25 April 2008

UN, Putusan Pengadilan Tinggi

Jumat, 25 April 2008
Oleh Elin Driana

Gugatan 58 warga negara terhadap kebijakan ujian nasional kembali mendapat dukungan melalui putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, 6 Desember 2007. Putusan itu menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Kompas, 15/4/2008).

Dengan demikian, pemerintah berkewajiban meningkatkan kualitas guru dan melengkapi sarana dan prasarana pendidikan serta akses informasi yang memadai sebelum melaksanakan kebijakan ujian nasional (UN). Namun, proses pengadilan tampaknya masih akan berlanjut karena pemerintah melalui Mendiknas mengisyaratkan mengajukan kasasi (Kompas, 16/4/2008).

Peningkatan vs kesenjangan mutu

Argumentasi pemerintah untuk tetap melaksanakan UN, meski sedang menjalani proses pengadilan, adalah keyakinan UN mampu meningkatkan mutu pendidikan. Namun, pemerintah cenderung mengabaikan perlunya penelitian berkesinambungan guna mendukung argumen itu. Amat terbatas penelitian hubungan UN dan mutu pendidikan yang telah dipublikasikan. Pemerintah juga terkesan enggan memanfaatkan berbagai penelitian sejenis yang dilakukan negara lain. Adalah terlalu dini menyimpulkan, ujian dapat meningkatkan mutu pendidikan karena hasil-hasil yang ada memberi kesimpulan yang kerap bertolak belakang.

Hasil penelitian lintas negara, seperti Trends in International Mathematics and Science Study (TIMMS) dan Programme for International Student Assessment (PISA) mengindikasikan, meski Indonesia memiliki tradisi ujian kelulusan, dengan menggunakan nama berbeda-beda, prestasi akademis siswa Indonesia—seperti tercermin dalam hasil TIMMS dan PISA— masih terpuruk di papan bawah.

Jadi, di mana kontribusi UN terhadap prestasi akademis siswa? Ada banyak hal harus dibenahi guna meningkatkan prestasi akademis siswa, mulai dari kurikulum yang sarat beban, ambisius, dan mubazir, kualitas tenaga pendidik yang belum memenuhi harapan, sampai sarana dan prasarana sekolah yang belum memadai.

Fokus utama pemerintah pada peningkatan mutu pendidikan juga paralel dengan kebijakan ekonomi yang mengutamakan pertumbuhan ketimbang pemerataan. Sebuah cara pandang berbahaya terhadap kelangsungan proses pendidikan di masa depan. Seandainya kebijakan UN berpotensi meningkatkan mutu pendidikan, kesenjangan mutu pendidikan berdasarkan status sosial ekonomi siswa dan sekolah akan tetap menganga. Kebijakan UN akan lebih menguntungkan siswa yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi lebih baik dan memiliki peluang lebih besar mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah bermutu.

Gugatan terhadap ujian kelulusan

Gugatan warga negara melalui pengadilan terhadap UN pada dasarnya merupakan upaya mencari keadilan. Dalam kasus Debra v Turlington (1979) yang mengusung isu opportunity to learn, pengadilan di Negara Bagian Florida, AS, tetap meneguhkan penggunaan hasil ujian kelulusan sebagai salah satu syarat bagi siswa untuk mendapat ijazah setelah dilakukan pemeriksaan terhadap kesesuaian antara kurikulum yang digunakan di seluruh distrik yang ada di negara bagian ini dan interview terhadap siswa dan guru.

Namun, pada saat sama, pengadilan memerintahkan agar ujian kelulusan ditunda selama empat tahun guna memberi kesempatan bagi sekolah untuk berbenah sehingga siswa mendapat pendidikan yang relatif setara. Para siswa yang semula dinyatakan tidak lulus akhirnya berhak mendapat ijazah. Terkait UN, putusan pengadilan seharusnya memberi kejelasan, sejauh mana pemerintah harus memenuhi aneka persyaratan yang ditetapkan sebelum melaksanakan kebijakan UN.

Selain perlunya opportunity to learn yang relatif setara, pelaksanaan ujian kelulusan harus benar-benar memenuhi standar profesional guna menjamin keadilan. Ujian kelulusan merupakan high-stake test yang akan berdampak besar terhadap masa depan siswa.

Dalam kasus GI Forum vs Texas Education Agency (2000), pengadilan di Texas meneguhkan, hasil ujian kelulusan sebagai salah satu syarat mendapat ijazah. Keputusan itu tercapai setelah pengadilan memeriksa apakah pelaksanaan ujian memenuhi standar profesional.

Standar-standar itu, pertama, pengembangan alat ukur, mencakup pengujian keandalan (reliability), kesahihan (validity), kemungkinan adanya item-item soal yang lebih menguntungkan kelompok tertentu (differential item functioning), kesetaraan antara paket soal yang digunakan dan proses penentuan passing grade. Pengadilan di Texas, misalnya, memutuskan, tes dapat dikatakan andal bila koefisien keandalannya minimal 0,90.

Kedua, siswa hendaknya memiliki beberapa kali kesempatan (multiple-opportunities) untuk memenuhi standar kelulusan. Hal ini kontras dengan Pemerintah Indonesia yang meniadakan ujian ulang dengan dalih ujian ulang tidak mendidik dan merugikan siswa yang telah lulus.

Nasib UN

Bagaimana nasib UN setelah putusan Pengadilan Tinggi? Bukankah pemerintah telah menjadwalkan pelaksanaan UN SMP/SMA dan UASBN 2008? Karena proses pengadilan masih berlangsung, seharusnya penggunaan hasil UN SMP/SMA dan UASBN ditunda. Ujian tetap dapat dilaksanakan karena telah diagendakan, tetapi lebih digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan informasi seputar prestasi akademis siswa dan melakukan intervensi diperlukan guna meningkatkan dan mengurangi kesenjangan mutu pendidikan. Jadi, bukan sebagai syarat kelulusan. Ini perlu dilakukan agar tidak timbul interpretasi, pelaksanaan UN bertentangan dengan hukum sehingga menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. Apalagi, dalam kasus UN, pemerintah yang berpotensi melanggar putusan pengadilan.

Ke depan, pemerintah perlu lebih membuka diri terhadap berbagai penelitian seputar ujian kelulusan agar tidak terjebak cara pandang sempit dan berbahaya. Selain itu, pengkajian tentang standar profesional perlu dilakukan secara lebih mendalam agar tidak melanggar prinsip keadilan. Suara masyarakat dalam menentukan arah pendidikan juga perlu lebih didengar.

Elin Driana Wakil Koordinator Education Forum

Tidak ada komentar: