Menurut Nuh, rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah berstandar internasional (SBI) merupakan amanat undang-undang dan harus ada di setiap provinsi.
"Filosofinya, kita mendorong dulu sekolah yang berpotensi untuk itu. Karena penduduk kita sangat banyak, kalau diangkat bersama sulit," kata Nuh seusai meresmikan Taman Bacaan dan Balai Belajar Bersama di City of Tomorrow Surabaya, Minggu (30/5).
Kendatipun demikian, kataNuh, RSBI dan SBI tidak boleh menjadi eksklusif. Sekolah semestinya tidak memprioritaskan kemampuan finansial siswa sebagai pertimbangan masuk RSBI dan SBI. "Justru kemampuan akademik yang semestinya menentukan," kata Nuh. Karena itu, wajar saja bila ada tes untuk masuk RSBI dan SBI.
Tak berani mendaftar
Di Surabaya, tahun ini terdapat tiga SMA negeri yang menyediakan kelas RSBI. Tahun sebelumnya, kelas RSBI hanya terdapat di dua sekolah. Akibat penambahan kelas RSBI, sedangkan jumlah sekolah tetap, kuota siswa SMA reguler berkurang.
Selain itu, biaya sumbangan pembangunan pendidikan (SPP) siswa RSBI di Surabaya juga berkisar Rp 350.000–Rp 500.000 per bulan. Di daerah lain, seperti Gresik, SPP siswa RSBI bahkan mencapai Rp 700.000 per bulan.
Karena itu, siswa dari keluarga menengah ke bawah umumnya tidak berani mendaftar di RSBI kendati memiliki kemampuan akademis baik.
Mendiknas mengatakan, bila kenyataannya ditemukan semua siswa RSBI adalah kalangan berpunya, diperlukan kebijakan seperti penentuan kuota untuk siswa dari keluarga berpenghasilan rendah. Namun, kebijakan ini baru bisa ditentukan untuk tahun ajaran 2011.
Tahun ini, evaluasi dilakukan secara menyeluruh dari aspek kualitas akademik siswa, aspek fasilitas, kualitas tenaga pengajar, serta kesetaraan akses.
Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Suwanto mengatakan, pihaknya akan mengevaluasi RSBI di Jawa Timur berdasarkan rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS). Dari RAPBS akan diketahui kebutuhan biaya sekolah tersebut.
Di Surabaya, pengamat pendidikan Darmaningtyas mengatakan, RSBI dan SBI adalah kastanisasi pendidikan. Siswa dikotak-kotakkan dengan sistem pendidikan "bertarif internasional". Sistem ini semakin memarjinalkan siswa miskin, baik yang berkemampuan akademik bagus maupun tidak. Sementara itu, pengajar terkesan tidak siap dengan sistem yang mengutamakan kemampuan berbahasa Inggris ini. (INA)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/31/04462426/rsbi.tak.akan.ditutup..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar