Clara wresti
Sungguh, kalau bisa berteriak, Emma (41) akan berteriak. Ia dimintai Rp 12,5 juta untuk memasukkan anaknya ke sebuah SMP swasta. Padahal, SMP itu bukan sekolah yang mereka minati. Adapun sekolah yang diminati, pendaftarannya baru dibuka bulan depan.
Terjepit. Inilah kondisi yang dialami sebagian orangtua yang tahun ini harus mendaftarkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi.
Mereka tentu ingin mendaftarkan anak-anak mereka di sekolah swasta unggulan. Namun, sebagian di antara sekolah swasta unggulan itu pendaftarannya dibuka lebih lambat daripada sekolah-sekolah biasa. Begitu juga dengan sekolah negeri yang baru membuka pendaftaran setelah murid-murid menyelesaikan ujian akhir sekolah.
Kalaupun masih berharap dapat kursi di sekolah swasta unggulan, peluang kian tipis lantaran saingan akan begitu banyak. Sepertinya, kebanyakan murid yang lulus tahun ini akan mendaftar di sekolah semacam itu. Menggantungkan harapan bisa diterima di sekolah negeri juga penuh risiko. Jika gagal, bukan tak mungkin semua peluang akhirnya tertutup.
Kepastian menjadi barang mahal. Apalagi, bila nilai ujian akhir sang anak hanya pas-pasan. Kemungkinan diterima di sekolah unggulan pun sepertinya sangat tipis.
Ketidakpastian yang melanda orangtua inilah yang membuka peluang sekolah swasta pada umumnya membuka pendaftaran jauh-jauh hari. Bahkan, ada yang sudah membuka pendaftaran pada Oktober dan November lalu. Mereka menawarkan kepastian, atau pegangan, bagi orangtua: jika anaknya tidak diterima di sekolah unggulan, setidaknya mereka sudah diterima di sekolah lain.
Persoalan agaknya lebih ringan bagi orang berpunya. Demi kepastian, mereka tentu bersedia membayar uang muka yang ditentukan sekolah. Orangtua harus menandatangani surat bermaterai. Isinya, mereka tidak keberatan uang muka itu hangus jika anak mereka tidak jadi bersekolah di sana.
Lain halnya bagi orangtua yang kurang berpunya. Di satu sisi, mereka ingin segera mendapatkan kepastian, tetapi di sisi lain tentu sangat berat jika harus kehilangan uang muka yang cukup besar bagi mereka.
Padahal, uang yang harus dikeluarkan orangtua tidak hanya uang muka. Mereka juga harus mengeluarkan dana untuk membeli formulir pendaftaran yang harganya tidak tergolong murah.
Sebutlah SMP Tarakanita IV Rawamangun yang mematok formulir pendaftaran Rp 70.000, sedangkan SMP Labschool Rawamangun menarik biaya Rp 200.000 untuk formulir pendaftaran. SMP Theresia Menteng mengenakan Rp 210.000 untuk tes masuk, di mana Rp 110.000 di antaranya untuk psikotes.
Pihak sekolah tentu punya alasan sendiri membuka pendaftaran lebih awal. Menurut Surja Winata, Principal SMP-SMA Penabur International Kelapa Gading, "Kami ingin menjaring murid-murid terbaik sejak dini."
Bulan Januari ini, Sekolah Penabur International ini akan membuka pendaftaran untuk gelombang III. Penerimaan murid untuk gelombang I sudah dimulai sejak November 2009.
SMA Labschool membuka pendaftaran sejak 11 Januari. Proses daftar ulang di sekolah yang berada di peringkat 20 besar Provinsi DKI Jakarta itu akan ditutup pada 25 Februari.
Kepala SMA Labschool Fakhruddin, Rabu (20/1), mengatakan, pendaftaran sengaja dibuka awal lantaran masa ujian nasional (UN) juga maju. Majunya jadwal UN membuat sejumlah perguruan tinggi mempercepat masa penerimaan mahasiswa baru.
"Kami punya sejumlah kerja sama dengan perguruan tinggi untuk menyelenggarakan tes masuk ke perguruan tinggi. Karena perguruan tinggi mengubah jadwal tes, maka kami juga harus memperbaiki jadwal, antara lain mempercepat masa pendaftaran," papar Fakhruddin.
Winata mengatakan, kecenderungan sekolah-sekolah menerima murid jauh lebih awal sebetulnya dimulai oleh perguruan tinggi. "Persaingan antarsekolah tentu ada walaupun tidak secara terbuka. Semua sekolah ingin daya tampung murid mereka terpenuhi," kata Winata.
Fakhruddin tidak menampik ada kebutuhan untuk mendapatkan siswa sebelum pendaftaran dan pengumuman siswa yang diterima di sekolah negeri.
"Sebagai sekolah swasta, kami harus menghidupi diri sendiri. Tentu kami berharap semua kursi terisi. Karena itulah kami membuka pendaftaran terlebih dulu," ujarnya.
Berkeadilan
Dalam pandangan tokoh pendidikan, seperti Arief Rachman, sekolah tentu harus mempertimbangkan kepentingan bisnis pendidikan mereka. Kondisi ini menyebabkan hanya orang-orang yang berkepandaian di atas rata–rata—miskin ataupun kaya—yang bisa menikmati pendidikan berkualitas.
"Mereka yang miskin dan berkemampuan rata-rata harus puas dengan fasilitas pendidikan pas-pasan di sekolah nonunggulan," ujar Arief Rachman.
Kondisi ini tentunya tidak boleh dibiarkan berlangsung terus-menerus. Sudah seharusnya pemerintah menerapkan sistem pendidikan bermutu dan berkeadilan.
"Lebih baik tidak ada istilah unggulan. Seharusnya, setiap sekolah menerapkan kurva normal. Di sana ada yang kaya, menengah, dan miskin; juga ada yang pandai, biasa saja, ataupun yang butuh bimbingan ekstra. Semua diberi fasilitas dan kesempatan yang sama. Ini yang sedang diperjuangkan dan dinantikan oleh para penggerak pendidikan di Indonesia," kata Arief Rachman. (Agnes Rita Sulistyawaty/Neli Triana) -- http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/21/03000519/berharap.di.tengah.ketidakpastian.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar