Ki Supriyoko
Tidaklah keliru kalau kinerja pendidikan suatu negara dapat dilihat dari prestasi siswa: semakin bagus prestasinya, semakin memadai kinerja pendidikan. Tidak keliru pula kalau prestasi siswa sangat bergantung pada profesionalisme guru: semakin profesional guru, semakin bagus pula prestasi siswa.
Logika di atas mengantarkan kita pada sebuah realitas bahwa profesionalisme guru secara tidak langsung sangat menentukan kinerja pendidikan nasional.
Maka, untuk memantapkan kinerja pendidikan nasional, perlu peningkatan profesionalisme guru. Kalau kinerja pendidikan nasional masih jauh dari mantap, hal itu disebabkan belum profesionalnya para guru.
Profesionalisme guru memang menjadi problematika serius di Indonesia. Di tengah perkembangan informasi yang begitu mudah diakses di internet, ternyata masih banyak guru yang materi mengajarnya sudah kedaluwarsa. Lebih memprihatinkan lagi, saat berbagai teknologi komunikasi tersedia lengkap, ternyata masih banyak guru yang metode mengajarnya ketinggalan zaman, baik di tingkat pendidikan dasar, menengah, maupun tinggi.
Upaya peningkatan
Pemerintah sebenarnya telah berusaha mendongkrak profesionalisme guru dengan memberikan kompensasi kesejahteraan dalam bentuk tunjangan profesi. Usaha ini diawali dengan UU Guru dan Dosen yang berisi ketentuan untuk meningkatkan profesionalisme guru dan menjamin kesejahteraan guru.
Usaha tersebut direalisasi dengan proses sertifikasi yang sudah berlangsung beberapa tahun terakhir. Guru yang berhasil menempuh proses ini mendapat sertifikat pendidik sebagai simbol profesionalisme, selanjutnya diikuti dengan tunjangan profesi yang jumlahnya memadai.
Yang gagal menempuh jalur portofolio masih mendapat kesempatan meraih sertifikat pendidik melalui "jalur pertemuan" dengan waktu hampir 100 jam efektif. Guru yang lulus jalur ini pun berhak atas sertifikat pendidik dan tunjangan profesi.
Sertifikat pendidik memang menjadi bukti profesionalisme guru sebagaimana disebutkan Pasal 2 UU Guru dan Dosen: bahwa guru berkedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai peraturan perundang-undangan (Ayat 1); dan pengakuan guru sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik (Ayat 2).
Apakah benar guru yang besertifikat pendidik adalah guru profesional? Di sinilah masalahnya. Banyak guru mengikuti proses sertifikasi hanya untuk mengejar tunjangan profesi sehingga segala cara ditempuh. Di antaranya memalsu sertifikat, memalsu karya ilmiah, dan memalsu SK. Atas realitas ini orang meragukan profesionalisme guru meski yang bersangkutan punya sertifikat pendidik.
Peran masyarakat
Oleh karena itu, untuk memantapkan kinerja pendidikan nasional perlu langkah awal dengan meningkatkan profesionalisme guru secara tepat. Ini tidak hanya menjadi tugas pemerintah melainkan juga kelompok masyarakat. Tugas itu relevan dengan ketentuan undang-undang bahwa masyarakat pun harus berperan dalam memajukan pendidikan nasional.
Selama ini memang sudah ada berbagai kelompok masyarakat yang peduli pendidikan, khususnya peduli terhadap guru. Berbagai kegiatan untuk meningkatkan peran guru, antara lain, seminar, diskusi, workshop. Tupperware, misalnya, adalah lembaga yang konsisten mengadakan program berkelanjutan dari serangkaian kegiatan yang berfokus kepada pendidikan, kebersihan, dan kesehatan anak sekolah. Dalam peringatan Hari Pendidikan kali ini pun, lembaga tersebut mengadakan kegiatan untuk meningkatkan profesionalisme guru dengan tema mencerahkan dan memberdayakan peran guru.
Bila pemerintah pintar mengelola potensi masyarakat, akan lebih banyak lagi kelompok masyarakat yang berpartisipasi mengatasi berbagai problematika pendidikan, termasuk profesionalisme guru.
Kalau hal itu bisa terjadi, kekurangan program pemerintah dapat ditutup dengan kelebihan program masyarakat. Di sisi lain, kelebihan program pemerintah dapat digandakan dengan kelebihan program dari berbagai kelompok masyarakat. Dengan cara inilah kinerja pendidikan nasional akan semakin mantap.
Ki Supriyoko Direktur Pascasarjana Universitas Tamansiswa Yogyakarta dan Anggota Dewan Kehormatan Guru Indonesia - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/03/04470299/memantapkan.kinerja.pendidikan
Mochtar Buchori
Menurut sebuah aliran pedagogik, mendidik adalah upaya membimbing peserta didik untuk dapat menjalani dan memahami kehidupan. Dalam kerangka ini, ada tiga tujuan yang harus dicapai para anak didik: kemampuan untuk dapat menghidupi diri sendiri, kemampuan untuk dapat hidup secara bermakna, dan kemampuan untuk dapat turut memuliakan kehidupan.
Untuk mencapai ketiga tujuan, para anak didik harus menjalani pendidikan yang berat. Mereka harus mengikuti program pendidikan yang mencakup tiga komponen utama: menguasai sejumlah pengetahuan, sejumlah keterampilan, dan memahami arti kearifan bagi kehidupan.
Kekuatan model pendidikan ini terletak pada prinsip bahwa ketiga tujuan harus dicapai bersamaan. Kemampuan menghidupi diri sendiri harus dilakukan dengan cara yang tidak mengurangi makna kehidupan pribadinya dan juga tidak merusak kemuliaan kehidupan itu sendiri, yakni martabat atau kemuliaan kehidupan masyarakat. Bagaimana caranya mendapatkan kecukupan tanpa menjadikan dirinya ejekan masyarakat dan tanpa membuat masyarakat tempat ia tinggal atau institusi tempat ia bekerja turut tercemar citranya? Ini tak mudah! Ini mengharuskan seluruh anggota masyarakat turut berpikir dan turut peduli terhadap tindakan setiap anggota masyarakat lainnya.
Model pendidikan ini juga melatih para anak didik untuk berpikir melalui alternatif-alternatif. Kalau suatu tindakan diperkirakan akan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya, harus dicari alternatifnya. Kalau melaksanakan suatu keputusan pemerintah melalui kekerasan ternyata menyengsarakan banyak orang, maka itu jelas bukan tidakan yang memuliakan kehidupan. Harus dicari alternatifnya dan bukan menggerutu, mengatakan bahwa masyarakat bodoh, dan mencampuradukkan persoalan.
Kelebihan lain ialah bahwa dalam model pendidikan ini para anak didik sejak dini dilatih berpikir reflektif. Melalui penjelasan-penjelasan tentang arti "hidup yang bermakna" dan "memuliakan kehidupan", para anak didik sejak dini sudah dilatih untuk merenungkan makna, maksud, dan tujuan hidup dan kehidupan.
Apakah program pendidikan seperti ini tidak terlalu berat? Kalau kita bandingkan dengan program pendidikan yang selama ini kita laksanakan, memang program yang dianjurkan aliran pedagogik ini tampak berat. Namun, apakah model pendidikan yang kita laksanakan selama ini yang paling baik dan harus dilanjutkan?
Bahwa generasi dewasa yang sekarang ini banyak melakukan tindakan yang membuat hidup bangsa jadi kurang bermakna dan kurang mulia menunjukkan ada sesuatu yang kurang benar dalam tradisi pendidikan bangsa kita selama ini. Kita harus mengoreksi kalau kita menginginkan terwujudnya kehidupan bangsa yang lebih mulia dan dihormati dunia.
Kehidupan bangsa dewasa ini
Dapatkah kehidupan kita sekarang ini disebut "kehidupan yang mulia" (a noble life)? Saya rasa tidak, atau paling tidak belum! Masih terlampau banyak noda kehidupan yang memalukan dalam diri kita. Korupsi, kesewenang-wenangan, penyalahgunaan kekuasaan merupakan sedikit contoh dari sifat-sifat bangsa yang tidak mulia ini. Memuliakan kehidupan bangsa mengandung perintah (imperatif) untuk membuang sifat-sifat ini dan menggantinya dengan ciri-ciri kehidupan yang lebih utama, lebih mulia. Usaha memberantas kemiskinan adalah suatu contoh dari upaya memuliakan kehidupan bangsa ini. Begitu pula usaha memberantas korupsi dan melawan kesewenang-wenangan aparatur pemerintah.
Sungguh sayang, usaha-usaha ini hingga kini belum memperlihatkan hasil yang nyata. Beberapa usaha bahkan "menguap" menjadi slogan kosong belaka. Kita perlu bertanya, apa yang menyebabkan kegagalan total dari upaya-upaya yang mulia ini. Ketidakpahaman akan sifat masalah yang kita hadapi? Atau tidak adanya niat yang sungguh-sungguh ketika merancang dan merumuskan berbagai program? Ataukah program-program itu diciptakan sekadar untuk kosmetik politik, tanpa niat untuk benar-benar melaksanakannya?
Dalam hubungan ini perlu kita sadari bahwa sifat-sifat negatif bangsa yang melekat pada diri kita ada yang tampak mudah dan sederhana, tetapi banyak juga yang sejak semula sudah kelihatan sangat kompleks dan tidak mudah. Di samping itu, masalah-masalah yang merusak citra kita sebagai bangsa juga memiliki akar persoalan yang berbeda-beda. Memberantas korupsi dan memberantas arogansi birokrasi, misalnya, merupakan dua soal yang berbeda dan oleh karena itu cara memberantasnya pun harus berlainan.
Kalau memberantas korupsi—atau setidaknya menguranginya—dapat dilakukan dengan langkah-langkah hukum, maka arogansi birokrasi saya kira tidak dapat diberantas melalui hukum. Kritik publik lebih efektif untuk memerangi arogansi birokrasi daripada hukum.
Memuliakan kehidupan bangsa tidak harus selalu berupa langkah menghapus yang buruk dan mengganti dengan yang lebih baik. Yang lebih mulia lagi ialah langsung menciptakan yang indah yang langsung dapat dinikmati banyak orang. Pelukis-pelukis adalah orang yang secara langsung memuliakan kehidupan bangsa. Begitu pula para sineas dari almarhum Usmar Ismail sampai ke Garin Nugroho dan Riri Reza sekarang ini adalah tokoh-tokoh yang berhasil memuliakan kehiduan bangsa, sekaligus menemukan kehidupan yang bermakna dan berhasil menghidupi diri sendiri.
Kalau dalam masyarakat terdapat anggota yang berhasil memuliakan kehidupan bangsa dan sekaligus mengembangkan kehidupan yang bermakna dan menghidupi diri sendiri, mengapa usaha-usaha pemerintah untuk turut memuliakan kehidupan bangsa tidak berhasil?
Salah satu sebab menurut pendapat saya ialah penyakit yang bernama "arogansi birokrasi". Kerusuhan di Koja, Jakarta Utara, baru-baru ini, merupakan salah satu contoh penyakit ini. Dan, penyakit ini muncul lagi dalam pernyataan beberapa pejabat bahwa rakyat salah besar menghubung-hubungkan masalah penertiban lingkungan dengan sebuah makam. Ini ucapan yang jelas memperlihatkan tak adanya kemampuan—dan mungkin sekali juga tak adanya kesediaan—memahami persepsi masyarakat.
Selama antara pemerintah dan masyarakat tidak terdapat pendekatan mengenai masalah ini, selama itu pula kekisruhan seperti yang terjadi di Koja akan terulang kembali. Kalau tidak di Jakarta, bentrokan ini akan muncul di tempat lain. Dan, kehidupan bangsa yang mulia tidak akan pernah terwujud di Tanah Air tercinta ini.
Mochtar Buchori Pendidik - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/03/04453031/memuliakan.kehidupan.bangsa
Darmaningtyas
Pemerintah, ceq Kementerian Pendidikan Nasional, sedang menyiapkan regulasi baru sektor pendidikan sebagai pengganti Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Adapun bentuk regulasi masih bersifat polemis: perpu, UU, atau peraturan pemerintah.
Para rektor perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) mengusulkan peraturan itu dalam bentuk perpu yang kelak dapat disahkan menjadi UU sehingga menjadi lebih kuat. Sebaliknya, penulis mengusulkan dalam bentuk PP sebagai turunan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003.
Berdasarkan pemaparan Kementerian Pendidikan Nasional kepada sejumlah rektor PTN dan PT BHMN di Jawa (25/4/2010), apa pun bentuk peraturan yang akan diajukan ke Presiden, roh (substansi)-nya sama dengan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), hanya bungkus yang berganti. Rancangan regulasi ini merupakan kanibalisasi dari UU BHP yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu terlihat dari kerangka (sistematika) perpu/RUU/PP yang dipaparkan.
Istilah kanibalisasi dalam tulisan ini merujuk pada Kamus Bahasa Indonesia yang disusun Em Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja, yaitu pembongkaran bagian-bagian (onderdil dan sebagainya) tidak untuk merusak, tetapi memperoleh bagian-bagian yang masih dapat berfungsi dan dipakai di bagian lain. Apa yang dipaparkan Kementerian Pendidikan Nasional itu jelas merupakan bentuk kanibalisasi dari UU BHP. Hanya ada perubahan redaksional saja, terutama menyangkut pengaturan keberadaan yayasan, perkumpulan, badan wakaf, atau badan hukum lain sejenis yang selama ini menyelenggarakan pendidikan.
Kanibalisasi UU BHP itu menunjukkan pemerintah tak rela atas pembatalan UU BHP oleh MK sehingga berupaya tetap menghidupkan roh (BHP) dengan jasad berbeda. Ini hanya manipulasi terminologi saja. Cara itu ditempuh pemerintah karena di satu sisi tidak mau dituduh melanggar putusan MK, di sisi lain mereka juga tidak ingin dipermalukan atas pembatalan UU BHP. Mereka sudah telanjur teken kontrak dengan Bank Dunia melalui Proyek Pengembangan Relevansi dan Efisiensi Pendidikan Tinggi untuk mewujudkan UU BHP paling lambat tahun 2010.
Kecurigaan akan terjadi kanibalisasi UU BHP sudah muncul sejak 31 Maret 2010 ketika MK memutuskan pembatalan UU BHP. Beberapa SMS yang masuk ke penulis mengingatkan jangan lengah dengan "kemenangan" karena pemerintah pasti segera akan membuat aturan sejenis, hanya bungkusnya saja yang berbeda. Kecurigaan mereka itu sekarang terbukti di lapangan.
Menolak kanibalisasi
Mencermati pemaparan Kementerian Pendidikan Nasional mengenai draf regulasi baru bidang pendidikan pengganti UU BHP yang akan disodorkan kepada Presiden, yang ternyata berupa kanibalisasi UU BHP, maka usulan regulasi baru tersebut perlu dicermati dan sekaligus disikapi secara tegas sejak dini sebelum telanjur membuang energi yang terlalu banyak dan sia-sia saja. Para penolak UU BHP jelas menolak rencana kanibalisasi tersebut. Diharapkan, Presiden pun perlu hati-hati dalam menentukan pilihan karena kemungkinan terjadi eskalasi penolakan secara masif akan lebih besar dibandingkan dengan penolakan terhadap RUU BHP.
Menghadapi RUU BHP dulu, suara mahasiswa tidak solid karena sangat dipengaruhi oleh seniornya di parlemen. Namun, setelah ada pembatalan UU BHP oleh MK, suara mereka lebih solid sehingga upaya-upaya untuk menghidupkan kembali roh UU BHP akan dihadapi dengan gerakan yang lebih keras dan masif dibandingkan dengan penolakan terhadap RUU BHP dulu.
Mengingat yang terjadi kekosongan hukum hanya pada ketujuh PT BHMN, langkah yang paling bijak adalah mengembalikan PT BHMN menjadi PTN milik publik yang dapat diakses semua warga, yang cukup diatur dengan PP yang merupakan turunan dari UU Sisdiknas, bukan justru menghidupkan kembali roh UU BHP yang sudah dimatikan MK. Menghidupkan kembali UU BHP dengan jasad baru berpotensi menimbulkan ketegangan di masyarakat yang akhirnya membuang energi dan biaya secara sia-sia.
Pemerintah perlu menyadari kekeliruannya dan kemudian membuka ruang dialog dengan masyarakat luas untuk merumuskan regulasi baru sektor pendidikan yang dapat menjamin hak-hak warga untuk memperoleh layanan pendidikan secara baik dan biayanya terjangkau.
Kritik terbanyak terhadap PT BHMN selama ini adalah cenderung merampas hak orang miskin untuk dapat mengakses pendidikan tinggi terbaik di negeri ini akibat dari kebijakan penerimaan mahasiswa baru yang didasarkan pada besaran uang sebagai penentu diterima/tidaknya seseorang di suatu PT BHMN. Oleh sebab itu, langkah pengembalian PT BHMN menjadi PTN itu jauh lebih bijak. Bila kendala pengembangan PTN adalah keterbatasan dana dan kekakuan di dalam penggunaan anggaran negara bukan pajak, pemerintah perlu menambah anggaran khusus untuk PTN dan mengubah UU Keuangan, khususnya yang mengatur mengenai penggunaan anggaran oleh lembaga-lembaga pemerintah yang menjalankan pelayanan umum, seperti pendidikan dan kesehatan, termasuk PTN.
Tak ada salahnya perguruan tinggi yang bagus mendapat alokasi dana besar dari negara karena mereka menjalankan tugas mulia mencerdaskan kehidupan dan menyiapkan calon-calon pemimpin bangsa. Argumentasi bahwa pemerintah tidak mempunyai dana untuk membiayai pendidikan tinggi tidak sepenuhnya dapat diterima. Terbukti dalam RAPBN 2011 subsidi khusus untuk energi saja mencapai Rp 148 triliun, padahal subsidi itu terbesar dinikmati oleh golongan menengah ke atas.
Lebih baik subsidi untuk sektor energi itu dipotong dan dialihkan untuk anggaran pendidikan, termasuk PTN. Dengan menaikkan anggaran pendidikan untuk PTN, semua PTN termasuk PT BHMN yang sudah kembali ke PTN dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi yang berkualitas internasional dan memberikan gaji tinggi kepada dosen, termasuk guru besar, tanpa harus membebani masyarakat lagi dengan uang masuk tinggi. Sungguh ironis di negeri ini, gaji seorang profesor doktor justru jauh lebih rendah daripada gaji tukang pungut (pajak).
Jadi, baik untuk membuat PTN yang bagus dan bertaraf internasional maupun otonom tidak harus mengubah PTN menjadi PT BHMN atau badan layanan umum, apalagi harus membuat UU baru, tetapi cukup dengan kemauan politik yang diimplementasikan melalui PP dan peningkatan anggaran pendidikan dari pemerintah.
Sikap pemerintah yang tetap ngotot menghidupkan roh UU BHP itu menunjukkan komitmen pemerintah bukan pada peningkatan mutu PTN dan penjaminan hak warga atas pendidikan tinggi, melainkan kesetiaan kepada Bank Dunia untuk mewujudkan UU BHP paling lambat tahun 2010 ini. Oleh karena jasad UU BHP sudah dimatikan MK, rohnyalah yang dihidupkan kembali agar tidak dipersalahkan Bank Dunia. Mengingat kesetiaan kepada Bank Dunia lebih diutamakan daripada mengabdi bagi kepentingan warga, kanibalisasi UU BHP itu harus ditolak secara dini.
Darmaningtyas Penulis Buku "Tirani Kapital dalam Pendidikan, Menolak UU BHP" dan Pengurus Majelis Luhur Tamansiswa - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/03/0443515/kanibalisasi.uu.bhp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar