29 Juli 2008

Buku Pelajaran Disewakan - Baru Terbukti 1 SD dan 1 SMP yang Melanggar Aturan

Jakarta, Kompas - Selain menjual buku pelajaran di luar buku paket pelajaran bantuan dari pemerintah, pihak sekolah telah menyewakan buku paket itu kepada setiap murid. Besaran biaya sewa adalah Rp 1.000 per buku per tahun di luar ongkos pemeliharaan buku yang ditetapkan Rp 3.000 untuk semua buku paket ini.

Sejumlah orangtua, Senin (28/7), mengatakan, penyewaan buku pelajaran dilakukan pihak perpustakaan sekolah, menyusul adanya larangan penjualan buku pelajaran di luar buku paket bantuan pemerintah. Orangtua terpaksa menyewa buku paket pelajaran itu karena tidak ada pilihan lain lagi untuk kelangsungan belajar anaknya.

"Katanya buku paket itu gratis. Kok, setiap siswa harus bayar biaya sewa buku? Kalau begitu, buku gratis itu omong kosong dong," kata salah seorang orangtua murid kelas 8 atau kelas II SMP Negeri 216, Salemba, Jakarta Pusat.

Orangtua lainnya di sekolah ini juga mengatakan, mereka memiliki bukti berupa kuitansi pembayaran buku tersebut.

Para orangtua mengatakan, anak kelas I dan II di SMP ini membutuhkan 12 buku mata pelajaran. Biaya yang dikeluarkan Rp 15.000 untuk sewa 12 mata pelajaran dan biaya pemeliharaan buku. Jika satu anak dibebankan Rp 15.000, berarti dengan 500 murid saja, pihak sekolah sudah mendapat Rp 7.500.000.

Kepala Sekolah SMP Negeri 216 Salemba, Jakarta Pusat, Tawar Daulay membenarkan, pihak perpustakaan telah membebani setiap murid yang meminjam buku pelajaran.

"Ada semacam salah pengertian dari petugas perpustakaan dengan orangtua murid. Biaya ini bukan penyewaan buku, tetapi penggantian sampul buku," kata Tawar. Namun, kata Tawar, pihaknya telah menyuruh petugas perpustakaan menghentikan pungutan itu dan segera mengembalikan uang dari setiap murid.

Ketika hal itu ditanyakan kepada orangtua, hingga Senin malam pihak perpustakaan belum mengembalikan uang mereka.

Dua sekolah

Di Balaikota DKI, Wakil Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta M Syaefullah mengatakan, pada tahap pertama pemeriksaan tim pembinaan aparatur dan verifikasi menemukan dua dari 16 sekolah terbukti melanggar aturan penyelenggaraan pendidikan SD dan SMP negeri di Jakarta.

Pertama, petugas perpustakaan di sebuah SMP negeri menarik biaya sewa buku Rp 1.000 per buku dan pemeliharaan buku Rp 3.000 untuk semua buku paket. Pelanggaran kedua, penjualan seragam tidak dalam satu paket oleh koperasi sebuah SD negeri.

Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, Achmad Husin Alaydrus, menyayangkan dan mempertanyakan hasil kerja tim pembinaan aparatur dan verifikasi.

"Masak hanya dua yang terbukti melanggar. Ada SD negeri yang jelas-jelas menjual buku pelajaran di luar buku paket, tetapi tidak dinyatakan bersalah? Ini pasti Dinas Dikdas ada main mata," ujar Alaydrus. (PIN/ECA)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/29/01514552/buku.pelajaran.disewakan

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Saya sebagai orang tua wali murid yang menyekolahkan kedua putranya di SMP Negeri 216 (kelas VII & IX) merasa prihatin dengan berita mengenai Buku Pelajaran Disewakan yang diberitakan oleh berbagai media massa baik cetak maupun elektonik.

Sebagai Orang Tua/Wali Murid sudah seharusnya bersyukur dengan memasukan putra/putrinya ke SMP Negeri Unggulan tanpa biaya sepeserpun. Dua tahun lalu buku paket pelajaran bantuan dari pemerintah yang diberi pinjam kepada siswa seluruhnya baru sesuai dengan kurikulum baru, namun setelah penggunaan 1 dan 2 tahun oleh siswa tentu buku akan menjadi rusak dan lusuh, bahkan sudah tidak ada cover depan. Oleh karena itu diakhir tahun ajaran pada saat pengembalian buku paket, pihak sekolah membebankan biaya pemeliharaan buku sebesar Rp 3000,- selama satu tahun untuk semua buku paket. Uang tersebut digunakan untuk menyampul/mengganti cover buku-buku paket tersebut.

Sementara pungutan Rp 1000,- adalah untuk biaya perawatan buku dari perpustakaan sekolah diluar dari buku paket. Dimana buku-buku tersebut adalah buku pendamping , untuk menunjang pelajaran murid-murid di sekolah, seperti buku ensiklopedia, dll. Menurut saya adalah wajar hal ini dilakukan oleh pihak sekolah bila melihat tujuan baiknya agar buku-buku tersebut tetap terlihat baik dan rapih agar murid-murid menjadi nyaman dalam belajarnya. Jikalau memang ada penyelewengan dari pungutan uang perawatan buku tersebut dan memang terbukti, maka silahkan orang tua/wali murid melakukan protes kepada pihak sekolah.
Dan untuk diketahui, tidak hanya di SMP Negeri 216 saja yang melakukan hal ini, tapi ada beberapa sekolah telah melakukan hal yang sama.

Unknown mengatakan...

Saya sebagai orang tua wali murid yang menyekolahkan kedua putranya di SMP Negeri 216 (kelas VII & IX) merasa prihatin dengan berita mengenai Buku Pelajaran Disewakan yang diberitakan oleh berbagai media massa baik cetak maupun elektonik.

Sebagai Orang Tua/Wali Murid sudah seharusnya bersyukur dengan memasukan putra/putrinya ke SMP Negeri Unggulan tanpa biaya sepeserpun. Dua tahun lalu buku paket pelajaran bantuan dari pemerintah yang diberi pinjam kepada siswa seluruhnya baru sesuai dengan kurikulum baru, namun setelah penggunaan 1 dan 2 tahun oleh siswa tentu buku akan menjadi rusak dan lusuh, bahkan sudah tidak ada cover depan. Oleh karena itu diakhir tahun ajaran pada saat pengembalian buku paket, pihak sekolah membebankan biaya pemeliharaan buku sebesar Rp 3000,- selama satu tahun untuk semua buku paket. Uang tersebut digunakan untuk menyampul/mengganti cover buku-buku paket tersebut.

Sementara pungutan Rp 1000,- adalah untuk biaya perawatan buku dari perpustakaan sekolah diluar dari buku paket. Dimana buku-buku tersebut adalah buku pendamping , untuk menunjang pelajaran murid-murid di sekolah, seperti buku ensiklopedia, dll. Menurut saya adalah wajar hal ini dilakukan oleh pihak sekolah bila melihat tujuan baiknya agar buku-buku tersebut tetap terlihat baik dan rapih agar murid-murid menjadi nyaman dalam belajarnya. Jikalau memang ada penyelewengan dari pungutan uang perawatan buku tersebut dan memang terbukti, maka silahkan orang tua/wali murid melakukan protes kepada pihak sekolah.
Dan untuk diketahui, tidak hanya di SMP Negeri 216 saja yang melakukan hal ini, tapi ada beberapa sekolah telah melakukan hal yang sama.