25 April 2008

Memotong Korupsi dari Akarnya * Ajakan Komisi Pemberantasan Korupsi di Negeri Jiran

KOMPAS/SUTTA DHARMASAPUTRA / Kompas Images
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar, bersama dua wakil ketua KPK, Rabu (23/4), mengadakan sosialisasi pemberantasan korupsi kepada warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di Malaysia. Sosialisasi yang berlangsung di Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Malaysia itu menarik perhatian sejumlah WNI yang kini bermukim di Malaysia karena dua mantan duta besar RI untuk Malaysia diadili dalam kasus korupsi. Sosialisasi itu juga untuk mendorong keberanian WNI melawan korupsi karena pemberantasannya tidak bisa hanya dibebankan kepada KPK.

Kompas, Kamis, 24 April 2008

Oleh Sutta Dharmasaputra

Korupsi tak ubahnya sebuah pohon yang memiliki cabang-cabang tak terukur panjangnya, merambat ke mana-mana, dan embun yang jatuh darinya bisa menulari jamur ke bangku dan kursi kekuasaan.

Francis Beaumont and John Fletcher, Honest Man's Fortune, act III, sc 3)

Dalam rangka mencegah korupsi yang terus merambah itu pula, Rabu (23/4), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi kepada masyarakat Indonesia di Malaysia di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), Kuala Lumpur.

Ketua KPK Antasari Azhar, didampingi Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah dan Mohammad Jasin, menjelaskan langsung tentang apa saja peran KPK dan perlunya keterlibatan semua pihak untuk memerangi korupsi, bahkan dimulai dari mendidik anak. Peserta sekitar 250 orang dari berbagai lapisan, mulai dari pelajar, aktivis perempuan, tenaga kerja Indonesia, aktivis partai, dan pegawai KBRI. Wakil Duta Besar RI untuk Malaysia Tatang Razak menjadi moderator dalam acara itu.

”Percuma KPK terus menangkap orang, tetapi tidak menyelesaikan akar persoalan, yaitu perilaku,” kata Antasari.

Seperti diberitakan, sudah dua duta besar RI untuk Malaysia yang terlibat korupsi. Hadi A Wayarabi, Duta Besar RI untuk Malaysia periode 2000- 2003, dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara dan denda Rp 150 juta oleh Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, 2 Januari 2008. Dia terbukti menyelewengkan biaya kepengurusan dokumen keimigrasian sehingga merugikan negara Rp 15 miliar atau 6,097 ringgit Malaysia.

Pada 16 Januari lalu, KPK juga menahan mantan Duta Besar RI untuk Malaysia Rusdihardjo, yang menggantikan Hadi. Rusdihardjo juga diduga menerapkan surat keputusan (SK) ganda soal bea pembuatan dokumen keimigrasian di lingkungan KBRI di Malaysia, yang memungkinkan pemungutan tarif dengan besaran berbeda.

SK itu ditandatangani mantan Duta Besar RI untuk Malaysia M Jacob Dasto menjelang masa akhir tugasnya. Hadi yang menggantikan Jacob kemudian menerapkan SK ganda itu. Ketika Rusdihardjo menggantikannya, SK itu juga diterapkan sejak Januari 2004 hingga Oktober 2005. KPK menduga, akibat penerapan SK ganda itu, negara dirugikan hingga Rp 16 miliar, dan Rusdihardjo diduga memperoleh keuntungan Rp 2 miliar dari pungutan itu.

Pujian sampai kritik

Peserta umumnya mengapresiasi kerja KPK. Mereka juga antusias mengikuti kegiatan yang dimulai pukul 20.30 hingga 23.45 waktu setempat. Hanya segelintir orang yang pulang sebelum acara berakhir.

”KPK sudah dengan berani menangkap duta besar,” ucap M Iqbal, Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia di Malaysia. Antasari langsung menimpali, ”Nanti juga KBRI lain. Lihat saja nanti.” Penegasan itu langsung disambut tepuk tangan.

Dengan bangga Antasari juga menceritakan, KPK akan bertemu dengan Badan Pencegah Rasuah (BPR), badan pemberantasan korupsi di Malaysia. Kalangan BPR ingin menimba pengalaman dari KPK di Indonesia yang independen, tidak bisa dipengaruhi siapa pun.

Namun, pernyataan Antasari itu masih perlu dibuktikan. Wira, pelajar Indonesia di Malaysia, misalnya, meragukan independensi KPK. Dia mempertanyakan KPK yang hanya menahan Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah dan dua pejabat BI dalam kasus aliran dana BI kepada sejumlah anggota DPR periode 1999- 2004. Padahal, penggunaan dana itu diputuskan Dewan Gubernur BI secara kolektif, yang saat itu juga dijabat Aulia Pohan dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution. Dia juga curiga KPK mempunyai agenda politik.

Antasari menjawab, KPK tidak memiliki agenda politik apa pun mengingat kasus ini sudah ditangani KPK jauh sebelum dirinya memimpin KPK. Ia juga menegaskan, KPK akan independen dan tak ada pihak mana pun yang bisa mengintervensi.

”Siapa pun yang bertanggung jawab, dia harus bertanggung jawab. Cermati saja nanti,” ucapnya lagi.

Terlepas dari kekurangan pemberantasan korupsi di Indonesia, WNI di Malaysia umumnya mulai merasakan manfaat pemberantasan korupsi dengan mulai membaiknya pelayanan surat dan administrasi di KBRI. ”Dua tahun lalu, mengurus paspor harus menunggu 40 hari, tetapi ada juga teman yang dua hari selesai. Sekarang, tiga jam semuanya selesai,” ucap Radli, pekerja di Malaysia.

Mereka juga mendorong KPK agar terus diperkuat, antara lain dengan menambah pegawai, seperti yang dilakukan BPR dengan menambah sekitar 5.000 orang. Pegawai KPK sebanyak 600 orang dirasa tidak cukup.

Seorang peserta sosialisasi, yang punya banyak pengalaman di dunia perbankan dan mengaku memiliki 80 proposal yang menunjukkan adanya praktik kolusi, dalam pertemuan itu juga berkomitmen menyerahkan data yang dimilikinya itu untuk diselidiki lebih jauh oleh KPK.

”KPK jadi Komisi Pemberantasan Rampok dan Maling saja agar lebih ditakuti,” ucap Andi, pengusaha. Seorang peserta lain juga menyebutkan, koruptor sebenarnya jauh lebih jahat daripada teroris.

Korupsi memang menyengsarakan semua dan harus menjadi musuh semua dan dilawan oleh semua.

Satiris asal Austria, Karl Kraus (1874-1936), sejak lama telah mengatakan itu. Ia menyebutkan, ”Korupsi lebih buruk dari prostitusi. Kalau prostitusi mengancam moral individual, tetapi yang korupsi mengancam moral seluruh isi negara”.

Tidak ada komentar: