Oleh Hafid Abbas
Pada 23 Maret lalu harian ini melaporkan bahwa sampai saat ini 88,8 persen sekolah di Indonesia, mulai SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar pelayanan minimal.
Berdasarkan data yang ada, 40,31 persen dari 201.557 sekolah di Indonesia di bawah standar pelayanan minimal, 48,89 persen pada posisi standar pelayanan minimal, dan hanya 10,15 persen yang memenuhi standar nasional pendidikan. Dengan keadaan itu, pemerintah justru gencar menggelontorkan dana menciptakan rintisan sekolah bertaraf internasional: 0,65 persen.
Sedikit sekali sekolah kita yang memenuhi persyaratan. Bagaimana implikasinya terhadap mutu lulusan yang diharapkan? Orangtua tentu mulai khawatir jika pendidikan yang tengah atau akan dijalani anaknya di berbagai jenjang dan jenis pendidikan jauh dari mutu yang diharapkan. Berbahayalah jika masyarakat hilang kepercayaan kepada pemerintah atas kemampuannya menyediakan layanan pendidikan yang berkualitas dan merata bagi semua warga negara.
Indonesia-Malaysia
Risau seperti itu sudah lama muncul. Pada 2003, Menko Kesra Jusuf Kalla menugaskan seorang deputinya membandingkan mutu pendidikan kita dengan Malaysia. Kajian itu menunjukkan bahwa tingkat kesukaran ujian akhir jenjang SD di Malaysia untuk Bahasa Inggris relatif sebanding dengan tingkat kesukaran ujian akhir jenjang SLTA di Indonesia. Untuk IPA dan Matematika, tingkat kesukaran jenjang SLTP relatif sebanding dengan jenjang SLTA.
Artinya, Indonesia relatif tertinggal dari Malaysia 3-6 tahun dalam tingkat kesukaran materi ujian nasional. Standar kelulusan nasional Malaysia dengan tingkat kesukaran itu pada 2003 adalah 6, sedangkan Indonesia 3. Ini berarti, jika Indonesia meningkatkan standar kelulusannya 0,5 setahun, kita baru mencapai keadaan seperti Malaysia (2003) pada 2009. Jadi, Indonesia tertinggal 9-12 tahun dari Malaysia.
Tanpa bermaksud mengecilkan arti dan keberadaan sekolah bertaraf internasional (SBI) yang gencar dikembangkan itu, yang terpenting pada hemat saya adalah bagaimana kebijakan pengelolaan pendidikan dilakukan dengan langsung menyentuh inti peningkatan kualitas proses belajar-mengajar yang berlangsung di ruang kelas.
Malaysia kelihatannya tak tergila-gila mengembangkan SBI. Ia membenahi hal-hal pokok. Jika proses pengelolaan belajar-mengajar tak berkualitas, sebaik dan selengkap apa pun sarana dan prasarana sekolah, mutu pendidikan kita akan tetap tertinggal.
Yang perlu dipikirkan, bagaimana sampai pada titik temu, prioritas penggunaan anggaran untuk peningkatan kesejahteraan guru yang secara nyata berdampak pada peningkatan mutu proses belajar-mengajar, dan selanjutnya mutu lulusan dan mutu pendidikan secara keseluruhan. Guru diberi insentif mengembangkan media belajar, misalnya, demi meningkatkan kualitas belajar-mengajarnya.
Kelihatannya masih relevan ditelaah laporan Katarina Tomasevski, Special Rapporteur PBB (2001), yang mengkaji mutu pendidikan di Indonesia. Ia mengungkapkan, mutu pendidikan kita amat rendah. Meski gaji guru dinaikkan dua-tiga kali lipat, kebijakan itu tetap tak berdampak pada perbaikan mutu.
Alasannya, jam mengajar guru hanya rata-rata 2,5 jam per hari atau 15 jam per minggu. Akibatnya, sulit ditemukan guru yang tak bekerja rangkap dalam berbagai bentuk: ada yang berbisnis, ada yang honorer di berbagai sekolah lain sehingga tugas utamanya terabaikan.
Gila ijazah
Hal ini diperburuk dengan banyaknya topik bahasan dalam kurikulum yang harus diajarkan guru. Meski siswa belum menguasai suatu konsep atau topik bahasan, guru harus pindah lagi ke topik lain. Akibatnya, sampai tamat, siswa tidak menguasai apa-apa karena hanya mempelajari setiap pokok bahasan secara sepintas tanpa pernah mengalami bagaimana indahnya dan menyenangkannya cara mengetahui pengetahuan.
Dengan keadaan seperti itu, Katarina terkesan bahwa sekolah di Indonesia hanya memberi ijazah yang jauh dari mutu yang diharapkan. Gejala penyakit gila ijazah itu terlihat jelas pada saat menjelang pemilu atau pemilukada. Begitu banyak kasus ijazah palsu di berbagai kabupaten dan kota. Keadaan seperti itu belum banyak berubah.
Yang juga diangkat Katarina, adanya diskriminasi promosi karier guru: 53 persen dari jumlah keseluruhan guru SD, 43 persen guru SLTP, dan 34 persen guru SLTA adalah wanita. Namun, yang dipromosikan menjadi kepala sekolah SD hanya 27 persen, SLTP 11 persen, dan SLTA 10 persen. Praktik diskriminasi seperti ini telah meredupkan motivasi guru berprestasi meningkatkan mutu belajar-mengajar.
Inilah beberapa catatan elementer yang kelihatannya belum banyak mendapat perhatian oleh pengambil kebijakan pendidikan nasional. Jika pengembangan SBI tetap prioritas, kiranya hal itu tidak menimbulkan kesenjangan pengetahuan antaranak didik karena amat berbahaya pada masa depan.
Kesenjangan ini saya nilai jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan kesenjangan lain karena akan menciptakan keretakan peradaban dan keretakan generasi yang kelak mengancam sendi kekukuhan NKRI.
Hafid Abbas Guru Besar FIP UNJ; Mantan Dirjen Perlindungan HAM dan Konsultan UNESCOhttp://cetak.kompas.com/read/2011/03/31/03314232/ke.mana.arah.prioritas.pendidikan.nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar