27 Mei 2008

Terpaksa Tak Sekolah dan Jadi Pemecah Batu

Kompas/Ichwan Susanto / Kompas Images
Karena tak memiliki biaya, anak-anak ini tak bersekolah dan memilih bekerja. Sehari mereka dapat menghasilkan dua karung pecahan batu seharga Rp 20.000. Batu-batu ini dijual sebagai material bahan bangunan atau pembuatan jalan
.
Kompas, Senin, 26 Mei 2008

Ichwan Susanto

Waktu telah menunjukkan pukul 12.30 WIT ketika terik matahari menyengat atmosfer di Kaimana, Papua Barat. Para pemecah batu di pinggir-pinggir Jalan Baru Kaimana tengah beristirahat melepas lelah.

Namun, Astuti Waynesahalauw (14) belum juga beranjak dari tempat duduknya. Remaja ini masih sibuk mengayunkan palu di batu-batu kapur seukuran telapak tangan.

Tak jauh dari Astuti, kelima adik kandungnya telah beristirahat di bawah para-para perteduhan sambil menyantap menu makan siang. Sepiring nasi ditemani mi instan godok yang telah mbededeg (mengembang) menjadi menu makan siang seperti hari-hari kemarin. Si bungsu, Agus (5), tiba-tiba menangis tak mau makan. Ia menginginkan lauk ikan goreng seperti yang disantap Asnaniah (58), juga pemecah batu kapur.

Lantaran kasihan, Asnaniah, janda sembilan anak, membagi lauknya. Si bungsu pun senang dan kembali menikmati makan siangnya. Astuti, si sulung, hanya mampu tersenyum dan berterima kasih kepada sang dermawan.

"Beta nanti saja makannya. Biar adik-adik dulu kenyang, baru beta sisanya," ujar remaja asal Maluku ini saat berbincang dengan Kompas, Rabu (9/4). Sejak dua bulan ini, ia dibantu kelima adiknya bekerja memecah batu demi membiayai hidup sehari-hari.

Dalam sehari, tangan-tangan mungil mereka hanya mampu menghasilkan dua karung semen batu kapur. Ini pun dikerjakan pagi hingga petang. Biasanya pagi-pagi mereka menggali tanah, mengumpulkan batu kapur besar atau biasa yang disebut batu mangga. Menginjak siang hingga petang, batu-batu itu dipecah kecil-kecil sebagai bahan bangunan atau disebut batu 35.

Tangan mereka yang seharusnya masih mulus terasa kasar, ini bukti betapa keras hidup yang harus dijalani. Sejak dibawa ibunya dari Seram ke Maluku, beberapa bulan lalu, mereka tak lagi melanjutkan sekolah.

Tak cukup di situ, mereka juga kehilangan kasih sayang orangtua. Ayah di Seram, sedangkan ibunya tinggal bersama lelaki lain di Kaimana. Kedua orang yang seharusnya memberi pengayoman ini tidak pernah menengok dan tidak pernah memberi nafkah sepeser pun.

Astuti dan kelima adik-adiknya tinggal sendiri di rumah indekos berukuran sekitar 3 meter x 3 meter. Untuk membayar indekos Rp 250.000 sebulan dan mengisi perut, keenam anak ini terpaksa meninggalkan bangku sekolah dan bekerja memecah batu kapur. Padahal, sesungguhnya mereka tergolong usia kategori wajib belajar.

Risiko fisik, seperti terkena longsoran batu, tertumbuk palu, dan infeksi saluran pernapasan akibat menghirup debu halus batu kapur, menjadi santapan sehari-hari. Pekerjaan ini sepertinya tak layak dilakukan remaja seusia mereka.

Namun, pekerjaan kasar ini harus dijalani karena, menurut mereka, tak ada alternatif pekerjaan lain yang mampu mereka lakukan. Ditambah lagi, pekerjaan ini tak memerlukan kecakapan khusus. Hanya berbekal palu dan kantong semen, mereka sudah mampu menghasilkan batu kapur yang pasti laku terjual di kabupaten pemekaran yang sedang getol melakukan pembangunan fisik.

Digeluti ibu-ibu

"Bekerja kasar tra apa-apa, asal halal. Begini juga alhamdulillah, kami bisa makan," kata Astuti. Keenam kakak-beradik ini bukan satu-satunya yang melakukan pekerjaan seperti itu. Ada puluhan bahkan ratusan orang setiap hari memanfaatkan potensi perbukitan kapur yang menaungi Kaimana Kota di sepanjang 2 km Jalan Baru. Ada yang bekerja di pinggir jalan, tetapi sebagian besar menggali dan memecah batu di ketinggian dengan membuat cekungan-cekungan besar di perbukitan.

Profesi ini umumnya digeluti ibu-ibu atau wanita dari keluarga menengah ke bawah. Saat suami bekerja memburu ikan di laut, mereka berusaha menambah penghasilan keluarga dengan memecah batu.

Asnaniah (58) terpaksa bekerja memecah batu setelah dua tahun lalu menjanda. Kiosnya bangkrut untuk membiayai anak angkatnya yang sakit dan kini telah meninggal. Karena itu, pilihan termudah untuk menghidupi keempat anaknya yang masih sekolah adalah dengan bekerja memecah batu.

Meski telah berusia senja, ibu dengan sembilan anak ini dalam sehari mampu menghasilkan 5-7 tujuh zak batu kapur. Tiap zak dijual kepada pengusaha kontraktor senilai Rp 10.000. Dalam sebulan, ia menghasilkan sekitar Rp 1,5 juta, yang dinilainya masih sangat kecil untuk biaya sekolah empat anaknya.

Seperti dalih para pemecah batu lainnya, pekerjaan ini merupakan alternatif termudah dan menjanjikan bagi mereka yang memiliki keterampilan dan kemampuan ekonomi terbatas. Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kaimana, penduduk Kota Senja Kaimana 48.750 jiwa (2005), yang sebagian besar tinggal di kota.

Dari jumlah ini, 76 persen merupakan penduduk miskin yang tersebar di kota, kampung, dan daerah pedalaman pulau- pulau terpencil di tujuh distrik. Keberadaan Astuti dan kelima adiknya yang putus sekolah menjadi bagian kecil gambaran nyata kondisi pendidikan di Kaimana yang sejak 2003 memisahkan diri dari Kabupaten Fakfak.

Data yang diberikan Kepala Bappeda Kaimana Abdul Latief Suaeri menunjukkan angka partisipasi murni (APM) sekolah dasar 77,01 persen atau 22,99 persen dari total 6.996 siswa SD di Kaimana tidak sekolah. Sementara APM SMP 51,67 persen atau 48,33 persen dari 1.980 anak usia SMP tak mengenyam pendidikan kelas. APM SMA 26,39 persen atau 73,61 persen dari 1.936 anak usia SMA tidak mengenyam bangku sekolah.

Sungguh kondisi yang masih memprihatinkan mengingat komitmen Pemkab Kaimana yang ingin menjadikan daerahnya sebagai kota pendidikan di wilayah selatan Papua. Adalah pekerjaan berat yang menanti seluruh masyarakat Kaimana untuk mengangkat taraf pendidikan generasi mendatang, seperti Astuti dan adik-adiknya serta ribuan anak wajib belajar, di Kota Senja Kaimana yang pada 12 April lalu menginjak usia 5 tahun.

Tidak ada komentar: