25 April 2008

Memaknai Ujian Masuk Perguruan Tinggi

Kompas, Jumat, 25 April 2008
Oleh Susanto Imam Rahayu

Terkait proses belajar mengajar, ujian dapat dipandang sebagai upaya pengukuran.

Tujuannya mengukur beberapa aspek terkait hasil proses belajar mengajar yang telah dijalankan. Bagi setiap aspek yang ingin diketahui, diperlukan alat ukur—macam soal ujian—yang berbeda. Untuk mengukur seberapa jauh peserta hafal pelajaran, diperlukan soal ujian berbeda dengan yang untuk mengetahui seberapa dalam pemahaman atas materi ajar.

Karena itu, penyusunan soal ujian harus dilakukan cermat, sejalan dengan tujuan ujian. Ujian yang dilakukan setelah suatu kegiatan belajar mengajar selesai disebut tes capaian (achievement test). Tujuannya mengetahui ketercapaian sasaran pengajaran oleh tiap peserta uji. Contoh, UN SMA, yang merupakan tes akhir tahap pendidikan menengah. Tes capaian ini harus disusun dengan memerhatikan ruang lingkup bahan ajar tahapan pendidikan menengah.

Ujian masuk PT

Bagi yang berminat melanjutkan ke jenjang lebih tinggi—pendidikan tinggi—umumnya harus ditempuh lagi suatu ujian yang dikenal dengan ujian masuk perguruan tinggi.

Ujian ini tidak dapat digolongkan sebagai tes capaian karena tidak didasarkan atas penyelesaian suatu mata pelajaran, kuliah, atau tahap pendidikan. Selain itu, tes capaian seperti UN diberikan setelah menjalani suatu tahapan pendidikan. Adapun tes masuk perguruan tinggi justru sebelum menjalani tahapan pendidikan tinggi.

Pelaksanaan yang berbeda ini disebabkan perbedaan tujuan tes. Tes yang diberikan sebelum memasuki tahapan pendidikan tinggi disebut tes ramalan (predictive test). Tes ini dirancang untuk mengungkap kepemilikan latar belakang pengetahuan dan kompetensi kognitif yang diperlukan untuk menjalani pendidikan tinggi dengan berhasil.

Berbeda dengan tes capaian yang disusun berdasarkan materi pelajaran yang pernah diajarkan, tes ramalan disusun berdasar rincian tentang materi yang perlu diketahui dan kompetensi kognitif yang harus dimiliki agar seseorang dapat menjalani pendidikan di tingkat perguruan tinggi dengan berhasil.

Rincian kompetensi kognitif yang perlu dimiliki adalah memahami konsep, menerapkan konsep, melakukan analisis masalah, serta dalam kadar tertentu mensintesis gagasan dan melakukan evaluasi. Dengan demikian, tes capaian tidak dapat digunakan sebagai tes ramalan.

Tes masuk dan tes psikologi

Berbagai kompetensi kognitif itu dijaring melalui kerja kognitif, dengan peserta dibuat melakukan suatu proses pemecahan masalah, yang disusun sedemikian rupa sehingga hanya dapat dijawab jika dimilikinya kompetensi kognitif bersangkutan.

Sebagai sumber permasalahan adalah materi pelajaran SMA, yaitu bahasa, matematika, serta beberapa cabang bidang IPA dan IPS. Dengan demikian, ujian memiliki peran ganda. Sebab, agar berhasil, peserta harus menguasai materi soal dan harus memiliki kompetensi kognitif yang diperlukan.

Penggunaan model pengujian ini, yang dalam satu ujian digabungkan sekaligus tes penguasaan materi dan pemilikan kompetensi kognitif, didapati pada ujian Sipenmaru, UMPTN, dan SPMB. Di AS, model serupa digunakan lembaga tes terkemuka American College Testing (ACT).

Lalu, apa perbedaan antara tes masuk perguruan tinggi model di atas dan tes psikologi, seperti TPA dan TKA ? Tes psikologi juga memiliki sasaran pengukuran, terkait berbagai kompetensi. Hanya, materinya disusun sedemikian rupa sehingga dapat diterapkan pada masyarakat umum. Ini memerlukan digunakannya persoalan sederhana, seperti berbagai operasi aritmatika; pembuatannya menjadi sulit karena harus melalui proses uji coba dan pembakuan sesuai norma tertentu, yang menjadikannya amat mahal.

Materi tes baku juga harus dijaga jangan sampai tersebar sehingga berkas tes harus ditarik kembali. Mengingat beberapa bagian tes dilakukan dalam rentang waktu terkontrol, pelaksanaannya harus melibatkan tenaga terlatih. Ini mudah dilakukan bagi ujian kelompok kecil, tetapi sulit dijalankan bila ujian melibatkan ratusan ribu peserta.

Mengingat informasi yang sama dapat diperoleh melalui ujian yang menggabung penguasaan materi dan kognitif, penggunaan tes psikologi secara bersamaan dalam ujian masuk perguruan tinggi tidak akan banyak menambah informasi, kecuali bila informasinya komplementer, tetapi harus dibayar amat mahal.

SUSANTO IMAM RAHAYU Guru Besar Institut Teknologi Bandung

Tidak ada komentar: