Seto Mulyadi
Memperingati Hari Anak Nasional setiap tanggal 23 Juli, kita diajak untuk merenungkan nasib mereka, terutama yang kurang beruntung. Ribuan bahkan jutaan anak hidup di bawah garis normal, memaksa mereka berkelana di jalan-jalan, bekerja di jermal-jermal, dan lainnya.
Memang, Rabu (23/7) pagi ini, sekitar 15.000 anak-anak akan merayakan Hari Anak Nasional (HAN) bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu di Taman Mini Indonesia Indah. Ribuan anak lainnya juga akan merayakan HAN bersama gubernur, bupati, wali kota, atau duta besar di tempat masing-masing.
Anak kurang beruntung
Bila anak-anak ini bisa ceria, bagaimana dengan jutaan lainnya yang ada di pinggiran, yang hingga kini belum bisa tersenyum seperti teman-teman lainnya?
Berapa banyak anak, dalam usia masih amat belia, sudah harus menanggung beban hidup amat berat, baik fisik maupun mental, yang menghambat proses tumbuh kembang anak secara optimal.
Belum lagi, anak-anak yang kurang mendapat perhatian dan pengawasan dari orangtuanya, bahkan hidup tanpa keluarga, yang kemudian mendapat tindak kekerasan fisik, psikis, maupun seksual.
Anak-anak kurang beruntung ini banyak kita jumpai di jalanan, tidur di pasar, di emper toko, atau stasiun kereta api, hidup menggelandang, mengais rezeki melalui aktivitas kehidupan di sekitarnya.
Kerasnya hidup yang harus dihadapi sering menyeret mereka untuk melakukan berbagi tindak kriminal sehingga pada usia yang amat belia sudah harus berurusan dengan aparat penegak hukum. Tak jarang mereka harus meringkuk di penjara tanpa perlindungan semestinya, kemudian mendapat perlakuan sewenang-wenang bagai narapidana dewasa lainnya.
Belum lagi ratusan ribu anak desa yang terperangkap sindikat perdagangan anak. Mereka, yang seharusnya masih bersekolah dengan gembira, terpaksa harus pergi merantau jauh ke kota besar, lalu dipaksa menjual diri di tempat-tempat hiburan seperti kelab-kelab malam, diskotek atau panti pijat.
Menurut catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak, jumlah anak yang terperangkap perdagangan anak pada tahun 2006 "hanya" 42.771 orang, meningkat menjadi 745.817 orang tahun 2007, dan akhir Juni 2008 mencapai lebih dari 400.000 orang. Sungguh, situasi yang amat menyedihkan.
Tidak hanya itu. Dalam dunia pendidikan, yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak-anak, juga sering ditemui kekerasan dalam berbagai bentuk. Misalnya, sarana-prasarana yang tidak memadai seperti gedung sekolah yang bocor atau ambruk, kurikulum terlalu padat, PR bertumpuk, bullying yang mencekam, guru yang galak, evaluasi belajar yang cenderung lebih untuk "kepentingan terbaik" bagi pemimpin daripada untuk siswa, semakin membuat anak-anak stres dan berkembang menjadi penyandang school-phobia. Belum lagi adanya lebih dari 20 juta anak yang terpaksa putus sekolah karena berbagai faktor.
Di bidang kesehatan, selain gizi buruk, berbagai penyakit pun kini bermunculan kembali menerjang ratusan ribu anak mungil, seperti TBC, malaria, muntaber, flu burung, atau HIV/AIDS.
Belum lagi anak-anak yang terpapar asap tembakau karena mengisap sekitar 4.000 racun kimia dengan tiga komponen utama yang berbahaya, yaitu nikotin, tar, dan karbon monoksida, sementara negara membiarkan kekerasan ini dengan "memberi kebebasan" industri rokok menghancurkan kesehatan anak-anak. Kehidupan remaja dikepung iklan yang kian gencar, membujuk para remaja untuk menjadi perokok aktif. Hingga kini, Indonesia masih tercatat sebagai satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control.
Inilah berbagai tindak kekerasan yang dialami anak-anak dan dilakukan secara sistematis oleh berbagai pihak, termasuk negara, masyarakat, dan orangtua.
Cenderung meningkat
Kekerasan terhadap anak cenderung semakin meningkat karena paradigma keliru mengenai anak, yang masih menguasai sebagian besar di antara kita. Seolah anak adalah hak milik orangtua yang boleh diperlakukan apa saja sesuai ambisinya. Atau anak adalah komunitas kelas bawah yang cenderung tidak menjadi skala prioritas sehingga penanganan atau kebijakan yang diambil tidak mengedepankan kepentingan terbaik anak.
Kekerasan senantiasa akan berdampak negatif bagi perkembangan jiwa anak pada masa datang. Karena itu, langkah penghentian harus dilakukan sesegera mungkin bila kita tidak ingin generasi unggul kita semakin punah.
Hari Anak Nasional akan usai, tetapi selesai pulakah tugas-tugas kita bagi anak-anak setelah ingar-bingar perayaan HAN yang sarat seremoni? Tidak!
Masih banyak tugas menanti karena pada dasarnya HAN adalah sepanjang tahun. Alangkah indahnya bila pada HAN 23 Juli 2008 ini pemerintah berkenan untuk mencanangkan "Gerakan Nasional Stop Kekerasan terhadap Anak". Karena melalui gerakan nasional ini, masyarakat luas dan para pemangku kepentingan perlindungan anak bisa semakin dilibatkan dan secara kompak merapatkan barisan untuk bekerja keras bahu-membahu melakukan hal-hal terbaik bagi anak.
Dengan demikian, kelak kita dapat melihat wajah-wajah suram anak-anak itu berubah menjadi ceria dihiasi senyuman yang memberi harapan akan masa depan. Sehingga dengan lantang, kita kelak berani berseru, "Anak-anak Indonesia, tersenyumlah! Janganlah bersedih karena bangsa ini amat mencintai kalian."
Dirgahayu Anak Indonesia!
Seto Mulyadi Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak
Hadi Supeno
Spiral kekerasan di masyarakat terus bergulir meski kata damai, aman, sakinah, dan lainnya juga terus membanjir dari pendidik, tokoh masyarakat, hingga pejabat pemerintah.
Dalam praktik kekerasan itu, korban paling banyak adalah anak-anak. Secara fisik dan psikis, mereka tak berdaya saat menghadapi kekerasan yang dilakukan orang dewasa.
Kekerasan diartikan sebagai tindakan yang menyebabkan seseorang menderita atau dalam keadaan tertekan tanpa bisa melakukan perlawanan (Darwin, 2000). Pada masa lalu, kekerasan hanya diartikan tindakan fisik. Namun, kini lazim digunakan ada kekerasan fisik dan ada kekerasan psikis. Yang terakhir lebih sulit mengukurnya karena tidak tampak, tetapi lebih fatal akibatnya karena tidak ada kepastian bagaimana cara penyembuhannya.
Kekerasan meningkat
Data di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, dari analisis 19 surat kabar nasional yang terbit di Jakarta selama tahun 2007, terdapat 455 kasus kekerasan terhadap anak. Dari Kejaksaan Agung diperoleh data, selama tahun 2006 ada 600 kasus kekerasan terhadap anak (KTA) yang telah diputus kejaksaan. Sebanyak 41 persen di antaranya terkait pencabulan dan pelecehan seksual, sedangkan 41 persen lainnya terkait pemerkosaan. Sisanya, 7 persen, terkait tindak perdagangan anak, 3 persen kasus pembunuhan, 7 persen tindak penganiayaan, sisanya tidak diketahui.
Sementara itu, Komnas Perlindungan Anak mencatat, selama tahun 2007 praktik KTA mengalami peningkatan sampai 300 persen, dari tahun sebelumnya. Dari 4.398.625 kasus menjadi sebanyak 13.447.921 kasus pada tahun 2008 (Media Indonesia, 12/7/2008).
Berbagai jenis dan bentuk kekerasan dengan beragam variannya diterima anak-anak Indonesia, seperti pembunuhan, pemerkosaan, pencabulan, penganiayaan, trafficking, aborsi, paedofilia, dan berbagai eksploitasi anak di bidang pekerjaan penelantaran, penculikan, pelarian anak, penyanderaan, dan sebagainya.
Data di KPAI menunjukkan, dari seluruh tindakan KTA, 11,3 persen dilakukan oleh guru atau nomor dua setelah kekerasan yang dilakukan oleh orang di sekitar anak, dan jumlahnya mencapai 18 persen. Fakta ini didukung analisis data pemberitaan kekerasan terhadap anak oleh semua surat kabar. Sepanjang paruh pertama 2008, kekerasan guru terhadap anak mengalami peningkatan tajam, 39,6 persen, dari 95 kasus KTA, atau paling tinggi dibandingkan pelaku-pelaku kekerasan pada anak lainnya.
Jenis kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak belum termasuk perlakuan menekan dan mengancam anak yang dilakukan guru menjelang pelaksanaan ujian nasional atau ujian akhir sekolah berstandar nasional. Jika kekerasan psikis itu dimasukkan, persentase akan kian tinggi, berdasarkan pengaduan anak dan orangtua/wali murid kepada KPAI.
Kekerasan di sekolah
Pertanyaannya, mengapa guru menjadi pelaku kekerasan terhadap anak? Bukankah guru semestinya menjadi pihak yang paling melindungi anak setelah orangtua? Boleh jadi karena guru mengalami tekanan kehidupan yang kian berat, baik yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial, kehidupan profesi, maupun tekanan psikis lain yang mendorong guru melakukan tindak kekerasan terhadap murid.
Selain itu, anak-anak juga mengalami kekerasan yang dilakukan teman-teman sebaya melalui kegiatan perploncoan pada awal tahun ajaran. Berita perilaku kekerasan oleh teman sebaya yang dilakukan Geng Nero di Pati (Kompas, 19/6/2008) juga menjadi alasan mengapa orangtua mengkhawatirkan keamanan anak-anaknya di sekolah.
Tanggung jawab orangtua
Apa pun alasannya, sekolah bukan lagi tempat yang aman bagi anak-anak. Maka, selayaknya siapa pun menaruh perhatian lebih besar terhadap keamanan anak di sekolah.
Pertama, kita harus menegakkan prinsip perlindungan anak sebagaimana diamanatkan Konvensi Hak Anak PBB dan UU No 23/2002 tentang prinsip perlindungan anak, yaitu the best interest for children (kepentingan terbaik bagi anak). Implementasinya, semua perencanaan manajemen sekolah dan para pihak harus mempertimbangkan aspek-aspek perlindungan anak, dari bagaimana anak beradaptasi, anak berkomunikasi dengan sekolah, perlakuan senior terhadap yuniornya, perlakuan guru terhadap siswa, aneka peraturan yang menekan siswa, hingga kepastian ke mana dan dengan siapa seorang anak pergi pulang sekolah.
Kedua, orangtua tak lagi boleh menyerahkan anak-anaknya begitu saja kepada sekolah karena merasa sudah membayar berbagai pungutan dan menganggap segalanya beres. Sebagai pelindung utama, orangtua tetap merupakan pihak paling bertanggung jawab atas keselamatan anak hingga dewasa. Karena itu, pengawasan seperti apa anak- anak diperlakukan oleh sekolah harus tetap diketahui orangtuanya.
Ketiga, birokrasi pendidikan harus lebih intens memantau budaya sekolah dan karakter para guru sehingga yakin anak-anak dijamin aman secara pisik dan psikis selama di lingkungan sekolah. Perekrutan guru di masa kini bukan hanya berdasarkan kualifikasi, tetapi lebih menyangkut aspek stabilitas mental, kapasitas intelektual, dan profesionalitas.
Sekolah jangan sampai menjadi penampungan orang-orang frustrasi, atau bermasalah, atau sekadar pekerjaan antara sebelum mendapat pekerjaan lain karena pada saatnya kondisi mental yang ada akan dilampiaskan dengan berbagai bentuk kekerasan terhadap siswa.
Lebih dari itu, fakta-fakta kekerasan terhadap anak di sekolah bukan saja membuktikan bahwa sekolah bukan panacea bagi penyembuhan problem sosial, tetapi justru sebaliknya menjadi sumber masalah baru yang lebih berat dan kompleks.
Kekerasan terhadap anak di sekolah harus diwaspadai karena Sigmund Freud mengatakan, anak akan memperlakukan orang lain di masa dewasa seperti ketika ia diperlakukan orang lain pada masa anak-anak (Corey, 2001). Jadi, jika kini anak-anak diperlakukan dengan penuh kekerasan, kelak mereka akan menjadi pelaku kekerasan yang mungkin jauh lebih hebat dibandingkan perlakuan kekerasan yang diterima saat anak-anak.
Sebelum spiral kekerasan itu melenting beramplitudo mewujud dalam bentuk yang dahsyat dan mengerikan, kita harus lindungi anak-anak Indonesia dari kekerasan di sekolah. Jadikan sekolah sebagai tempat pendidikan ramah anak. Selamat Hari Anak Nasional, 23 Juli 2008.
Hadi Supeno Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
Amanda Putri
Setiap tanggal 23 Juli, bangsa Indonesia memperingati Hari Anak Nasional. Terlepas dari perayaan yang biasanya diisi aneka lomba, sebenarnya ada makna lebih dalam yang layak diangkat.
Pada hari itu, kita bukan saja merayakan anak bangsa yang berusia 12 tahun ke bawah, tetapi juga memestakan tiap "anak" yang ada dalam diri kita semua.
Melalui drama klasiknya, Peter Pan (1904), penulis asal Skotlandia, James M Barrie (1860- 1937), begitu mengagungkan jiwa anak-anak. Dalam drama yang juga dikenal dengan nama The Boy Who Wouldn't Grow Up (Anak Laki-laki yang Tidak Pernah Dewasa) itu, Barrie bercerita mengenai petualangan seorang tokoh fiktif, Peter Pan, bersama Wendy dan adik-adiknya yang manusia biasa.
Diceritakan, suatu hari ibu Wendy ingin mengadopsi Peter Pan. Namun, permintaan si ibu ditolak. Alasannya, Peter Pan takut menjadi manusia dewasa. Dia takut terperangkap dan terkungkung dalam tanggung jawab manusia dewasa. Peter Pan ingin tetap berada dalam dunia petualangan anak-anak dan tetap bisa terbang dengan pikiran murni dan kebebasan berkehendak baik. Barrie menambahkan, siklus petualangan Peter Pan akan terus berlanjut selama anak-anak di dunia tetap suci, penuh sukacita, dan penuh rasa ingin tahu.
Secara rutin, Peter Pan masih datang dan bermain dengan beberapa anak. Namun, jumlah anak yang dihampiri Peter Pan semakin lama semakin berkurang.
Kesucian yang terkikis
Pada zaman sekarang, tidak banyak anak-anak yang suci. Moral anak-anak sudah semakin terkikis, lebih-lebih karena modernisasi telah menggencar bangsa. Eksposur pada hal-hal yang kurang sesuai untuk anak-anak juga menebal.
Di dunia media, embel-embel "BO" atau "bimbingan orangtua" tampaknya tidak lagi dihiraukan. Anak-anak dikondisikan untuk menonton sinetron atau tayangan yang penuh masalah dan percakapan orang dewasa tanpa bimbingan orangtua.
Di persimpangan jalan, imaji yang mereka lihat pada media cetak orang dewasa juga tidak tersaring. Hal-hal yang tidak sepantasnya mengotori pikiran anak-anak terpaksa mereka terima pada usia yang jauh lebih dini.
Sukacita juga menjadi sebuah elemen yang kian pudar di kalangan anak-anak. Tidak sedikit yang harus melihat orangtua mereka menggunakan kekerasan, antarmereka sendiri maupun terhadap anggota keluarga lain.
Anak-anak yang datang dari golongan kurang mampu harus merelakan masa kecilnya dan menjadi pribadi yang dewasa. Mereka dipaksa bertanggung jawab untuk urusan rumah tangga. Mereka harus bekerja mencari penghidupan tambahan bagi orangtuanya.
Banyak juga anak bangsa yang dieksploitasi dan diperdagangkan. Terkadang, guratan senyum masih terlihat pada beberapa wajah anak-anak itu. Namun, apakah hati mereka juga tersenyum dengan semua penderitaan ini?
Secara hukum, hak anak memang sudah diakui dan seharusnya setiap anak bangsa terlindung dari kekerasan dan diskriminasi. Namun, dalam pelaksanaan, anak-anak itu lebih sering tidak mendapatkan hak-hak mereka.
Tergerusnya rasa ingin tahu
Gedung sekolah dan kegiatan belajar sering dianggap sebagai momok bagi anak-anak bangsa. Ini merupakan sebuah refleksi tentang rasa ingin tahu anak- anak yang kian memudar dan tergerus.
Budaya instan yang memarak telah memengaruhi cara pikir dan persepsi anak-anak. Mereka mengabaikan proses pemikiran atau train of thoughts dari sebuah persoalan dan ingin cepat-cepat mengetahui titik akhirnya. Rasa ingin tahu anak tidak dipuaskan, bahkan dipaksa untuk beradaptasi pada budaya dunia modern yang kilat.
Otak yang dimanja dengan keinstanan akan berdampak negatif pada gerak kemajuan pemikiran anak-anak itu. Akhirnya dampak negatif itu memengaruhi peradaban manusia.
Menjadi anak-anak
Masyarakat Indonesia, baik yang usianya masih dikategorikan sebagai anak maupun yang sudah menjadi manusia dewasa dapat menerapkan falsafah Barrie dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan tetap berakhlak suci, hidup seorang individu akan terasa lebih indah. Kesucian membuat seseorang menjadi lebih positif dan dengan begitu dia akan membawa efek yang positif pula ke lingkungan sekitarnya. Manusia akan hidup lebih damai dengan rasa saling menghargai dan tolong-menolong.
Kesucian ini akan berbuah dalam sukacita. Ia hadir karena adanya kehidupan yang rukun dan baik, dan karena hati bersih dan murni. Sukacita juga dapat menjadi inspirasi untuk menghadapi berbagai problema hidup.
Manusia menjadi semakin lengkap dengan rasa ingin tahu- nya. Kehausan akan ilmu membawa manusia ke tingkat intelektual yang semakin tinggi. Kehausan itu pulalah yang mengobarkan sikap kritis saat membaca sebuah situasi.
Dengan kembali ke "anak", atau the child yang ada di hati setiap manusia, kita akan terus berkembang dan hidup dalam kebahagiaan.
Pada Hari Anak ini, warga negara Indonesia tidak hanya merayakan eksistensi pria dan wanita cilik. Kita semua berefleksi pada jiwa anak-anak yang ada pada diri kita, jiwa suci yang penuh sukacita dan rasa ingin tahu.
Sebagai warga negara Indonesia, kita mengemban sebuah kewajiban untuk memberikan cinta kasih dan perhatian bagi perkembangan anak bangsa. Mereka adalah masa depan bangsa, yang hidup dan kemajuannya tak bisa kita acuhkan begitu saja. Selamat Hari Anak untuk kita semua.
Amanda Putri Mahasiswi Jurusan Elementary Education pada School of Education, Boston University, AS
dikutip dari halaman opini kompas 23 juli 2008

Tidak ada komentar:
Posting Komentar