Hasil ujian nasional tingkat sekolah menengah atas dan sederajat serta tingkat sekolah menengah pertama tahun ini melorot dibandingkan dengan tahun lalu. Semua kaget, geram marah. Banyak spekulasi dan pengandaian. Pro dan kontra. Lumrah. Tidak masuk perkara ini ujian tingkat sekolah dasar, karena tidak diujikan nasional, sudah diduga hasilnya lebih dari 90 persen lulus.
Catatan pendek berikut tidak ingin memotret pro dan kontra tentang UN. Ajakan yang mau disampaikan adalah pengakuan bersama. Sekolah dan lingkungan sekolah tidak menjadi perhatian dan fokus kegiatan pokok anak-anak usia 6-18 tahun. Sekolah semakin jauh dari fungsinya sebagai satu-satunya sumber informasi. Mengutip Ivan Illich, sekolah sudah mati—maksudnya tidak menganjurkan sekolah dengan praksis kegiatannya diganti dengan kursus atau dengan home schooling, lebih ekstrem lagi ditutup atau menghidupkan kembali kebanggaan otodidak dengan mengedepankan sejumlah tokoh nasional yang tidak pernah duduk di bangku sekolah formal.
Pengakuan atas ketidakberhasilan, terbatas perkara UN, berarti pertobatan pertama. Pertobatan (metanoia) dalam soal ini tidak ada urusan dengan kesalehan dalam konteks keberagamaan, melainkan langkah berikut pengakuan untuk membongkar paradigma berpikir tentang praksis pendidikan serta mempersoalkan pro dan kontra ke arah solusi bersama dengan batu penjuru masa depan generasi penerus Indonesia.
Solusi
Solusi yang ditawarkan jauh dari kepentingan politis, melainkan semata-mata dari niat tulus dan bersih, yakni mengembalikan pamor sekolah. Sekolah merupakan anak tangga yang harus dilewati semua anak. Anak tangga itu bukan sekadar persyaratan yuridis (keputusan minimal lulus pendidikan dasar), melainkan lebih penting bagaimana mereka dibekali dengan keterampilan dan pengetahuan sekaligus karakter baik (pendidikan itu humanisasi, bukan hominisasi). Praksis pendidikan dijauhkan dari motivasi politik praktis. Kegiatan yang berurusan dengan humanisasi perlu dikembalikan pada yang seharusnya, yakni analog dengan membangun infrastruktur kehidupan, tak beda dengan membangun sarana transportasi atau kecukupan pangan dan papan.
Kalau pertobatan itu tidak segera dilakukan, setiap akhir tahun ajaran kita akan lelah disibukkan dengan asyik berwacana tentang perlu tidaknya dan benar tidaknya UN.
Secara positif wacana itu penting sebagai bangunan rasa memiliki, secara negatif menjadi kontraproduktif kalau dibalut dengan kepentingan-kepentingan politik sebagai bagian dari rencana-rencana jangka pendek dan kepentingan kelompok.
Apa yang perlu dipertobatkan?
Pertama, UN perlu. Sebab, setiap kegiatan pendidikan tidak ada gunanya tanpa evaluasi. Pendapat, bahkan keyakinan, benar yang paling tahu dan paling berhak menilai adalah guru, dalam hal ini sekolah. Sebaliknya, dalam sebuah masyarakat dengan tingkat mentalitas menerabas, kasarnya bermental maling seperti sekarang, harus ada lembaga ketiga yang menilai. Negara, dalam hal ini departemen teknis, Kementerian Pendidikan Nasional, wajib dan berhak melakukan penilaian.
Kedua, materi UN. Benar tingkat kemajemukan segala hal dan demografi Indonesia tidak memungkinkan satu standar nasional. Namun, perlu satu persyaratan standar minimal yang sifatnya nasional, satu standar mutu minimal kurikulum yang diberlakukan untuk semua anak negeri ini, sesuai dengan jenjangnya dan di mana pun. Pemilikan standar minimal keterampilan dan pengetahuan ini adalah hak asasi, faktor demokratisasi yang telanjur disempitkian dalam demokrasi politik. Tanpa itu upaya peningkatan mutu hanya omong kosong. Kurikulum sebagai pedoman kerja haruslah ideal, tetapi perlu ditetapkan satu pedoman kerja dengan silabus yang minimal berlaku harus dilalui oleh setiap anak didik di seluruh pelosok Tanah Air.
Ketiga, kenyataan bahwa kegiatan sekolah tidak lagi menarik—perlu ditelaah mendalam dari segala segi dan hasilnya tidak sekadar jadi keputusan politis, tetapi diimplementasikan dalam program-program kerja yang dilaksanakan. Faktor sarana pelajaran, faktor guru, dan faktor bahan pelajaran yang menyangkut isi, termasuk cara menyampaikan—merupakan tiga faktor pokok agar kegiatan sekolah semenarik berselancar di medan maya atau mendongak kaku di depan televisi—terakhir ini bahkan menjadi pengganggu ketika jam tayang dan bentuk tayangan justru tidak edukatif semata karena mengejar jam primer tayangan demi uang.
Keluhan
Pernyataan dan keluhan bahwa anak-anak sekolah, khususnya di perkotaan, lebih akrab dengan hasil teknologi seperti internet, Facebook, dan Twitter misalnya daripada menekuni buku bacaan, apalagi buku pelajaran, tidak cukup diwacanakan, tetapi perlu dikembalikan pada praksis di sekolah. Ajakan ini bukan ajakan utopis atau mimpi, melainkan komitmen yang bisa diwujudkan dengan rumusan pendek-imperatif: kembali ke sekolah!
Tiga materi dan prinsip sebagai faktor langkah-langkah pertobatan itu menuntut syarat pokok. Jadikan praksis pendidikan sebagai syarat kemajuan, tidak selesai dengan persyaratan dan keputusan politis, tetapi wujudkan dalam penganggaran. Dalam tingkat wacana dan keputusan politis sudah ditetapkan, tetapi dalam pelaksanaan nol. Menyangkut penganggaran, pertobatan tidak saja diharapkan dari eksekutif, tetapi terutama legislatif, tidak hanya di pemerintahan eksekutif, tetapi juga di parlemen-DPR.
Langkah pertobatan yang perlu dilakukan adalah jadikan praksis pendidikan analog dengan pengadaan infrastruktur. Kalau pembangunan jembatan dan jalan, juga keamanan menjadi prioritas, berlakukan sama untuk pembangunan manusia.
Keputusan politis bahwa pembangunan sumber daya manusia sebagai kunci pembangunan bukan barang hal baru. Amanah "mencerdaskan bangsa" Pembukaan UUD 1945 bukanlah kemenangan-kemenangan olimpiade beberapa anak negeri, tetapi bagaimana pendidikan dalam arti pembelajaran humanisasi dinikmati sebanyak mungkin anak negeri. Hentikan kebijakan-kebijakan pencitraan dan setengah hati—keputusan perundang-undangan anggaran pendidikan 20 persen dari total anggaran pendidikan nasional untuk kegiatan pendidikan dengan gincu macam-macam, atau program sertifikasi guru sebagai contoh, membuktikan bahwa belum ada pertobatan di kalangan pengambil keputusan politis penguasa negeri ini.
Nyinyir sudah kita mengajukan contoh-contoh keberhasilan negara maju berkat keseriusan membangun praksis pendidikan. Mati rasa elite politik, seperti disinggung Prof Syafii Maarif belum lama ini, tidak hanya menyangkut perilaku mereka, tetapi terutama perilaku "merkengkong", menutup mata terhadap kemajuan negeri tetangga karena memprioritaskan investasi pembangunan manusia.
Pertobatan tidak hanya menyangkut penyediaan dana cukup dan memadai, tetapi juga faktor perbaikan birokrasi. Birokrasi ramping dan tangguh tidak hanya menyangkut jumlah dan kompetensi, tetapi juga karakter. Dengan habitat serba "malingan" seperti sekarang, pertobatan memang melawan arus. Namun, dalam posisi sebagai birokrasi lembaga yang mengedepankan kejujuran, perse—dengan sendiri dan taken for granted—faktor kejujuran dan kerelaan hati tidak ikut korup, apalagi dana berlimpah menggoda untuk korup, menjadi syarat utama birokrasi lembaga pendidikan.
Ajakan bertobat berarti merealisasikan langkah-langkah konkret, bersama-sama mendorong di segala lini untuk menempatkan perkara pendidikan seperti halnya menempatkan perkara membangun infrastruktur fisik. Tidak hanya berlaku bagi jajaran pengambil keputusan politik dan parlemen di tingkat makro, tetapi juga di tingkat mikro dalam porsi dan tingkat masing-masing yang dilandasi opsi dasar sama: demi masa depan generasi penerus Indonesia!
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/26/05031829/pertobatan.bersamaIRENE SARWINDANINGRUM dan MOHAMAD FINAL DAENG
Kabar duka menyeruak di Provinsi DI Yogyakarta pascapengumuman hasil ujian nasional utama tahun 2010. Provinsi bereputasi baik di bidang pendidikan itu terpuruk di urutan terendah se-Jawa dalam peringkat kelulusan ujian nasional. Padahal, tak kurang-kurang persiapan yang dilakukan menjelang ujian nasional. Namun, penyebab tingginya angka kegagalan masih kabur.
Angka kelulusan ujian nasional (UN) utama SMA/MA/SMK DI Yogyakarta tahun ini 76,3 persen. Bukan main-main. Angka itu turun 18,8 persen dari kelulusan tahun 2009. Tahun ini, dari 39.938 peserta UN, 9.237 siswa di antaranya gagal. Itulah posisi terendah dalam delapan tahun terakhir.
Selain mengecewakan, fakta itu juga mengejutkan. Tingkat kelulusan DIY tahun 2009 naik tinggi, yaitu 7 persen, dari tahun 2008.
Sekolah-sekolah favorit yang biasa meluluskan 100 persen siswanya tahun ini tak terhindar dari kegagalan. Dari 390 SMA/MA/SMK di DIY, hanya empat sekolah meluluskan 100 persen. Itu pun sekolah swasta dengan siswa kurang dari 20 anak dan bukan sekolah favorit.
Dari sisi persiapan, sebagian besar sekolah dan pelajar sudah maksimal. Di SMA Negeri 1 Sedayu, Bantul, ada tujuh program persiapan UN utama. Selain bimbingan belajar intensif, diadakan pula 13 kali uji coba UN, bimbingan khusus dari guru mata pelajaran, hingga bimbingan psikologi. Sekolah juga menambah jam pelajaran dari 36 jam menjadi 42 jam sepekan, khusus untuk tambahan pelajaran UN.
Namun, angka kelulusan di SMA itu jauh dari harapan. "Dari 330 peserta, 116 orang di antaranya tak lulus. Tahun lalu, dari 342 murid, hanya 8 murid kami yang tidak lulus," tutur Kepala SMA Negeri 1 Sedayu Sumiyono, Rabu (12/5).
Sejak kelas II
Di SMA Negeri 4 Yogyakarta, persiapan UN dilakukan sejak pelajar kelas II. Tahun ketiga, bimbingan diintensifkan dengan pelajaran khusus latihan mengerjakan dan membahas soal UN setiap hari Jumat. Tahun ini, 20 dari 120 peserta UN utama di SMA itu tidak lulus. "Tahun lalu dua pelajar tak lulus UN," kata Kepala SMA Negeri 4 Yogyakarta Suradi.
Untuk menyiapkan UN ulangan, SMAN 4 Yogyakarta mengadakan bimbingan belajar khusus bagi anak yang tidak lulus. Mereka harus masuk sekolah setiap hari, sejak pengumuman kelulusan UN utama hingga pelaksanaan UN ulangan.
Selain mengikuti bimbingan belajar di sekolah, sebagian pelajar juga mengikuti les dan bimbingan belajar di luar sekolah yang biayanya mencapai Rp 3 juta. Pelajar SMA Stella Duce 1 Yogyakarta, Ayu Kusuma (18), misalnya, les privat sepekan dua kali khusus menghadapi UN utama. Ia gagal pada mata uji Matematika.
Sejumlah dugaan
Faktor-faktor penyebab merosotnya kelulusan UN utama di DIY baru dugaan, mulai bobot soal yang lebih sulit, majunya jadwal ujian nasional, pengawasan ketat, hingga maraknya peredaran kunci jawaban yang salah. Sejauh ini belum satu pun dugaan dipastikan.
Koordinator Pelaksana UN DIY Baskara Aji di Yogyakarta, Senin (17/5), mengatakan, banyak laporan, peserta UN percaya begitu saja kunci jawaban yang beredar melalui pesan layanan singkat (SMS). Padahal, tak satu pun kunci jawaban itu benar.
Menurut dia, evaluasi memastikan penyebab jatuhnya UN baru dilakukan pertengahan Juni 2010 setelah seluruh hasil UN ulangan diperoleh. Tujuannya, hasil evaluasinya menyeluruh dan tak sepotong-sepotong.
Evaluasi meliputi proses pembelajaran di sekolah, kualitas guru, dan lingkungan sekolah. "Kalau dievaluasi sekarang, hanya akan melihat hasil UN utama," katanya.
Menurut pemerhati pendidikan sekaligus guru Bahasa Indonesia SMA Kolese De Britto, ST Kartono, turunnya tingkat kelulusan di DIY disebabkan faktor di luar proses pembelajaran dan kualitas guru. Sebab, penurunannya sangat drastis.
"Ada faktor X. Kalau dari guru atau proses pembelajaran, proses penurunan prestasi akan terlihat. Polanya menurun sedikit-sedikit selama bertahun-tahun," tuturnya.
Dugaan lain, ketatnya pengawasan UN yang memperkecil kesempatan berbuat curang mengandalkan bantuan jawaban dari luar ruang ujian. Bila dugaan itu benar, ada masalah besar pada pendidikan di Yogyakarta, yang selama ini tak terlihat di permukaan.
Koordinator Tim Pengawas UN SMA/MA DI Yogyakarta yang juga Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, Rochmat Wahab, membenarkan ketatnya pengawasan UN 2010. Temuan kecurangan UN di DIY berkurang drastis.
Penurunan UN
Sementara itu, Ketua Dewan Pendidikan DIY Wuryadi berpendapat, penurunan UN tanpa pola jelas mengindikasikan kesalahan pada soal yang diujikan. Bisa jadi, soal tak sesuai dengan kurikulum di sekolah. "Saat ini banyak sekolah menggunakan kurikulum 1994-1996. Padahal, sekarang kurikulum sudah sampai 2006," ujarnya.
Menanggapi hasil UN utama itu, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X kecewa. Ia berharap semua pihak membantu pelajar yang tak lulus menyiapkan UN ulangan. Bahkan, Sultan secara khusus menyemangati 500 wakil pelajar yang tak lulus UN utama di Bangsal Kepatihan sebelum UN ulangan pada 10-14 Mei 2010. Sultan juga meminta ada tim evaluasi penyebab kelulusan turun.
Meskipun kabar duka menyentak dan menggoyang predikat Yogyakarta sebagai "kota pendidikan", Wakil Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti menolak itu menandakan turunnya kualitas pendidikan di Yogyakarta. "Masih banyak parameter lain, seperti prestasi penelitian pelajar di tingkat nasional atau internasional," katanya.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/26/05021511/perkabungan.dari.di.yogyakarta
MUTU PENDIDIKAN
Entah apa yang diangankan para motor ujian nasional ketika memutuskan kebijakan itu. Alih-alih meningkatkan mutu pendidikan, ujian nasional justru menjauhkan angan dan harapan sejumlah siswa. Ijazah, bagi sebagian siswa, bagai hidup-mati perekonomian keluarga.
Salah satunya, sebut saja Murni (17), siswi SMA Gotong Royong Yogyakarta. Betapa merindunya ia pada ijazah SMA. Bukan sebagai formalitas, melainkan pintu masuk mendapat pekerjaan yang entah apa.
Faktanya, sulung keluarga miskin itu harus mengulang ujian nasional, 12-15 Mei 2010. Dan, kembali ia tak yakin lulus pada UN ulangan. "Saya takut mengecewakan keluarga lagi," katanya seusai mengerjakan UN ulangan mata uji Bahasa Inggris dan Geografi di SMA Negeri 3 Yogyakarta, Rabu (12/5).
Siang itu, Murni terlihat lelah dan muram. Semangatnya padam. Pelajar Jurusan IPS SMA Gotong Royong Yogyakarta itu seakan tahu hasil UN ulangannya. Secara psikologis ia runtuh. Padahal, ia harus memperoleh ijazah tahun ini juga. Amat dia perlukan untuk mencari pekerjaan. Ibunya sakit dan berhenti bekerja sebagai buruh cuci. Ayahnya hanya penjaga kios di Stasiun Kereta Api Tugu.
Selama ini, pendapatan ibunya merupakan pendapatan tetap keluarga, kurang dari Rp 300.000 per bulan. Pendapatan ayahnya tak pernah pasti. Kadang Rp 5.000, kadang bisa Rp 20.000 per hari. Pendapatan itu masih harus dibagi untuk pengobatan ibu dan ongkos sekolah adik Murni yang masih kelas V SD.
Alhasil, bagi Murni, ikut bimbingan belajar adalah kemustahilan. Membeli buku kumpulan soal pun amat berat. Itulah mengapa ia memilih sekolah murah dengan sarana minim.
Untuk menambah penghasilan keluarga, Murni, ketika masih kelas II SMA, bergantian dengan ayahnya menjaga kios. Jam kerjanya pukul 14.00 hingga pukul 19.00 atau pukul 19.00 hingga pukul 23.00.
Sejak itu, prestasi sekolah Murni menurun. Ia tak punya waktu belajar. Waktu senggangnya banyak dihabiskan mengurus pekerjaan rumah tangga. Menonton televisi? Tak ada di rumahnya. Sesekali, ia membawa buku ke kios, tetapi deru kereta dan kebisingan stasiun membuyarkan konsentrasi.
"Secara akademis, sebenarnya ia bisa lulus ujian. Di SMP, ia lancar-lancar saja," kata gurunya, Yitro.
Murni paham betul kendala yang menghambatnya lulus UN. Namun, ia tak punya daya mengatasinya. Kegalauannya terpendam tanpa tahu jalan keluar. "Saya malu dan kecewa, tetapi mau menyalahkan siapa atau mau bagaimana? Saya juga tak tahu. Yang penting sekarang, bagaimana caranya bisa cepat dapat ijazah," ujarnya pelan.
Ia menolak ditemui di rumahnya di kawasan Tompeyan, sekitar 4 kilometer barat perempatan Tugu, ikon kota Yogyakarta. Alasannya, keluarganya miskin sehingga ia malu.
Bantul
Belasan kilometer dari rumah Murni, di Dusun Pedes, Argomulyo, Bantul, permasalahan serupa merundung Pawestri Sujayati (18), siswi SMA Negeri 1 Sedayu, Bantul. Dari enam mata pelajaran, Pawestri gagal di tiga mata uji UN, yaitu Kimia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Dari 330 peserta UN utama di sekolahnya, 116 pelajar di antaranya gagal.
Selama kelas III, Pawestri mengandalkan catatan dan fotokopi catatan teman-temannya. Ia berniat mengikuti Paket C bila tetap gagal UN ulangan demi ijazah. "Saya harus bekerja secepatnya. Apa saja, yang penting bisa segera membantu ekonomi keluarga," katanya di rumahnya yang sederhana.
Pendapatan orangtua Pawestri sangat minim. Dari memburuh di sawah, ayahnya memperoleh empat karung beras setiap panen sekitar empat bulan sekali. Beras itu hanya cukup untuk makan keluarganya. Pendapatan tunai diperoleh dari pekerjaan sambilan ibunya: mengasuh anak tetangga, Rp 200.000 sebulan.
Untuk SPP dan uang saku Pawestri, Mariyati (46), ibunya, harus menyisihkan setidaknya Rp 117.000 setiap bulan. Lebih dari separuh penghasilannya.
Padahal, Mariyati masih membiayai anak keduanya di kelas V SD. "Ibaratnya, makan pakai garam tidak apa-apa asal anak-anak bisa sekolah. Paling tidak sampai lulus SMA," tuturnya.
Oleh karena itu, Mariyati sangat kecewa anaknya gagal UN. Ia berharap Pawestri segera bekerja meringankan ekonomi keluarga. Di angan-angan Mariyati yang sederhana, sekolah adalah jembatan mengubah nasib. Namun, angan-angan itu begitu rapuh.
Tak pandang bulu
Murni dan Pawestri adalah dua dari 9.237 pelajar SMA/MA/SMK pelajar di DIY yang gagal UN utama tahun ini. Jumlah itu 23,7 persen dari total 39.938 peserta UN utama di DIY tahun 2010 atau turun 18,8 persen dari tahun lalu.
Kegagalan itu bukan milik si miskin. Tak pandang bulu. Termasuk memudarkan impian pelajar yang secara ekonomi terbilang mampu dengan kemampuan akademis di atas rata-rata.
Salah satunya siswa SMA Negeri 1 Yogyakarta, Angga Roudhatul (17). Ia terpaksa batal ikut ujian seleksi masuk beberapa perguruan tinggi negeri yang dicita-citakannya. Angga gagal pada mata uji UN Kimia dengan nilai 3,75.
Padahal, selama di SMA, nilai rapor Angga tak pernah kurang dari 8. Nilai-nilai Angga di lima mata uji UN lainnya pun di atas rata-rata minimal kelulusan 5,5. Angga sebenarnya sudah diterima di Jurusan Agrobisnis Universitas Gadjah Mada melalui jalur ujian tulis yang dikenal sulit ditembus. Ibu Angga, Anik (43), berharap pemerintah bijak memberlakukan UN sehingga ujian tak menambah beban masyarakat. Menurut Anik, UN lebih tepat dijadikan alat memetakan pendidikan, bukan syarat kelulusan sekolah.
Pemberlakuan UN sebagai syarat kelulusan membuat pelajar tertekan. Orangtua pun ikut cemas. Selain itu, UN juga menambah beban ongkos pendidikan.
Lalu, apa hasil UN bagi dunia pendidikan itu sendiri? Sejauh ini, evaluasi UN hanya menampilkan angka dan statistik kelulusan. Bagi sebagian siswa, UN bahkan menjadi tembok penghalang di antara cita atau angan siswa. (IRE/ENG)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/26/05011660/angan-angan.patah.bersama.ijazah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar