Oleh Terry Mart
KOMPAS.com - Rencana pemerintah untuk mengintegrasikan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial di sekolah dasar ke dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia membuat cemas para praktisi ilmu pengetahuan dasar. Mereka membahasnya dalam Forum Diskusi Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia di Jakarta, seperti yang diberitakan Kompas, Kamis, 8 November 2012.
Dalam diskusi Dewan Pendidikan Tinggi, terutama Majelis Penelitian, para pemerhati ilmu-ilmu sosial dan humaniora pun turut mencemaskan hal ini.
Hitung-hitungan pemerhati pendidikan Prof Yohanes Surya memperlihatkan, jika pelajaran IPA dan IPS jadi diintegrasikan ke dalam pelajaran Bahasa Indonesia, porsi IPA yang dapat dipertahankan dalam pelajaran baru tersebut akan kurang dari 30 persen. Padahal, kita sering mendengar bahwa isi dan cara pengajaran IPA di SD masih jauh dari ideal sehingga sering dituding menjadi penyebab rendahnya penguasaan IPA.
Guru Besar Matematika ITB Prof Iwan Pranoto menyatakan bahwa apa yang diajarkan saat ini adalah IPA dan Matematika semu karena tidak merangsang daya nalar siswa. Sangat ironis jika dikaitkan dengan cita-cita luhur bangsa ini untuk menjadi bangsa mandiri yang menguasai iptek dan tidak bergantung atau tidak dapat dikuasai bangsa lain.
Lebih ironis lagi jika kita mendengar bahwa rencana penghapusan IPA dilatarbelakangi oleh perilaku negatif siswa-siswa kita saat ini, seperti maraknya tawuran antarsiswa, yang korelasinya dengan pelajaran IPA jelas sangat sayup. Bukankah tawuran itu juga diakibatkan kurangnya daya nalar? Mohammad Abduhzen dalam tulisannya (Kompas, 12/12/2012) juga menyayangkan penghapusan ini mengingat sifat bangsa kita yang masih sangat mitis dan mistis.
Nalar kita kalah
Bukan rahasia lagi jika daya nalar siswa kita kalah dibandingkan dengan siswa negara jiran atau negara maju. Meski dalam olimpiade sains atau sosial siswa kita sering menggondol medali emas, secara rerata daya nalar siswa kita rendah.
Hal ini bisa dilihat, misalnya, dari laporan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), sebuah pusat studi yang mengakses kemajuan matematika dan sains siswa kelas empat SD dan kelas dua SMP setiap empat tahun. Hasil TIMSS 2011 yang baru saja dilaporkan memutarbalikkan keyakinan sebagian masyarakat, bahwa siswa-siswa kita jauh lebih unggul dibandingkan siswa negara lain.
Untuk bidang sains, Indonesia menempati tiga urutan terendah bersama Maroko dan Ghana. Ironisnya, prestasi siswa Indonesia bahkan kalah dibandingkan dengan siswa Palestina, Lebanon, dan hampir semua negara Timur Tengah (Tabel 3.2 TIMSS 2011 Science). Singkat cerita, laporan TIMSS menguak bahwa siswa kita tidak unggul dalam memecahkan soal-soal sains dan matematika yang membutuhkan daya nalar tinggi ketimbang kepiawaian menghafalkan rumus-rumus kompleks.
Di lain pihak, kita juga tahu persis bahwa usia SD merupakan usia emas saat rasa ingin tahu (curiosity) seorang anak sangat tinggi, terutama terhadap fenomena-fenomena alam dan sosial di sekitarnya. Sebagai seorang ayah yang memiliki dua anak di tingkat SD, saya sendiri sering kewalahan menjelaskan fenomena-fenomena alam dengan cara dan bahasa yang mudah ditangkap daya nalar anak berusia kurang dari 10 tahun.
Untunglah, beberapa fenomena alam seperti turunnya hujan serta konservasi energi dijelaskan di pelajaran SD saat ini meski saya merasa pembahasannya kadang-kadang terlalu dalam untuk tingkat SD. Mungkin terasa aneh jika saya saja merasakan hal ini tidak mudah. Saya dapat membayangkan betapa sulitnya para orangtua yang tidak memiliki latar belakang atau pengetahuan mendalam tentang IPA dalam hal ini. Akan lebih parah lagi jika orangtua yang bersangkutan memiliki bekal pendidikan relatif kurang.
Kondisi di atas akan semakin runyam jika pelajaran IPA di SD jadi dihapus. Kepiawaian dalam bernalar jelas sangat diasah di dalam pelajaran IPA di samping Matematika. Inilah yang membuat keresahan para pemerhati pendidikan sangat beralasan. Penghapusan ini tentu saja akan menurunkan daya nalar siswa. Mungkin, sejatinya, apa yang menjadi keprihatinan pemerintah adalah terlalu tingginya level materi IPA dan IPS sehingga kurikulumnya terlihat terlalu gemuk.
Pada kenyataannya, hampir semua materi pelajaran SD saat ini memiliki tingkat yang terlalu tinggi dan terlalu gemuk. Bahkan, boleh dikatakan berlebih-lebihan. Tidak heran jika saat ini muncul pula usulan penghapusan pelajaran Bahasa Inggris di SD karena dianggap terlalu tinggi dan mengganggu konsentrasi siswa pada pelajaran Bahasa Indonesia. Namun, entah karena kebanggaan orangtua atau tuntutan sekolah berbasis internasional, pelajaran Bahasa Inggris di SD sudah menjadi mahapenting dan sakral.
Perlu hati-hati dan saksama
Kurikulum SD boleh-boleh saja diperbaiki dari masa ke masa. Namun, penghilangan mata pelajaran tertentu harus didasari pada hasil penelitian yang sangat hati-hati dan saksama. Kurikulum yang ada saat ini tentu merupakan hasil evolusi puluhan tahun. Pasti ada argumen kuat di balik adanya mata pelajaran IPA dan IPS di tingkat SD. Selain itu, penggabungan IPA dan IPS menjadi satu mata pelajaran tampaknya juga kurang masuk akal karena domain kedua mata pelajaran sangat berbeda. Keduanya mungkin baru menyatu atau konvergen di ranah penelitian yang sangat frontiers, seperti quantitative sociology dan quantitative psychology, yang saat ini tampaknya hanya dipahami oleh para peneliti bidang tersebut.
Ada satu hal lain yang mungkin luput dari pemikiran para pengambil keputusan di tingkat pendidikan dasar, yaitu penalaan halus (fine tuning) pada program pendidikan dasar dapat berakibat besar dan fatal pada kinerja siswa ketika dia duduk di bangku kuliah, seperti cerita efek kupu- kupu dalam teori chaos. Apa yang tersurat di media massa saat ini, yaitu pemerintah sudah memperhitungkan dan mempersiapkan secara matang penghapusan IPA ini, mungkin perlu dikoreksi.
Pihak perguruan tinggi yang akan mengambil alih tugas mendidik siswa-siswa SD tersebut paling lama 10 tahun lagi tidak diminta masukannya. Padahal, pihak ini juga akan menanggung akibatnya jika penghapusan IPA ini berdampak negatif kepada siswa-siswa tersebut.
Terry Mart Dosen Fisika FMIPA UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar