonomi serta kesehatan.
Data dari HDI menunjukkan, angka buta aksara di Indonesia sebesar 12,1 persen. Artinya, 1 dari 8 orang masih buta aksara. Dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Filipina rata-rata 7 persen, dan Brunei Darussalam 6 persen, Indonesia masih di atas 10 persen. Sementara jumlah penduduk buta aksara saat ini, menurut Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), tinggal 10,1 juta orang. Angka ini menurun drastis 1,7 juta orang dibanding 2007 yang tercacat 11,8 juta. Pada akhir 2009, jumlah penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas ditargetkan tinggal 7,7 juta orang.
Kalau data yang dikemukakan oleh Depdiknas itu benar, maka kita layak apresiasi dengan positif. Semoga target 2009 tinggal 7,7 juta orang bisa dicapai dengan baik. Walaupun demikian, data tersebut tidak memberikan jaminan kepastian. Itu adalah hasil rekayasa kebijakan pemerintah. Terbukti, Depdiknas sendiri merasakan banyak kendala yang dihadapi terkait pemberantasan buta aksara, khususnya mereka yang masih dijerat kemiskinan, keterbelakangan, dan jauh dari peradaban, selain minimnya spirit belajar.
Itu bukan berarti Depdiknas kemudian berpangku tangan tanpa rekayasa baru yang lebih inovatif dan bisa langsung menyentuh jantung persoalan masyarakat. Karena kalau galau dan lunglai dengan persoalan aksara, masyarakat Indonesia bisa tertinggal dari kereta peradaban dunia yang melaju begitu cepat, bersamaan dengan kecepatan teknologi dan komunikasi.
Melek Peradaban
Laju peradaban dunia memang dimulai dari aksara. Aksara memainkan peranan penting dalam penciptaan tata peradaban yang maju dan modern. Untuk mengerti aksara saja para pencipta peradaban selalu bekerja keras menyusun huruf demi huruf. Lihatlah bangsa Aida yang bekerja keras menata batu bata peradaban Barat lewat salinan ensiklopedi pengetahuan selama delapan abad lamanya. Bangsa Aida, menurut Taufik Rahzen, menjadi ujung tombak lahirnya peradaban modern yang menelurkan ragam keilmuan yang berkembang pesat hingga sekarang. Bagsa Aida dengan tekun menyalin pengetahuan yang berasal dari Yunani, Islam, Romawi, India, Tiongkok, dan berbagai khazanah peradaban agung lainnya. Dengan ketekunan beraksara, ciptaan mereka menjadi agung sampai sekarang.
Lihat pula yang dilakukan Harun al-Rasid dengan proyek perpustakaan baitul hikmah-nya. Sang Khalifah mengeluarkan dana yang sangat besar untuk mendanai berbagai program keilmuan dan keberaksaraan dalam rangka menjulangkan peradaban Islam hingga tampil dengan gemilang. Para penyalin pengetahuan yang bergelut di perpustakaan baitul hikmah tersebut menjalani prosesi agung mentranskip ragam pengetahuan yang terhampar di dunia. Salinan pengetahuan dengan ketekunan beraksara kemudian menjadikan Islam di Timur Tengah sebagai pemimpin peradaban dunia selama beberapa abad.
Demikian juga yang terkisah dalam pembuatan kamus Oxford English Dictionary. Kamus yang penyusunannya diketuai oleh Prof Murroy tersebut menghabiskan waktu penyusunan selama 70 tahun. Kamus tersebut disusun dengan ketelitian dunia aksara yang sangat mendalam. Setiap kata yang lahir ditashih dengan penuh khidmat. Tak salah kalau kamus tersebut kemudian menjadi kamus standar literasi dalam dunia akademik Barat. Kamus ini selalu dipajang dalam meja para peneliti dan pengkaji pengetahuan.
Ketelitian dalam beraksara yang dilakukan Prof Murroy adalah pelajaran berharga bahwa dunia aksara sarat dengan ketekunan dan kedisiplinan. Dan dari situlah peradaban lahir dengan tegak dan kukuh.
Terombang-ambing
Bagaimana dengan Indonesia? Beraksara belum mendapat tempat yang layak di bumi Indonesia. A Teeuw (1994) melihat bahwa Indonesia masih terombang-ambing antara tradisi kelisanan dan keberaksaraan. Tetapi, kelisanan masih mendominasi gerak pengetahuan di Indonesia. Terbukti karya tulis belum mendapatkan tempat yang standar dan seideal dalam laju keilmuan yang berkembang di Indonesia. Tak salah kalau buta aksara masih berderet di Indonesia, karena tak mendapatkan perhatian yang layak, padahal melek aksara sangat menentukan kualitas bangsa. Tidak salah kalau HDI Indonesia selalu berada di peringkat rendah, tertinggal dari negara tetangga di Asia Tenggara.
Dalam konteks ini, peradaban di Indonesia sejatinya sedang menggantung, sedang di persimpangan jalan. Kualitas beraksara masih dalam krisis yang kalut. Iktikad baik pemerintah untuk meminimalisasi angka buta aksara tahun 2009 tinggal 7,7 juta orang harus didukung bersama seluruh elemen bangsa. Program pemberantasan buta aksara harus segera diselesaikan. Bekerja sama dengan perguruan tinggi dan swasta secara maksimal bisa menjadi langkah strategis dalam menyegerakan bebas buta aksara. Sementara itu, keputusan anggaran pendidikan 20 persen seharusnya juga menjadi pelecut kebijakan negara dalam menanggulangi buta aksara bersama berbagai lembaga pendidikan negeri dan swasta. Ingat, hak beraksara sama dengan hak pelayanan kesehatan dalam standar hak asasi manusia.
Peradaban Indonesia harus ditegakkan secara bersama. Bukan saja oleh kaum terpelajar dan elite kota, tetapi juga oleh masyarakat desa. Semua bertugas sama dalam menegakkan kaki ke-Indonesia-an. Indonesia yang melek aksara, yang terus berjuang menjaga kedaulatan aksara dalam gerak peradaban yang telah diperjuangkan sejak Indonesia berdiri.
Penulis adalah pengamat sosial, Peneliti Cepdes Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar