07 Desember 2012

"Bukannya Benahi Guru, Malah Utak-atik Kurikulum..."

Penulis : Riana Afifah | Rabu, 5 Desember 2012 | 18:27 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com - Perubahan kurikulum yang kini telah memasuki tahapan uji publik tidak akan pernah lepas dari masalah peningkatan kualitas guru. Pasalnya, guru di lapangan nyaris selalu jadi kambing hitam dari kegagalan berbagai kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah.

Praktisi pendidikan, Romo Benny Susetyo, mengatakan bahwa jika pemerintah berniat untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia maka sebaiknya peningkatan kualitas guru menjadi target utama yang dilakukan bukan malah merombak secara keseluruhan kurikulum yang belum sepenuhnya mencapai tujuan.

"Yang pertama itu benahi guru bukan malah mengutak-atik kurikulum. Saya rasa pemerintah juga tahu kalau hampir 80 persen guru di Indonesia kualitasnya masih rendah," kata Benny, saat jumpa pers di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jalan Kalibata Timur, Jakarta, Rabu (5/12/2012).

Ia menyayangkan bahwa peningkatan kualitas guru yang harusnya menjadi prioritas justru dikesampingkan oleh pemerintah. Hal ini terbukti dengan sedikitnya pelatihan yang diterima oleh para guru di seluruh Indonesia. Padahal semestinya pelatihan yang berfungsi untuk memperbaiki kualitas guru ini dilaksanakan secara berkala.

"Harusnya kan pelatihannya rutin. Ini guru sudah bertahun-tahun hanya sekali melakukan training," ujar Benny.

Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti, membenarkan bahwa pemerintah tidak pernah sungguh-sungguh meningkatkan kualitas guru. Ini terbukti dari survei yang dilakukan pihaknya pada guru-guru yang tersebar di 20 daerah. Dari survei tersebut, sebanyak 62 persen guru Sekolah Dasar (SD) tidak pernah mendapat pelatihan.

"Bayangkan saja itu. Padahal perubahan kurikulum paling besar ada di tingkat dasar. Tapi pelatihannya justru paling minim," jelas Retno.

"Minimnya pelatihan ini jugaa terbukti, guru di daerah pelosok sudah 33 tahun tidak pernah ikut pelatihan. Untuk kota besar, rata-rata dalam lima tahun hanya sekali pelatihan," imbuhnya.

Sementara itu, Uji Kompetensi Guru (UKG) yang selalu disebut oleh pemerintah sebagai salah satu instrumen peningkatan kualitas guru tidak memiliki dampak yang signifikan. Menurutnya, UKG sendiri hanya sekadar menegaskan dan memperjelas bahwa kualitas guru di Indonesia memang masih rendah.

"Jadi bukan terus menjadi solusi dan langkah untuk peningkatan kualitas guru. Jatuhnya hanya membenarkan bahwa kualitas guru di Indonesia memang banyak yang rendah," ungkapnya.

Beberapa waktu lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, mengatakan bahwa guru yang mengikuti kurikulum bukan sebaliknya. Pasalnya, jika menunggu peningkatan kualitas guru maka tak akan ada perubahan kurikulum yang harusnya terjadi mengikuti perkembangan zaman.

"Bukan kurikulum yang menyesuaikan guru tapi sebaliknya. Kalau menunggu guru, mau kapan kurikulum diubah sedangkan perkembangan zaman tidak menunggu," ujar Nuh.

Tidak ada komentar: