02 Mei 2008

Mendidik dengan Hati

1968. Bu Kusman, guru kelas dua itu, mengajari saya posisi tangan yang tepat untuk shalat. Juga mengenalkan pengertian tuma'ninah. Sekilas yang dilakukannya sederhana. Hanya mengajarkan cara shalat yang baik. Tetapi, bekasnya memanjang hingga kehidupan saya sekarang.

Pengajaran Bu Kusman membuat saya punya jurus saat menghadapi saat-saat tidak mengenakkan dalam kehidupan sehari-hari. Di tengah kegalauan kerja, misalnya, pengajaran 40 tahun silam itu membantu saya untuk mampu ''berhenti'' sejenak. Sebuah jeda yang membawa hati menuju kedamaian dan membuat saya mampu melihat sekeliling secara lebih jernih. Sebuah jurus yang saya syukuri di tengah keadaan yang kian pepat sekarang. Bu Kusman bukan sekadar mengajar, melainkan mendidik. Dan, mendidik sebenarnya selalu dengan hati.

Tidak sedikit kisah guru yang mendidik para siswanya dengan hati. Bu Atiek di Magetan mampu memotivasi siswa yang tersisihkan di sekolah dan keluarga untuk kembali bangkit mengasah seluruh potensi. Pak Sutiyono di Juanda membuat beberapa terobosan sederhana yang membuat para siswanya antusias mempelajari Bahasa Inggris. Mereka bukan menjadi guru karena kebutuhan mendapat pekerjaan. Mereka termasuk anak-anak terbaik saat sekolah. Mereka mencintai pekerjaan yang memang sangat mulia, yaitu membangun anak-anak menjadi manusia berkarakter. Andrea Hirata, lewat novelnya Laskar Pelangi, menggambarkan secara pas, betapa dahsyat hasil mendidik dengan hati meskipun itu ''cuma'' dilakukan guru sederhana.

Sayangnya, saat ini, iklim pendidikan belum sepenuhnya dapat menyemaikan iklim yang dapat menyuburkan spirit mendidik dengan hati. Kuatnya kecenderungan materialis serta budaya pendidikan yang mekanistis dan satu sisi membuat spirit mendidik dengan hati tertekan. Pendidikan tereduksi sekadar menjadi penyampaian pengetahuan (transfer of knowledge). Dua aspek lainnya, yakni pembiasaan (conditioning) dan keteladanan.(Conditioning) tidak berkembang. Padahal, ketiganya harus menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Tidak menyatunya ketiga aspek tersebut membuat lulusan sekolah menjadi pribadi yang rapuh. Pribadi yang pengetahuannya dapat dipertanggungjawabkan sampai ujian dilakukan untuk kemudian kembali lupa. Pribadi-pribadi yang tidak utuh dan kuat untuk menghadapi tantangan kehidupan yang kian keras ini. Fenomena kemiskinan yang ada sekarang bukan semata fenomena ekonomi. Fenomena ini lebih merupakan fenomena pendidikan, produk ketidakmampuan kita bersama untuk mendidik para tunas bangsa dengan hati. Semakin beratnya tantangan hidup yang ditandai dengan ketidakpastian kecukupan energi dan bayang-bayang krisis pangan sekarang, kian mencuatkan kebutuhan bersama untuk mengubah iklim pendidikan, yaitu kembali mendidik dengan hati. Hanya bangsa dengan pribadi-pribadi kuat yang akan mampu menghadapi kesulitan dunia ke depan.

Di kalangan masyarakat umum, kesadaran untuk mendidik dengan hati sedikit banyak mulai tumbuh. Siska, seorang ibu rumah tangga yang dibantu suaminya Yudhistira A Massardi, membuka TK gratis bagi anak-anak miskin di garasi rumahnya. Dengan sepenuh hati, ia memupuk potensi bocah-bocah kumuh di sekitarnya. Ia harus muntah-muntah karena lendir telinga Fudin yang hanya bisa menjerit-jerit tanpa pernah jelas berkata (ternyata ia memang tuli akibat infeksi telinga bertahun-tahun). Ia harus mengatasi trauma seorang siswa yang dipukuli ibunya dengan sandal di depan sekolah, juga trauma murid termanisnya yang menjadi diam membisu setelah rambut yang dibanggakannya dipangkas semaunya oleh kakaknya yang depresi.

''Malamnya, sehabis shalat, aku menangis. Aku terus berdoa minta kekuatan dan diberi bonus kesabaran agar dapat menerima anak-anak itu dengan ikhlas dan agar ditumbuhkan rasa kasih sayang dalam hati,'' tutur Siska yang kini melangkah membangun SD gratis. Ia menuliskannya dalam buku Rumah Kisah. Sebuah buku yang memaparkan pengalaman membangun sekolah bagi kaum papa. Ia membuktikan bahwa hati lebih diperlukan dalam mendidik ketimbang uang. Itulah sisi yang melemah di iklim pendidikan sekarang.

Di Hari Pendidikan sekarang, mari pejamkan mata. Dengan hati, mari kita rasakan kesulitan orang-orang di sekitar kita yang makin tak berdaya menghadapi beratnya beban kehidupan. Mari sebarkan semangat mendidik dengan hati, seperti yang dilakukan Siska atau Bu Kusman, buat menyelamatkan bangsa ini. 

(Zaim Uchrowi ) // http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=332247&kat_id=19

Tidak ada komentar: