Dengan sedih, Darlim memilih mundur, batal menyekolahkan anaknya di sebuah sekolah berlabel rintisan sekolah bertaraf internasional atau RSBI. Matanya terbelalak saat diharuskan membayar Rp 6 juta untuk anaknya yang ingin masuk SMP negeri bertaraf internasional itu. "Saya cuma tukang bangunan. Bayaran saya Rp 75.000 per hari. Kalau harus membayar segitu, berapa bulan kami berempat harus tidak makan?" ujar Darlim yang memiliki dua anak.
Darlim dan banyak orangtua hari-hari ini dipusingkan biaya pendidikan yang kian mencekik leher. Untuk masuk SMP atau SMA berlabel internasional, seorang siswa akan dipungut Rp 6 juta-Rp 8 juta dan uang sekolah Rp 450.000-Rp 500.000 per bulan. Bayangan anak-anak tidak bisa sekolah karena tak ada biaya segera menjadi momok dan menakutkan. Mahalnya biaya pendidikan otomatis juga mempersempit akses warga miskin mendapat dan menikmati pendidikan yang baik, seperti warga lain. "Mahalnya biaya pendidikan akan memaksa kaum miskin untuk minggir. Seperti itulah yang kini terjadi," tutur Darmaningtyas, pemerhati pendidikan, saat dihubungi Kompas, Kamis (6/5). "Saya sedang dalam kereta menuju Yogya," lanjut dia.
Sekolah bermetamorfosis
Memang, pascareformasi politik tahun 1998, banyak sekolah mulai "bermetamorfosis". Salah satu contohnya, SMPN 11 Jakarta yang tahun 2008 berinisiatif mengajukan diri menjadi RSBI, tetapi tidak lolos verifikasi. Setelah menjadi sekolah standar nasional (SSN), sekolah itu disetujui menjadi RSBI dengan target mampu mengisi delapan kelas 1 masing-masing 30 siswa. "Salah satu tuntutan RSBI, harus menggunakan pengantar bahasa Inggris. Kan banyak orangtua ingin anaknya bisa bahasa Inggris aktif," ujar penanggung jawab RSBI SMPN 11 Jakarta, Tri Kartewi.
Proses "metamorfosis" muncul seiring dengan terjadinya perubahan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 menjadi UU Nomor 20 Tahun 2003. Perubahan ini berdampak amat luas terhadap proses penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan nasional. Munculnya Pasal 50 Ayat 3: "Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional", ternyata berdampak pada pengotak-ngotakan sekolah. Sekolah pun terbagi dalam sejumlah strata: sekolah bertaraf internasional (SBI), rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), sekolah standar nasional (SSN), dan sekolah reguler, yang (sebenarnya) hanya ditentukan besaran pembayaran alias uang.
Konsep SBI sendiri sebenarnya belum jelas. Yang selalu dikatakan adalah operasionalisasinya menggunakan bahasa Inggris dalam pengantar dan buku-buku untuk beberapa pelajaran seperti Bahasa Inggris, IPA, dan Matematika, kelas ber-AC, internet tanpa batas, study tour gratis, dan lainnya. "Ini tidak masuk akal. Masak untuk menginggriskan, memasang AC, menggunakan internet, study tour, tiap anak harus dipungut Rp 8 juta? Belum lagi, pemerintah mengucurkan dana lebih dari satu miliar untuk tiap sekolah RSBI selama tiga sampai empat tahun," tegas Darmaningtyas.
Mengutip data Kementerian Pendidikan Nasional, hingga 2009 pemerintah sudah mengucurkan dana kepada 320 SMA, 118 SMK, 300 SMP, dan 136 SD yang ditunjuk sebagai RSBI (Kompas, 30/4/2010). Sementara dari segi pengeluaran—menurut perhitungan Kompas—jika pada sekolah SBI atau RSBI punya dua kelas 1 paralel dan masing-masing berisi 20 siswa, akan diperoleh hitungan 40 x Rp 8 juta > Rp 320 juta. Ditambah bantuan pemerintah Rp 400 juta (untuk tahun pertama) dan Rp 300 juta (untuk tiga tahun berikutnya), setiap tahun sekolah SBI dan RSBI akan menerima Rp 620 juta hingga Rp 720 juta. Jumlah itu belum termasuk uang sekolah bulanan, Rp 450.000 hingga Rp 500.000.
"Menurut keterangan, sistem evaluasi sekolah SBI dan RSBI mengikuti Cambridge, negeri maju. Kenyataannya, dalam ujian nasional lalu soal-soal yang diajukan menggunakan bahasa Indonesia. Apanya yang internasional? Maka, SBI sering dipelesetkan menjadi Sekolah Bertarif Internasional," kata Darmaningtyas.
Jangan terjebak
Atas upaya Kemendiknas mengembangkan pendidikan di Indonesia, dosen Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Herry Priyono, mengingatkan agar pemerintah mencermati ulang orientasi dan substansi penyelenggaraan pendidikan nasional. Para pemangku kepentingan pendidikan nasional jangan terjebak atau tertipu gelombang zaman. Dalih menyiapkan anak dalam kultur global dengan sekolah bertaraf internasional adalah salah.
"Alasannya, mendidik dalam kultur global tak terkait dengan standar internasional. Di negara-negara mapan dan matang, SBI tidak dibiarkan mengacaukan sistem pendidikan yang sudah ada. Seharusnya pendidikan nasional menjadi bagian integral proses politik, kebudayaan, dan kultur sebuah bangsa," tuturnya.
Kini, dampak penginternasionalan taraf sekolah membuat banyak sekolah berlomba mengikuti jalan itu. Namun, jika upaya ini terus berlanjut, dikhawatirkan kian meminggirkan kaum miskin, hanya karena tak mampu membayar. Hal ini akan membatasi kesempatan setiap orang memperoleh pendidikan yang baik. Sekolah akan berubah menjadi "sekolah elite". Siswa tak lagi belajar hidup dengan teman-teman dari berbagai latar belakang sosial dan ekonomi. Padahal, selalu digembar-gemborkan, sekolah "warna-warni" akan menjadi persemaian lahirnya generasi penuh empati. Lha piye iki? (MHF/BEN/IRE/DOT)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/07/05194798/yang.miskin.minggir...
DISKRIMINASI
Kastanisasi Pendidikan
Jumat, 7 Mei 2010 | 05:18 WIB
Sejak Kementerian Pendidikan Nasional memutuskan memilah-milah sekolah menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI), rintisan SBI (RSBI), sekolah standar nasional (SSN), dan sekolah reguler, sejak saat itu pula pemerintah melakukan diskriminasi. Benar SBI dan RSBI merupakan penjabaran Pasal 50 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dan SSN menjadi perwujudan Pasal 50 Ayat 2. Namun, yang terjadi justru pengotak-ngotakan masyarakat berdasarkan sekolah. Padahal, muara pengotak-ngotakan itu tidak lain biaya alias uang.
Bila hal itu dikaitkan dengan stratifikasi sosial ekonomi di masyarakat, Darmaningtyas—pemerhati pendidikan—mendapatkan empat kelompok masyarakat. Kelompok A adalah kumpulan anak orang kaya dan pintar, kelompok B (kaya tetapi kurang pandai), kelompok C (miskin tetapi pintar), dan kelompok D (miskin dan kurang pandai).
"Kenyataannya SBI dan RSBI diisi kelompok A dan B. Kelompok C berada di SSN karena, meski pintar, mereka tidak mampu membayar tinggi. Sedangkan kelompok D tak ada pilihan selain harus mengisi sekolah-sekolah reguler," katanya dalam diskusi pendidikan yang digelar Eka Tjipta Foundation di Jakarta, akhir April lalu.
Dari sudut konstitusi, lanjut Darmaningtyas, kastanisasi dan stratifikasi ini jelas merupakan merupakan ironi. Deklarasi HAM jelas menyatakan tidak boleh ada diskriminasi, begitu pula bunyi UUD 1945. "Pemerintah seharusnya memberikan perhatian besar kepada sekolah reguler karena kebanyakan diisi anak miskin yang menurut konstitusi menjadi tanggung jawab negara. Realitasnya, rakyat harus membiayai sendiri pendidikannya karena subsidi pemerintah amat kecil," ujarnya.
Dalam seminar itu, Prof Yohanes Surya tegas membantah bila anak bodoh tidak bisa dilatih matematika. "Semua bisa matematika seperti yang sudah saya lakukan terhadap anak-anak Papua. Memang ada beberapa tantangan yang harus dihadapi, yaitu mengalahkan mind-set yang mengatakan mereka bodoh dan tidak bisa matematika, dan memotivasi mereka giat berlatih. Nah, di sini diperlukan guru yang siap menjadi motivator," tegas dia.
Masalah diskriminasi yang telanjur berjalan dalam dunia pendidikan harus ditinjau ulang. Bagi bangsa ini, dampak lebih luas apa yang bakal muncul bila pola pengembangan pendidikan di Indonesia dijalankan dengan pengotak-ngotakan. Berapa juta anak miskin, yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, terbengkalai? Berapa juta anak pandai yang terkendala tidak bisa mengenyam pendidikan yang bagus dengan fasilitas internasional hanya karena status mereka miskin? Tokoh Lintang yang pandai dan berakhir sebagai sopir truk dalam film Laskar Pelangi bisa dijadikan contoh.
Para bapak bangsa Indonesia berkali-kali menyatakan, pendidikan yang bagus adalah kunci memutus rantai kemiskinan. Itu berarti semua warga berhak mendapatkan pendidikan yang bagus. Apabila pendidikan bagus hanya bisa dinikmati segelintir orang dan sebagian besar rakyat Indonesia harus menikmati pendidikan apa adanya, tidak heran kita hanya bisa mengekspor tenaga kerja yang dihargai murah. Inikah yang disebut pendidikan yang demokratis? (ton)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/07/05183985/kastanisasi.pendidikan
SEKOLAH PARTIKELIR
Kesenjangan Menganga
Jumat, 7 Mei 2010 | 05:17 WIB
Sawaluddin Siregar berniat menjual tanah berikut bangunan sekolah Yayasan Kesuma Karya miliknya. Kalau tak ada yang tertarik, kompleks bangunan sekolah itu akan ia jadikan perumahan, lalu dijual kepada calon pembeli.
Gagasan ini sudah ia pikirkan sejak beberapa bulan lalu. Kemampuan Sawaluddin mempertahankan kelangsungan sekolah—berikut bangunan di atas lahan seluas sekitar 1.000 meter persegi—itu boleh dibilang sudah berada di titik nadir.
Meski sejak awal keberadaan yayasan pendidikan yang ia warisi dari orangtuanya itu tak diniatkan untuk mengeruk keuntungan, sumber pemasukan dari anak-anak keluarga miskin yang bersekolah di sana sudah tidak bisa lagi diharapkan menutup biaya operasional. Uang sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) malah lebih sering tak terbayar sehingga yayasan kerap nombok.
Dana bantuan operasional sekolah dari pemerintah juga tak mampu menutup kekurangan operasional sekolah. Kucuran dana dari pemerintah senilai Rp 220 juta untuk membangun empat ruang kelas baru, berikut pengadaan bangku dan kursi, pun masih jauh dari mencukupi.
Alhasil, keputusan menjual lahan berikut bangunan sekolah jadi pilihan terakhir. Uang hasil penjualan "sekolah" ini, menurut rencana Sawaluddin, akan ia gunakan untuk membangun sekolah baru. Itu pun dengan catatan, harga tanah di lahan baru kelak lebih murah.
"Alternatif ini sudah saya pikirkan sejak beberapa bulan lalu. Tetapi, kalau ada donatur yang mau membantu keuangan sekolah, mungkin kami akan tetap bertahan di sini," kata Sawaluddin.
SMP dan SMA Karya Kesuma memang jauh dari gambaran sekolah elite. Meski di pusat kota, di kawasan Teladan, Medan Kota, hampir 98 persen dari 79 siswanya berasal dari keluarga tidak mampu. Sebutlah seperti penarik becak, kuli bangunan, dan pekerja musiman. Tidak aneh bila siswa kerap menunggak uang sekolah—yang dipatok Rp 75.000 per bulan—hingga enam bulan.
Sudah bisa ditebak bagaimana proses pembelajaran berlangsung di sekolah yang minim pendanaan seperti ini. Fasilitas belajar jauh dari memadai. Guru-guru yang digaji sekadarnya tak bisa sepenuhnya mencurahkan perhatian mereka di kelas.
"Bersyukur kami masih bisa bertahan," ujar Sawaluddin.
Persoalan serupa juga dihadapi ribuan sekolah gurem lain di Tanah Air. Sebutlah seperti SMP dan SMA Gotong Royong di Yogyakarta. Jangankan laboratorium, perpustakaan yang memadai pun tak mereka miliki. Apa yang dinamakan ruang perpustakaan di sekolah ini bergabung dengan ruang kepala sekolah. Hanya disekat rak buku.
Ruang kelas untuk siswa SMA juga minim fasilitas, hanya berisi papan tulis dan meja-kursi. Sekolah dengan 44 murid itu cuma memiliki dua unit komputer untuk dipakai bersama.
Pendanaan sekolah sangat bergantung pada dana bantuan operasional manajemen mutu (BOMM) sekolah swasta sebesar Rp 90.000 per anak per tahun. Ditambah bantuan lain, termasuk SPP dari para siswa, sekolah ini hanya punya pemasukan rutin Rp 9,36 juta per tahun.
"Anak-anak yang mendaftar ke sini biasanya anak-anak tak mampu, yang tak bisa masuk di tempat lain. Kalau sekolah ini ditutup, kasihan mereka," ujar Gudiana Lindawati, Kepala SMA Gotong Royong Yogyakarta.
Sangat kontras
Kondisi sekolah-sekolah partikelir gurem semacam ini sangat kontras dibandingkan dengan sekolah-sekolah negeri yang mendapat perhatian pemerintah. Lebih-lebih yang berstatus rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) maupun "kakak kandung"-nya: sekolah berstandar internasional alias SBI!
Tengoklah SMA Negeri 3 Yogyakarta yang berstatus RSBI. Sebanyak 21 kelas internasionalnya telah dilengkapi proyektor LCD dan sejumlah komputer. Sekolah yang sebagian besar siswanya membawa laptop ini juga punya perpustakaan yang tengah diarahkan berteknologi digital.
Begitu pula SMA Negeri 1 Yogyakarta, yang juga berstatus RSBI. Bahkan, untuk meraup bantuan dana maksimal dari pemerintah, kelas-kelas reguler dihapus keberadaannya. "Kalau hanya sebagian kelas yang RSBI, bantuan bisa terpaut Rp 200 juta. Bila semua kelas RSBI, (jumlah) bantuan (yang didapat) bisa maksimal," kata Asrori, Wakil Kepala SMA Negeri 1 Yogyakarta.
Status RSBI bukan saja berarti gengsi, apalagi naik menjadi SBI, tetapi juga berarti akan ada kucuran dana bantuan "berlebih" dari pemerintah yang kini memang getol dengan segala hal berbau internasional. Sedikitnya Rp 300 juta hingga Rp 600 juta per tahun dialokasikan untuk setiap sekolah.
Padahal, pihak sekolah masih memungut dana dari para orangtua murid. Untuk uang gedung Rp 3 juta-Rp 5 juta, sedangkan SPP ditarik Rp 150.000-Rp 200.000. Di luar itu, demi dan atas nama status internasional yang mereka sandang, pihak sekolah masih mengutip biaya Rp 550.000-Rp 800.000 per mata pelajaran untuk penyelenggaraan uji sertifikat Cambridge Examination International yang mereka rintis.
Kemegahan dan fasilitas belajar yang membikin iri siswa sekolah reguler, apatah lagi mereka yang berasal dari sekolah swasta gurem, juga terasa di sekolah berstatus RSBI di Medan. Di SMA Negeri 1 Medan, misalnya, sejumlah ruang dan lobi sekolah sudah dilengkapi wi-fi untuk akses internet.
Tahun ini, SMA Negeri 1 Medan mendapat kucuran dana Rp 500 juta agar bisa meningkat statusnya dari RSBI menjadi SBI. Di Medan, SMA ini tergolong sekolah elite, antara lain ditandai banyak anak pejabat di daerah ini yang sekolah di sini.
Inilah wajah dunia pendidikan kita hari ini. Di tengah kenyataan masih banyak sekolah gurem yang kesulitan bertahan sekadar untuk bisa tetap "hidup", pemerintah lebih terpukau untuk menghadirkan sederet prestasi lewat keberadaan sekolah-sekolah eksklusif berlabel RSBI dan SBI. Dana ratusan juta hingga miliaran rupiah digelontorkan, sementara di belahan lain lebih banyak sekolah yang untuk memenuhi standar minimal pun masih kesulitan.
"Bentuk-bentuk pendidikan eksklusif makin memperlebar kesenjangan sosial. Ini bertentangan dengan undang-undang yang mengamanatkan negara menyediakan pendidikan merata, terjangkau, dan berkualitas," kata Ki Priyo Dwiarso, Panitera Umum Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. Kenyataan ini sekaligus membenarkan kritik sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu: sekolah hanya menjadi lembaga reproduksi kesenjangan sosial! (Mohammad Hilmi Faiq/ Irene Sarwindaningrum)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/07/05175416/kesenjangan.menganga.
SEKOLAH GUREM
Bertahan di Tengah Berbagai Kesulitan
Jumat, 7 Mei 2010 | 05:17 WIB
Bangunan dengan papan nama SMA Dwi Saka, yang menempel di sebelah pintu masuk, itu lebih mirip kamar mandi umum di permukiman kumuh. Ruang guru yang ada di sebelah kanan pintu masuk hanya diisi satu bangku kayu panjang. Ruang kelasnya hanya lantai semen yang bolong di sana-sini. Sekat dindingnya tidak penuh. Satu-satunya pemandangan yang cukup menyegarkan mata hanya catnya yang berwarna hijau muda.
Jumat (30/4) siang itu, di ruang kelas II, seorang gadis belia sedang duduk berhadapan dengan seorang siswa yang matanya kelihatan mengantuk. Dengan sabar gadis itu membacakan definisi kehidupan biotik dan nonbiotik.
"Ini bukan kelas privat, teman-temannya yang lain entah ke mana," kata Delivia (22), guru honorer yang sudah tiga tahun mengajar di SMA Dwi Saka.
Sore itu Delivia seharusnya memberi mata pelajaran Biologi kepada 30 siswa kelas II. Akan tetapi, di SMA Dwi Saka pengajaran jarang berjalan normal. "Siswa yang sekolah di sini kebanyakan lulusan program Kejar Paket B. Ada yang pagi dan malam kerja jadi pengamen, makanya sekolah masuknya siang," kata Syafii, Kepala SMA Dwi Saka.
SMA Dwi Saka termasuk 10 sekolah swasta yang diusulkan Dinas Pendidikan DKI Jakarta untuk ditutup atau dimerger. Alasan mereka, dalam dua tahun berturut-turut semua siswa kelas III dari sekolah itu tidak lulus ujian nasional alias UN.
"Tahun lalu hanya 13 orang, tidak seberapa heboh. Tahun ini ada 34 orang yang tidak lulus dan kami tiba-tiba ada di media," kata Syafii sambil tertawa kecut.
Terkena stigma
SMA Dwi Saka yang berdiri sejak tahun 1954 berlokasi di belakang Rumah Sakit Ibu dan Anak Tambak, Kelurahan Pegangsaan, Jakarta Pusat. Berada di lingkungan yang warganya kerap terlibat tawuran, sekolah tersebut harus menanggung stigma sebagai sekolah bermasalah.
"Kami beberapa kali mengajukan proposal bantuan dana, tapi gagal karena pemerintah mengecap sekolah ini banyak masalah. Misalnya, siswa kami dianggap terlibat narkoba, ada di jalur hijau, dan rentan terkena dampak tawuran warga," kata Syafii.
Untuk operasional harian, seperti membayar gaji guru, sekolah bergantung pada donasi dari yayasan dan sumbangan pendidikan dari siswa yang besarnya Rp 75.000 per orang per bulan. "Guru di sini kebanyakan pengajar di sekolah lain juga, jadi di sini hanya honorer," kata Syafii.
Meskipun kesulitan keuangan, SMA Dwi Saka tetap berusaha menerima murid. "Warga juga minta supaya jangan ditutup, kasihan anak-anak, mau sekolah di mana lagi," kata Syafii.
Dengan fasilitas dan kualitas siswa yang serba terbatas, sulit mengharapkan siswa kelas III mampu mengerjakan soal-soal UN. Jili (17), siswa kelas III, mengaku paling kesulitan ketika mengerjakan bagian listening dalam ujian Bahasa Inggris. "Di kelas enggak pernah diajarin," ujarnya.
Meskipun dikabarkan tidak lulus UN, Jili berencana melamar kerja di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta Pusat. Ia sedang mengurus surat keterangan dari sekolah yang menyatakan sedang menunggu surat kelulusan. Jili pasrah jika manajemen rumah sakit menolak lamarannya karena ia gagal lulus.
"Saya enggak keberatan mengulang. Ijazah SMA penting supaya bisa kerja. Lagi pula di sini enak, gurunya baik-baik, enggak pernah maen tangan sama murid," kata Jili. (Doti Damayanti)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/07/05170684/bertahan.di.tengah.berbagai.kesulitan
ORIENTASI PENDIDIKAN
Membangun Karakter atau Gengsi?
Jumat, 7 Mei 2010 | 05:16 WIB
"Who can describe, what linear expansion means?" tanya Riska (30), sarjana lulusan Institut Pertanian Bogor, yang tengah menjelaskan pemuaian kepada siswanya. Riuh sekelompok anak-anak di bangku depan sebelah kanan menjawab, "Memuai lurus, Bu."
Dengan bantuan simulasi komputer yang diproyeksikan ke layar putih, ia menunjukkan animasi batang besi yang memanjang setelah dipanaskan. "Oh, memanjang, ya, Bu," seru mereka.
Ada rasa bangga, ada harapan, saat melihat anak-anak SMP Negeri 11, Jakarta Selatan, yang sejak tahun lalu berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI).
Kepala Sekolah SMP Negeri 11 Haryadi mengatakan, pihaknya berusaha mendorong para siswa lebih berani. "Hal itu sesuai dengan poin keunggulan internasional yang menjadi kelebihan RSBI selain delapan standar nasional yang harus dipenuhi," ujar dia.
Meski begitu, semua itu tidak diraih anak dengan mudah. Meski banyak penyelenggara RSBI atau SBI mengatakan uang tidak menjadi pertimbangan, tetap saja prasarana untuk menjamin kenyamanan belajar siswa tidak murah. Kelas berpendingin ruangan, punya perlengkapan belajar multimedia, kunjungan guru dari luar negeri, peningkatan kapasitas guru, hingga koneksi internet tak terbatas.
Samidi, Kepala SMP Negeri 49 Jakarta yang juga berstatus RSBI dan menandatangani nota kesepahaman dengan SIGLAP Secondary School di Singapura, mengatakan, masalah uang tidak menjadi pertimbangan dalam penerimaan. "Tetapi, yang mau masuk kan mikir juga, apa iya nanti saat kunjungan ke luar negeri minta biaya dari orang lain? Tidak semua bisa dibantu dana pemerintah," kata Samidi.
Bagi penyelenggara RSBI atau SBI, biaya tinggi yang dibayarkan siswa sebanding dengan keunggulan yang ditawarkan, yaitu lulusan diakui secara nasional dan internasional karena beberapa mata pelajaran, terutama sains, diberikan dengan pengantar bahasa Inggris.
Penanggung jawab RSBI SMP Negeri 11 Jakarta, Tri Kartewi, mengungkapkan, selain uang pangkal Rp 7 juta, siswa juga dibebani SPP antara Rp 300.000 hingga Rp 500.000 per semester, sesuai kemampuan siswa. Bantuan dari pemerintah, Rp 50 juta pada tahun pertama dan Rp 300 juta pada tahun kedua dan ketiga setelah sekolah memperoleh status RSBI, digunakan untuk peningkatan kapasitas guru dan prasarana sekolah.
Menurut Hariyadi, bantuan pemerintah dan dana yang besar dinilainya wajar karena terkait kualitas, daya saing, dan stimulus untuk maju. Namun, sebagaimana pernah dialami SMA Negeri 10 Melati Samarinda, Kalimantan Timur, ketika bantuan dari pemerintah dikurangi, sekolah yang sebelumnya terbuka untuk semua kalangan itu menjadi elitis.
"Sekolah ingin memberi beasiswa gratis. Dari sekolah ini diharapkan lahir pemimpin Kaltim, karena itu terbuka untuk siswa berpotensi. Tetapi, ada pergantian pemerintah di daerah, misinya belum nyambung lagi," kata Hidayat, Kepala Sekolah SMA Negeri 10 Melati, Samarinda.
Meskipun demikian, baik Tri Kartewi maupun Hidayat mengatakan, sekolah mereka tetap memberi tempat kepada siswa dari kalangan tidak mampu. Di SMP Negeri 11 ada lima siswa angkatan pertama dibebaskan dari beban uang SPP dan tahun ini 100 siswa di SMA Negeri 10 Melati, Samarinda, memperoleh beasiswa penuh.
Orientasi pendidikan
Dosen Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Herry Priyono, menegaskan, pentingnya pemerintah mencermati kembali orientasi dan substansi penyelenggaraan pendidikan nasional. Menurutnya, para pemangku kepentingan pendidikan nasional jangan terjebak atau ditipu gelombang zaman.
Dalih menyiapkan anak dalam kultur global dengan membentuk sekolah berstandar internasional, menurut Herry, adalah salah. Di banyak negara yang telah mapan dan sistem pendidikannya matang, SBI tidak dibiarkan mengacak-acak sistem pendidikan yang ada," kata Herry.
Alasannya, sistem pendidikan nasional sangat terkait dan menjadi bagian keterarahan proses hidup berbangsa dan bernegara. Ia menjadi bagian integral proses politik, kebudayaan, dan kultur bangsa.
Ia mencontohkan, Pemerintah Swedia meletakkan pendidikan nasional sebagai bagian dari pembentukan etos sebagai warga negara, menjadi bagian proyek berbangsa.
"Itu memengaruhi semua cuaca pendidikan. Di Indonesia, saya khawatir itu tidak terjadi karena pendidikan nasional terjebak menjadi komoditas privat," kata Herry.
Pembentukan etos itulah yang menurut Kepala SMA Kanisius Jakarta Heru Hendarto menjadi pilihan dan misi utama sekolah berusia 83 tahun itu. Bagi dia, status bertaraf internasional tidak signifikan, apalagi setiap tahun hanya 25-30 persen dari kurang lebih 200 lulusan sekolah tersebut melanjutkan pendidikan tinggi di luar negeri.
"Secara akademis, kemampuan mereka mencukupi. Dengan proses adaptasi kurang lebih setahun mereka dapat mengikuti pendidikan di luar negeri," kata Heru.
Dengan kondisi seperti itu, ditambah mahalnya biaya mengelola SBI—karena kalau mau serius, harus ada guru berbahasa ibu bahasa Inggris—Heru memilih lebih mengarusutamakan pembentukan karakter anak didik.
"Agar mereka menjadi pribadi bermartabat, memiliki kedalaman, dengan sikap kepemimpinan yang solider, peduli pada Tanah Air, antikorupsi, mampu bertindak adil dan jujur," kata Heru.
Karena itu, di Kanisius, menyontek tidak ditoleransi. "Orientasi kami mengembangkan nilai-nilai itu, tanpa mengabaikan kualitas akademik," kata Heru lagi.
Pilihan serupa juga diambil Yayasan Insan Mandiri, Denpasar, Bali. Yayasan itu antara lain mengelola TK-SMA Santo Yosep di Denpasar dan SMA Katolik Kesuma di Mataram, NTB. Sekretaris Badan Pelaksana Kegiatan Yayasan Insan Mandiri Wayan Sarjana mengatakan, sumber daya yang dimiliki yayasan untuk menjadi RSBI, terutama di dua sekolah itu, mencukupi.
"Kami belum tertarik menjadikan sekolah kami RSBI apalagi SBI. Kami lebih tertarik menyusun program pendidikan karakter dan pemenuhan kecapakan hidup para siswa dengan melihat lingkup sekolah itu berada," kata Wayan.
Dengan itu Wayan yakin bekal pendidikan karakter maupun kecakapan hidup tersebut lebih terinternalisasi dan menambah nilai guna pendidikan formal di sekolah.
Apa yang dipilih dua sekolah tadi oleh Herry Priyono disebut membangun hasrat anak didik. Itu dibentuk dalam idiom nasional dengan konsep komprehensif, mulai dari politik, ekonomi, sosial, hingga budaya.
Keutuhan itu dibutuhkan untuk membentuk habitus anak didik, yaitu ke arah mana hasrat tersebut ingin dibangun. Rasa perasaan, cara bersikap, mengenali dan mengarahkan kehendak dan membangun keberpihakan adalah substansi yang hanya dapat dibentuk melalui pendidikan.
Bagi Herry, semua nilai itu agaknya sulit tumbuh dalam sistem yang cenderung diarahkan melayani kebutuhan pasar global. "Memang mereka akan menjadi CEO perusahaan asing, tetapi tidak untuk Indonesia," kata Herry Priyono. (DOT/ELN/BEN/JOS)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/07/05161213/.membangun.karakter.atau.gengsi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar