16 Oktober 2011

Tiga Opsi Status Perguruan Tinggi Negeri

Ester Lince Napitupulu | Agus Mulyadi | Kamis, 13 Oktober 2011 | 20:36 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com —
Pasca-batalnya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, pemerintah dan DPR menawarkan tiga opsi status perguruan tinggi negeri. Perguruan tinggi milik pemerintah bisa memilih status sebagai perguruan tinggi negeri otonom, semi-otonom, atau otonom terbatas.

Apa pun status yang dipilih perguruan tinggi negeri (PTN), pemerintah tetap wajib mengucurkan anggaran untuk setiap PTN. Namun, PTN otonom tentu saja harus lincah dalam memenuhi kebutuhan internal karena mereka tetap dituntut untuk mandiri.

Pembahasan soal status PTN tersebut mengemuka dalam rapat dengar pendapat umum pembahasan Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT) di Jakarta, Kamis (13/10/2011).

Pertemuan dihadiri perwakilan pemerintah, Komisi X DPR, dan tujuh PTN Badan Hukum Milik Negara (PTN BHMN).

Rully Chairul Azwar, Ketua Panitia Kerja RUU PT, menjelaskan, pemilihan istilah PTN otonom, semi-otonom, dan otonom terbatas yang terkait dengan tata kelola tersebut karena tidak ingin di dalam RUU PT ini ada roh UU Badan Hukum Pendidikan.

"Istilah otonom itu lebih fleksibel. Pilihan PTN soal statusnya itu tergantung pada kesiapan dan pilihan PTN. Pemerintah nanti menilai, apakah memang PTN itu layak dengan status yang dipilihnya," kata Rully.

Sebelumnya, PTN di Indonesia terbagi sebagai PTN BHMN yang terdiri atas  Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Sumatera Utara, Institut Teknologi Bandung, dan Institut Pertanian Bogor. Adapun PTN non-BHMN, ada yang berstatus badan layanan umum (BLU) dan PTN murni.

Tata kelola PTN BHMN yang leluasa bisa diakomodasi dalam status PTN otonom. PTN ini memiliki sejumlah organ yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi, hak untuk mengelola aset negara, pengelolaan keuangan/pendapatan yang tidak diperhitungkan sebagai pendapatan negara bukan pajak, dan ketenagaan yang diangkat oleh lembaganya.

PTN yang dikelola secara otonom menerima bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan dari pemerintah secara berkesinambungan.

Sementara PTN yang dikelola secara semi-otonom diberikan fleksibilitas kewenangan pengelolaan keuangan dengan pola tertentu, yang merupakan pengecualian ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya. Adapun PTN dengan otonom terbatas menjalankan penyelenggaraan pendidikan sepetti layaknya PTN murni.

Reni Marlina, anggota Komisi X, mengatakan, apa pun status PTN, bagi masyarakat, yang penting bisa kuliah di perguruan tinggi bermutu dengan biaya terjangkau. Perguruan tinggi bermutu seperti yang dicerminkan PTN BHMN diminta jangan komersial yang memungut dana pendidikan besar dari mahasiswa.

Rektor IPB Herry Suhardiyanto menambahkan, soal pembiayaan ini memang jadi persoalan. Peran pemerintah tetap harus jelas. "Untuk ketenagaan, di PTN otonom mestinya juga bisa mengelola dosen dan pegawai PNS," kata Herry.

Menurut Herry, pemerintah dengan persetujuan DPR bakal menetapkan satuan biaya pendidikan tinggi secara periodik. Ini bisa jadi dasar untuk perhitungan biaya yang mesti ditanggung mahasiswa, pemerintah, dan perguruan tinggi.

"Untuk yang tidak bisa membayar penuh, itu mesti dapat subsidi dari pemerintah. Yang mampu membayar penuh tetap diizinkan membayar penuh," kata Herry.

Rektor ITB Akhmaloka mengatakan, bantuan pemerintah untuk PTN otonom semestinya bukan cuma biaya pendidikan.

"Terkait SDM di kampus juga mesti dibantu. Kalau semua ketenagaan, seperti dosen dan pegawai, dibebankan ke PTN otonom, nanti komersial lagi," kata Akhmaloka.

http://edukasi.kompas.com/read/2011/10/13/20363022/Tiga.Opsi.Status.Perguruan.Tinggi.Negeri


Tidak ada komentar: