19 Februari 2008

Pengadaan Buku Pelajaran Diatur Ketat

* Harga Buku Harus Dicantumkan di Sampul
Jakarta, Kompas - Pengadaan buku teks pelajaran yang telah dibeli hak ciptanya oleh pemerintah atau Departemen Pendidikan Nasional, terutama yang akan digandakan oleh penerbit dan dikomersialkan, diatur oleh pemerintah dengan ketat. Adapun penggandaan buku yang bersifat tidak komersial dibebaskan.

Kebijakan ini ditempuh untuk menekan harga buku agar tidak terlalu tinggi dan bisa dibeli masyarakat luas. Akan tetapi, diharapkan dengan adanya pembelian hak cipta tersebut, pemerintah tidak lepas tangan terkait dengan pengadaan buku pelajaran. Peran pemerintah sangat diandalkan, terutama untuk daerah-daerah terpencil yang belum dapat mengakses buku yang telah dibeli hak ciptanya tersebut.

Hal itu terungkap dalam rapat kerja Menteri Pendidikan Nasional dengan Komisi X DPR, Senin (18/2) di Jakarta. Peraturan tentang buku pelajaran itu terdapat dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 2008 tentang Buku.

Diatur pemerintah
Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan, baik Depdiknas, Departemen Agama, maupun pemerintah daerah dapat mengizinkan orang perseorangan, kelompok dan badan hukum untuk menggandakan, mencetak, memfotokopi, mengalihmediakan, atau memperdagangkan buku yang hak ciptanya telah dibeli pemerintah.

Akan tetapi, harga terhadap penggandaan buku yang bersifat komersial tersebut juga diatur oleh pemerintah. Harga eceran tertinggi buku yang diperdagangkan akan ditetapkan oleh Depdiknas, Departemen Agama, atau pemerintah daerah yang membeli hak cipta buku.

Harga eceran tertinggi ialah setinggi-tingginya sebesar taksiran biaya wajar untuk mencetak dan mendistribusikan buku sampai ke tangan konsumen akhir, ditambah keuntungan sebelum pajak penghasilan setinggi-tingginya 15 persen dari taksiran biaya wajar.

”Secara umum, pada kulit sisi luar seluruh buku pelajaran yang diperdagangkan wajib dicantumkan harga ecerannya,” kata Bambang Sudibyo.

Untuk daerah tertentu yang belum memiliki pengecer, penggandaan buku yang telah dibeli hak ciptanya oleh pemerintah dapat dilakukan oleh pemerintah daerah setempat berdasarkan masukan dari sekolah dan setelah mendapat izin menteri.

Selain itu diatur pula penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS). Aturan tersebut antara lain mewajibkan buku dibeli oleh sekolah langsung dari distributor buku atau pengecer buku sehingga harga buku bisa lebih murah.

Pemilihan distributor buku atau pengecer harus mengacu kepada prinsip paling ekonomis, ketersediaan buku, dan kecepatan pengiriman buku ke sekolah bersangkutan. Untuk daerah yang belum ada pengecer atau distributor, pembelian buku teks dilakukan pemerintah daerah berdasarkan masukan dari sekolah dan mendapat izin dari menteri.

Bambang Sudibyo mengatakan, dengan adanya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 2 Tahun 2008 tentang Buku, tidak ada lagi monopoli perbukuan, mulai dari penulisan hingga penggandaan buku.

”Monopoli oleh Departemen Pendidikan Nasional atau dulu oleh Balai Pustaka sekarang sudah dicabut. Kebijakan pembelian hak cipta ini telah mendapat dukungan penuh presiden,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, pada tahun 2007 pemerintah telah membeli hak cipta untuk 37 judul buku. ”Kami merencanakan membeli hak cipta hingga lebih dari 250 judul buku. Kalaupun pada awalnya ada resistensi dari masyarakat terhadap kebijakan ini, itu sudah diantisipasi. Tetapi, kami yakin, kalau sudah pahami maksud dan tujuannya, pasti akan diterima masyarakat,” ujarnya.

Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDI-P, Cyprianus Aoer, mengatakan, pembelian hak cipta buku sesungguhnya masih perlu dikaji lebih dalam keuntungan dan kerugiannya. Cyprianus sendiri berpendapat, keuntungan dari program tersebut antara lain dapat menggairahkan para penulis buku pelajaran karena ada kesempatan untuk dibeli hak ciptanya.

”Di sisi lain, pembelian hak cipta buku yang dilakukan secara terpusat oleh pemerintah berpotensi terabaikannya konteks lokal,” ujar Cyprianus.

Dia berpendapat, pemerintah seharusnya membiayai secara penuh ketersediaan buku ajar, apalagi untuk level menengah dasar yang merupakan bagian dari program Wajib Belajar Sembilan Tahun. Program BOS buku atau subsidi pembelian buku pelajaran sebaiknya diperluas.
”Di daerah terpencil yang tidak tersedia internet kemungkinan besar tetap akan menggunakan buku dari penerbit. Padahal, buku-buku itu relatif mahal karena adanya biaya distribusi yang sangat besar,” katanya. (INE)


http://www.kompas.co.id/kompascetak/read.php?cnt=.kompascetak.xml.2008.02.19.01580524&channel=2&mn=4&idx=4

Tidak ada komentar: